Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Surya Ramayani

Ironi 80 Tahun Kemerdekaan: Indonesia Masih Terjajah

Politik | 2025-08-27 18:04:39
Sumber Ilustrasi : iStock.

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka seharusnya menjadi momentum untuk merayakan kemajuan dan kesejahteraan. Namun, kenyataan hari ini jauh dari harapan itu. Perayaan yang seharusnya penuh suka cita justru dibayangi oleh ironi. Kemerdekaan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini hanya terasa sebatas simbol. Rakyat boleh bebas dari penjajahan fisik, tetapi secara hakiki mereka masih hidup dalam cengkeraman penjajahan sistemik yaitu ekonomi yang timpang, politik yang abai, dan budaya yang tercerabut dari akar Islam.

Ekonomi: Antara Angka Pertumbuhan dan Realitas Pahit

Di bidang ekonomi, potret buram terlihat begitu jelas. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memang mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen. Angka ini secara kasat mata tampak meyakinkan. Namun di balik itu, ribuan keluarga menghadapi ancaman pemiskinan.

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda berbagai sektor. Industri tekstil—yang dulu dikenal sebagai penyerap tenaga kerja terbesar—terpuruk. Raksasa tekstil Sritex menutup banyak unit produksinya, mengakibatkan puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan. Industri teknologi, ritel, bahkan start-up juga tak luput dari badai efisiensi. PHK massal ini bukan sekadar angka, tetapi tragedi nyata bagi keluarga yang menggantungkan hidup pada gaji bulanan.

Kondisi diperburuk oleh melemahnya daya beli masyarakat. Harga kebutuhan pokok terus naik, sementara penghasilan stagnan. Akibatnya, banyak keluarga terpaksa menguras tabungan hanya untuk menutup biaya hidup sehari-hari. Ironisnya, kelas menengah—yang selama ini dianggap sebagai penopang stabilitas ekonomi—semakin menyusut. Dalam enam tahun terakhir, proporsinya turun hampir 20 persen. Jika tren ini berlanjut, sebagian besar kelas menengah bisa jatuh miskin dalam waktu dekat.

Inflasi memang tercatat relatif rendah, sekitar 2,3 persen pada Juli 2025. Namun angka itu tidak mencerminkan kenyataan di lapangan. Di pasar, harga beras, cabai, daging, hingga biaya transportasi naik signifikan. Situasi ini melahirkan jurang yang semakin lebar antara statistik pemerintah dengan pengalaman rakyat.

Politik dan Ketidakpekaan Penguasa

Ditengah rakyat yang mengeluh soal mahalnya harga-harga dan sempitnya lapangan pekerjaan, para pejabat justru sibuk dengan panggung pencitraan. Fenomena “pejabat berjoget riya” di acara-acara resmi terekam kamera dan viral di media sosial. Publik melihat pemandangan ini sebagai bentuk ketidakpekaan, bahkan penghinaan terhadap penderitaan rakyat.

Lebih menyakitkan lagi, di saat rakyat harus mengencangkan ikat pinggang, para anggota DPR justru mendapatkan kenaikan gaji. Kebijakan ini melukai rasa keadilan publik, mempertebal kesan bahwa elit politik lebih sibuk memikirkan kenyamanan mereka sendiri ketimbang memikirkan kesejahteraan rakyat.

Fenomena tersebut menunjukkan satu hal: politik Indonesia hari ini masih berada dalam cengkeraman sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini tidak memandang politik sebagai amanah untuk mengurusi rakyat, melainkan sebagai sarana untuk mempertahankan kekuasaan dan melayani kepentingan segelintir elit ekonomi. Kapitalis semakin kaya, sementara rakyat makin terjepit.

Penjajahan Pemikiran: Mengaburkan Identitas Umat

Selain krisis ekonomi dan politik, ada bentuk penjajahan yang lebih halus namun tak kalah berbahaya, yakni penjajahan pemikiran. Generasi muda, yang seharusnya dipersiapkan menjadi pemimpin masa depan, justru dijejali berbagai gagasan yang menjauhkan mereka dari Islam.

Program deradikalisasi, kampanye Islam moderat, hingga proyek dialog antar-agama sering kali disuguhkan sebagai upaya membangun harmoni. Namun, dalam praktiknya, gagasan-gagasan ini kerap digunakan untuk melemahkan identitas Islam, memutus generasi Muslim dari akar pemikiran yang shahih.

Akibatnya, banyak umat kehilangan arah berpikir. Mereka tidak lagi melihat Islam sebagai solusi atas problem kehidupan, melainkan sekadar identitas kultural yang boleh dipraktikkan di ruang privat, tapi tidak relevan dalam mengatur urusan publik. Inilah bentuk penjajahan hakiki: menjauhkan umat dari ajaran Islam itu sendiri.

Kegagalan Sistem Kapitalisme Sekuler

Semua persoalan ini berpangkal pada sistem yang diterapkan, yakni kapitalisme sekuler. Sistem ini hanya memihak pada pemilik modal besar dan menyingkirkan kepentingan rakyat.

Kapitalisme mendorong privatisasi sumber daya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat. Tambang emas, nikel, batu bara, hingga hutan dikuasai segelintir perusahaan besar, sebagian bahkan asing. Negara bertindak sebagai fasilitator, bukan pelindung rakyat. Akibatnya, keuntungan mengalir ke segelintir pihak, sementara rakyat hanya mendapat sisa-sisa.

Dalam sistem kapitalisme, pajak juga dijadikan instrumen utama negara untuk menutup defisit. Padahal, pajak ini justru membebani rakyat kecil dan kelas menengah. Dari PPN di setiap belanja, hingga potongan gaji karyawan, semuanya menjadi beban tambahan yang menggerus pendapatan rumah tangga.

Dengan kata lain, kapitalisme telah melahirkan lingkaran setan: rakyat semakin miskin, negara semakin bergantung pada pajak, sementara kapitalis semakin kaya.

Islam Sebagai Solusi Hakiki

Ditengah kondisi yang muram ini, muncul pertanyaan besar, adakah jalan keluar yang nyata?. Jawabannya ada pada Islam sebagai sistem kehidupan yang kaffah.

Islam bukan hanya agama ritual, tetapi juga mengatur aspek sosial, ekonomi, dan politik. Sejarah mencatat bahwa selama berabad-abad, sistem Islam—dalam bentuk Khilafah—berhasil mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, dan kemajuan peradaban.

Ekonomi Islam yang Adil

Dalam Islam, sumber daya alam yang bersifat strategis—seperti tambang, hutan, air, dan energi—ditetapkan sebagai milik umum. Negara wajib mengelolanya untuk kemaslahatan rakyat, bukan diserahkan kepada korporasi swasta. Dengan cara ini, keuntungan dari sektor-sektor vital langsung digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik.

Islam juga memiliki mekanisme Baitulmal, yakni lembaga keuangan negara yang mengatur penerimaan dan pengeluaran. Dana Baitulmal berasal dari zakat, fai, kharaj, jizyah, dan hasil pengelolaan kepemilikan umum. Dana inilah yang digunakan untuk menjamin kebutuhan dasar rakyat: pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Bagi rakyat yang kesulitan mencari nafkah, negara Islam memberikan santunan langsung. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan dia bertanggung jawab atas

rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, negara bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat, bukan menyerahkannya pada mekanisme pasar.

Distribusi Tanah dan Lapangan Kerja

Islam juga memiliki aturan terkait tanah. Tanah yang dibiarkan menganggur selama tiga tahun akan ditarik kembali oleh negara dan diberikan kepada rakyat yang siap mengelolanya. Dengan kebijakan ini, lahan produktif tidak dikuasai segelintir elit, melainkan dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dan membuka lapangan kerja.

Selain itu, industrialisasi dalam Islam dilakukan bukan sekadar demi keuntungan, melainkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan memperkuat kemandirian negara.

Penjagaan Pemikiran Umat

Sistem Islam tidak hanya menjamin kebutuhan materi, tetapi juga menjaga pemikiran umat. Pendidikan diarahkan agar umat berpikir sesuai syariat, menjadikan Islam sebagai rujukan utama. Dengan demikian, umat tidak mudah terpengaruh ide-ide sekuler yang merusak, dan tetap hidup dalam ketaatan kepada Allah.

Menuju Perubahan Hakiki

Namun, untuk mewujudkan semua itu, diperlukan aktivitas perubahan hakiki. Perubahan ini tidak cukup dengan fenomena tren sesaat—seperti kegemaran masyarakat mengikuti budaya populer. Fenomena tersebut memang menunjukkan semangat perubahan, tetapi belum menyentuh akar persoalan.

Akar masalah sebenarnya adalah penerapan sistem kapitalisme sekuler. Selama sistem ini masih bercokol, rakyat akan terus menderita. Oleh karena itu, perubahan hakiki hanya bisa terwujud jika ada perjuangan serius untuk mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam kaffah.

Perubahan ini harus dipimpin oleh jamaah dakwah ideologis yang konsisten menyeru kepada Islam sebagai solusi. Dengan dakwah yang menyentuh pemikiran dan membangun kesadaran, masyarakat akan melihat Islam bukan sekadar agama, tetapi sistem yang mampu membawa kemerdekaan hakiki.

Kesimpulan

Delapan puluh tahun merdeka, Indonesia masih hidup dalam ironi. Secara fisik kita bebas, tetapi secara hakiki masih terjajah:

· Ekonomi terpuruk, rakyat sulit memenuhi kebutuhan dasar.

· Politik dikuasai elit yang lebih mementingkan diri sendiri.

· Generasi muda dijauhkan dari Islam melalui proyek pemikiran sekuler.

Semua ini adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler. Jalan keluarnya bukan dengan tambal sulam, melainkan dengan perubahan fundamental: kembali kepada Islam kaffah.

Hanya dengan Islam, rakyat benar-benar bisa merasakan makna kemerdekaan. Sebuah kemerdekaan yang bukan sekadar bebas dari penjajah fisik, melainkan bebas dari sistem yang menindas, serta hidup dalam keadilan, kesejahteraan, dan ketaatan kepada Allah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image