Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fajar Ruddin

Resah Kelas Menengah

Kolom | 2025-08-08 21:36:14

Runyam betul nasib kelas menengah di negeri ini. Hidup bagi mereka seolah berkutat hanya pada dua opsi: kerja keras dan sambat. Di satu sisi, mereka harus bekerja mati-matian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjaga agar dapur tetap mengepul. Di sisi lain, keluhan-keluhan tentang beban hidup yang semakin berat tak jua jelas dimana ujungnya. Kebijakan pemerintah yang konon dirancang untuk menyejahterakan rakyat justru kerap menjadi batu sandungan bagi mereka yang berada di tengah-tengah ini.

Ilustrasi pekerja di KRL (sumber: Pixabay)

Bayangkan, di saat kelas bawah diguyur subsidi dan kelas atas menikmati berbagai keringanan pajak, kelas menengah malah harus bertarung memperjuangkan nasibnya sendiri. Pembatasan subsidi BBM dan LPG, pajak yang terus merangkak, kesempatan bekerja yang kian sempit, hingga pembengkakan biaya transportasi adalah tumpukan ujian yang lazim dihadapi kelas menengah.

Pembengkakan biaya transportasi bahkan menjadi isu hangat belakangan ini karena rupanya sebagian pekerja harus mengalokasikan hingga sepertiga gaji mereka untuk ongkos komuter. Padahal jika pemertintah betul-betul serius mengajak masyarakat beralih ke transportasi umum, semestinya biayanya bisa ditekan lagi. Apalagi sebelumnya pemerintah telah lebih dulu memberikan keringanan pajak untuk mobil listrik–kendaraan pribadi, yang kita tau lebih banyak dimiliki kalangan atas. Kalau kegelisahan ini tidak dicermati, tidak heran rasanya jika kelas menengah semakin lama merasa dianaktirikan, yang kemudian berisiko meningkatkan persepsi ketidakadilan sosial.

Persepsi memainkan peran penting dalam bagaimana seseorang menanggapi situasi. Bagi individu, persepsi ketidakadilan sosial dapat memicu permasalahan psikologis, seperti stres dan kecemasan. Ketika kelas menengah merasa bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak pada mereka, ketidakpastian tentang masa depan menjadi momok yang sulit dihindari. Bayangan akan penurunan kualitas hidup, kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, atau bahkan tidak mampu menyediakan pendidikan yang layak bagi anak-anak, membuat banyak orang terjebak dalam lingkaran kecemasan yang tiada henti.

Tanda-tanda dari kekhawatiran ini tidak sulit ditemukan. Cobalah tengok, misalnya dari angka pernikahan dan kelahiran. Dalam satu dekade terakhir, angka pernikahan dan kelahiran terus menurun, mencerminkan ketakutan yang mendalam akan masa depan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penurunan angka pernikahan sebesar 28,63 persen, sebuah sinyal yang mengindikasikan bahwa semakin banyak orang menunda atau bahkan menghindari pernikahan karena kekhawatiran ekonomi. Tak hanya itu, tingkat kelahiran atau fertility rate menurut BKKBN juga merosot hingga angka 2,18, menunjukkan bahwa banyak pasangan yang ragu untuk memiliki anak di tengah ketidakpastian yang mereka hadapi.

Ketakutan bahwa mereka tidak akan mampu menafkahi keluarga dengan layak menjadi salah satu alasan utama di balik keputusan-keputusan ini. Kekhawatiran ini mendorong kelas menengah untuk membuat pilihan-pilihan yang sulit, bahkan jika itu berarti menunda atau mengorbankan impian-impian masa depan mereka. Kelas menengah, yang dulu menjadi pilar utama dalam ekonomi keluarga dan masyarakat, kini terpaksa menempatkan prioritas jangka pendek di atas rencana jangka panjang, hanya untuk bertahan di tengah himpitan beban hidup yang semakin berat.

Hal ini menjadi semakin genting karena data BPS menunjukkan bahwa hampir setengah (48,72 persen) kelas menengah berasal dari generasi muda, yang diwakili oleh Generasi Y (milenial) dan Z. Sebagai generasi yang berada pada usia produktif, kesehatan fisik dan psikis mereka begitu penting bagi masa depan bangsa. Generasi ini adalah penggerak utama ekonomi, inovasi, dan perubahan sosial. Tekanan hidup yang terus meningkat, ditambah dengan ketidakpastian akibat kebijakan yang tidak berpihak, berpotensi membuat mereka semakin rentan terhadap masalah kesehatan mental. Padahal tanpa beban tambahan pun, kondisi kesehatan mental kedua generasi ini sudah babak belur.

Data Susenas BPS Maret 2022 mengungkapkan bahwa komposisi anak dengan gangguan kesehatan mental di keluarga utuh menunjukkan prevalensi tertinggi pada Gen Z dan Y, yang masing-masing mencapai 40,7 dan 26,7 persen. Selain karena kuatnya tekanan sosial, banyak dari mereka merasa terjebak dalam situasi yang tidak dapat mereka kendalikan, yang menambah lapisan kecemasan yang mengganggu kesehatan mental mereka.

Frustrasi dan Kemarahan

Persepsi ketidakadilan sosial juga dapat memicu frustrasi dan kemarahan. Setiap kebijakan yang dianggap tidak adil semakin memperkuat perasaan bahwa kelas menengah dipaksa lebih keras untuk bertahan hidup. Ketika mereka melihat bahwa kerja keras mereka hanya akan melahirkan kerja keras-kerja keras lainnya, rasa frustrasi pun semakin menumpuk. Frustrasi ini sering kali tidak diekspresikan secara langsung, melainkan terpendam dalam diam, menjadi bara yang siap meledak kapan saja.

Kemarahan yang terpendam seperti ini tidak hanya berbahaya bagi kesehatan mental individu, tetapi juga berpotensi menjadi bom waktu bagi masyarakat. Dalam skala kolektif, akumulasi frustrasi yang dirasakan oleh jutaan orang bisa menjadi bahan bakar bagi gejolak sosial yang lebih besar.

Di tengah situasi ini, Hari Kesehatan Mental Dunia yang jatuh pada 10 Oktober menjadi momen berharga untuk mengingatkan kita tentang dampak nyata ketidakadilan sosial terhadap kesehatan mental. Terlebih peringatan tahun ini mengambil tema “Mental Health at Work” yang semakin menegaskan urgensi isu tersebut. Jika kesejahteraan mental kelas menengah terabaikan, maka bukan hanya individu yang terdampak, melainkan juga produktivitas dan stabilitas sosial jangka panjang.

Kita tidak mau peristiwa tahun 1998 kembali terulang, ketika krisis ekonomi yang dipicu oleh ketidakadilan dan kesenjangan sosial memuncak dalam bentuk chaos yang melanda seluruh negeri. Pada saat itu, akumulasi rasa frustrasi dan kemarahan yang terpendam dalam masyarakat akhirnya meledak dalam bentuk kerusuhan massal yang mengguncang stabilitas nasional. Ini adalah pengingat yang jelas bahwa ketidakadilan yang dibiarkan terlalu lama tidak hanya berbahaya bagi individu, tetapi juga bagi kestabilan sosial secara keseluruhan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image