Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nazwa Putri Fadilah

Ketimpangan di Meja Parlemen: Saat Rakyat Irit, DPR Nikmat

Politik | 2025-08-28 10:08:14

 

Di negeri yang konon menjunjung tinggi keadilan sosial, ada ironi yang makin sulit ditutupi: rakyat diminta hidup hemat, sementara wakilnya justru hidup nikmat. Salah satu sorotan terbaru adalah angka yang mengundang geleng kepala—anggota DPR menerima gaji dan tunjangan yang jika diakumulasikan, bisa mencapai Rp3 juta per hari. Sebuah jumlah yang terasa asing di tengah suara rakyat yang kian parau memperjuangkan hidup yang layak.

Gaji DPR dan Realitas Rakyat: Dua Dunia yang Tak Lagi Bertemu

Mari kita telisik sejenak. Rata-rata pekerja di Indonesia dengan upah minimum regional hanya mengantongi sekitar Rp2-4 juta per bulan dan itu pun harus diperas untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus melonjak: sewa tempat tinggal, bahan pokok, transportasi, hingga pendidikan anak. Di sisi lain, anggota DPR menerima penghasilan tetap, tunjangan, fasilitas negara, bahkan biaya reses yang tak sedikit. Semuanya dibungkus dalam narasi "tugas negara".

Namun pertanyaannya bukan soal besarnya angka semata. Pertanyaannya adalah: apa yang rakyat dapatkan dari investasi mahal ini? Seharusnya, dengan penghasilan fantastis itu, kualitas kerja DPR mencerminkan profesionalisme tinggi, keberpihakan kepada rakyat kecil, serta integritas tanpa cacat. Tapi benarkah demikian kenyataannya?

Representasi yang Kian Menjauh dari Akar Rakyat

DPR adalah wakil rakyat. Frasa itu diulang dalam buku-buku pelajaran sejak bangku sekolah dasar. Tapi dalam praktiknya, makna “wakil rakyat” seakan tereduksi menjadi “elit politik yang dipilih rakyat, tapi kemudian hidup terpisah dari realitas rakyat.”

Keputusan-keputusan penting dari undang-undang, kebijakan fiskal, hingga pengawasan terhadap eksekutif tak jarang diambil dalam ruang-ruang yang hening dari suara rakyat kecil. Bahkan, seringkali keputusan itu melukai kepentingan publik. RUU kontroversial bisa disahkan dalam semalam, tapi nasib petani, nelayan, buruh, dan tenaga kesehatan sering hanya menjadi catatan kaki dalam pembahasan kebijakan.

Sementara itu, gedung DPR megah berdiri, mobil dinas berderet, kunjungan kerja ke luar negeri terus berjalan, dan fasilitas mewah terus mengalir. Rakyat pun mulai bertanya: siapa sebenarnya yang dilayani oleh parlemen ini?

Mengapa Ketimpangan Ini Berbahaya?

Ketimpangan bukan sekadar soal moral, tapi juga soal stabilitas sosial. Ketika rakyat mulai merasa bahwa para penguasa hidup di menara gading, maka kepercayaan publik akan perlahan terkikis. Ini adalah awal dari krisis representasi.

Jika gaji DPR terus membengkak, tapi tak dibarengi dengan kinerja dan akuntabilitas yang setara, maka demokrasi kita hanya akan menjadi pertunjukan formalitas lima tahunan. Pemilu hanya menjadi seremonial memilih siapa yang akan duduk nyaman di Senayan bukan lagi tentang siapa yang bisa membawa perubahan nyata.

Ketimpangan yang tak diatasi akan memperlebar jurang antara rakyat dan pemimpinnya. Dari jurang itulah, lahir sinisme, apatisme, bahkan potensi konflik sosial yang lebih besar.

Perlukah Gaji DPR Dipangkas?

Pertanyaan ini tentu tak sederhana. Negara yang sehat memang perlu menghargai kerja legislatif dengan layak, agar anggota dewan tak mudah tergoda oleh korupsi atau intervensi kekuasaan. Namun, kata kuncinya adalah layak, bukan berlebihan.

Gaji yang layak harus sebanding dengan kinerja, transparansi, dan pengabdian. Tanpa indikator yang jelas dan penilaian publik yang kuat, angka Rp3 juta per hari akan selalu dipandang sebagai kemewahan yang tak pantas di tengah rakyat yang kelaparan dan kelelahan.

Idealnya, sistem penggajian pejabat publik, termasuk DPR, diatur dengan prinsip keadilan sosial: cukup untuk menjamin hidup yang pantas dan mendukung tugasnya, tetapi tidak jauh melampaui standar hidup masyarakat yang diwakilinya.

Membalik Arah: DPR Harus Menjadi Teladan

Di tengah gejolak ekonomi, krisis kepercayaan publik, dan tantangan global, DPR seharusnya menjadi teladan pengorbanan, bukan simbol kemewahan. Mereka harus menjadi contoh dalam hidup sederhana, bekerja keras, dan menunjukkan bahwa pengabdian pada negara bukan soal gaji tinggi, tapi tentang komitmen moral.

Keterbukaan informasi juga harus menjadi keharusan. Rincian gaji, tunjangan, dan penggunaan anggaran harus tersedia dan mudah diakses publik. Sudah saatnya transparansi menjadi budaya, bukan sekadar jargon kampanye.

Lebih dari itu, DPR perlu mendekatkan diri kembali kepada rakyat mendengar, turun langsung, dan menyuarakan keresahan publik dengan serius, bukan hanya saat masa kampanye.

Demokrasi Bukan Tentang Kenyamanan, Tapi Pengabdian

Demokrasi bukanlah sistem untuk memanjakan elit politik, tapi untuk memastikan bahwa kekuasaan digunakan untuk kebaikan bersama. Ketika wakil rakyat hidup jauh lebih nyaman daripada rakyat yang diwakilinya, maka demokrasi sedang sakit.

Sudah saatnya kita mengembalikan esensi wakil rakyat: mereka dipilih untuk melayani, bukan dinikmati. Jika DPR ingin terus mendapat kepercayaan, maka mereka harus membuktikan bahwa gaji besar itu memang pantas dengan kerja nyata, keteladanan, dan keberpihakan pada yang lemah.

Karena di ujung hari, sejarah tidak akan mengingat mereka dari jumlah nol di slip gaji. Sejarah hanya mencatat: apakah mereka benar-benar berdiri untuk rakyat atau hanya berdiri di atas rakyat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image