Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nazwa Putri Fadilah

Polisi Beringas, Presiden Nganggur, DPR Cuma Ngitung Tunjangan

Politik | 2025-08-29 21:03:42

Negara Melawan Rakyat: Ketika Demokrasi Ditekan dengan Tameng dan Gas Air Mata

Oleh: Nazwa Putri Fadilah

Tanggal 28 dan 29 Agustus 2025 akan tercatat sebagai momen gelap dalam sejarah demokrasi Indonesia. Dua hari yang seharusnya menjadi panggung bagi suara rakyat berubah menjadi ladang penindasan, di mana aparat kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung malah menjadi aktor utama kekerasan terhadap demonstran. Puluhan terluka, ratusan ditangkap, satu tewas. Dan ironisnya, mereka semua hanyalah warga negara yang berani menyuarakan keresahan. Lalu, di mana negara saat itu? Diam. Bungkam. Dan lebih kejam lagi: membiarkan rakyat dihajar tanpa rasa bersalah.

Ketika Polisi Menjadi Algojo, Bukan Pelindung

Tak ada yang lebih menyayat nurani selain melihat video seorang mahasiswa dipukuli karena hanya memegang poster. Atau rekaman seorang pengemudi ojek online yang tewas ditabrak kendaraan taktis Brimob karena kebetulan sedang berada di lokasi. Semua ini nyata. Semua ini terjadi. Dan semua ini dilakukan oleh mereka yang selama ini diberi wewenang oleh negara untuk menjaga keamanan.

Namun, apa arti “keamanan” jika yang diamankan adalah kursi kekuasaan dan bukan keselamatan rakyat? Apa makna “tertib” jika yang dikejar bukan ketenangan publik, melainkan pembungkaman aspirasi? Aksi demonstrasi 28–29 Agustus bukan tentang kekacauan. Itu tentang jeritan rakyat yang muak dengan elit politik yang rakus, DPR yang menuntut tunjangan puluhan juta saat rakyat sulit beli beras, dan pemerintah yang sibuk bersolek citra tanpa menyentuh akar masalah.

DPR dan Presiden: Diam yang Memekakkan

Sikap DPR dan Presiden dalam tragedi ini lebih menyakitkan dari gas air mata: diam yang penuh pengkhianatan. Tidak ada pernyataan tegas dari parlemen. Tidak ada kecaman keras terhadap kekerasan aparat. Tidak ada permintaan maaf kepada rakyat. Mereka seperti menyaksikan pertunjukan dari balik kaca tebal—rakyat berdarah, mereka tersenyum kaku.

Presiden Prabowo Subianto akhirnya bicara setelah satu korban meninggal. Tapi apa gunanya kata-kata “terkejut” dan “berduka” jika kekerasan adalah hasil dari kebijakan represif yang dibiarkan tumbuh selama ini? Investigasi? Publik sudah terlalu lelah dengan janji pengusutan yang berakhir dengan nihil. Rakyat ingin tanggung jawab, bukan sandiwara.

Negara vs. Rakyat: Narasi yang Dibangun dengan Sengaja?

Kita harus berani menyebut satu kebenaran pahit: kekerasan ini bukan kecelakaan, ini adalah desain. Selama bertahun-tahun, negara secara perlahan membangun narasi bahwa demonstran adalah perusuh, bahwa aktivis adalah ancaman stabilitas, bahwa mahasiswa adalah biang onar. Padahal, justru dari merekalah demokrasi bisa bernapas.

Hari ini, polisi tak lagi segan membungkam unjuk rasa dengan kekerasan. Besok, mungkin mahasiswa akan dituduh makar hanya karena membuat forum diskusi. Lusa, siapa tahu, menulis artikel seperti ini dianggap subversif.

Jika rakyat yang bersuara dipukuli, ditangkap, atau bahkan dibunuh, maka kita harus bertanya: apakah negara masih milik rakyat? Atau telah berubah menjadi alat kekuasaan untuk mempertahankan elite?

Kita Bukan Musuh, Tapi Pemilik Sah Negeri Ini

Demonstrasi bukan kejahatan. Kritik bukan ancaman. Menolak ketidakadilan bukan pemberontakan. Mereka yang turun ke jalan pada 28–29 Agustus bukan penjahat—mereka adalah cermin dari kegagalan negara mendengar dan merespons. Jika negara membalas jeritan dengan tendangan, maka itu bukan demokrasi, itu represi.

Indonesia tidak dibangun dengan senjata, tapi dengan semangat kolektif, darah juang, dan keberanian bersuara. Kini, ketika suara itu dibungkam, maka Indonesia juga sedang dibunuh—perlahan tapi pasti.

Kepada Para Pemegang Kekuasaan: Jangan Menunggu Rakyat Menggila

Sejarah telah mengajarkan satu hal: ketika rakyat terus ditekan, mereka tidak menjadi jinak. Mereka menjadi lebih berani. Ketika suara dibungkam, protes akan berubah menjadi gelombang. Ketika negara mengabaikan, rakyat akan mencari cara lain untuk didengar.

Kekuasaan yang menginjak rakyat tak akan bertahan lama. Toh, tak ada tameng yang cukup tebal untuk menahan amarah kolektif jutaan manusia yang kehilangan harapan.

Demokrasi Tanpa Rakyat Adalah Tipuan

Jangan bicara soal demokrasi jika aparatmu memukul mahasiswa. Jangan bicara soal keadilan jika DPR-mu hidup dalam kemewahan, sementara rakyat antre bansos. Jangan bicara soal konstitusi jika presidenmu diam ketika nyawa rakyat melayang karena represi.

Saat ini, Indonesia sedang ada di persimpangan jalan. Antara menjadi negara demokrasi sejati, atau berubah menjadi negara otoriter yang dibungkus jargon populis. Jika pemerintah masih memilih diam, maka rakyat yang akan bersuara lebih keras. Dan suara itu tidak bisa dibungkam selamanya.

Karena pada akhirnya, kekuasaan yang takut pada rakyat adalah kekuasaan yang tidak layak dipertahankan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image