Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ananda Rizky Prawiranegara

Populisme Simbolik dan Realitas Penderitaan Rakyat Jawa Barat

Politik | 2025-08-27 16:26:13
Sumber foto: tajdid.id / Google Images

Pertanyaan sederhana, mengapa rakyat begitu terpikat pada pemimpin populis? Jawabannya sering kali tidak serumit teori politik. Rakyat merasa didatangi, disapa, bahkan difoto bersama. Dalam politik kita hari ini, kedekatan itu sering kali lebih bernilai daripada kebijakan. Itulah ironi sekaligus jebakan populisme.

Fenomena Dedi Mulyadi adalah contoh terang. Ia blusukan ke desa-desa, tidur di rumah rakyat, menyapa dengan bahasa Sunda yang akrab, lalu menyulap kesederhanaan menjadi panggung politik. Kamera ponsel menjadi saksi, media sosial menjadi amplifier. Semua tampak indah, pemimpin merakyat, rakyat terhibur. Tapi mari kita bertanya lebih jujur, apakah tidur semalam di rumah rakyat akan membuat jurang kesenjangan menutup?

Data Badan Pusat Statistik (2024) jelas, rasio gini Jawa Barat masih 0,38—jurang antara si kaya dan si miskin tetap menganga. Angka kemiskinan ekstrem nasional masih di kisaran 2,0 persen, artinya jutaan orang masih hidup dengan kurang dari Rp12 ribu per hari. Pertanyaannya, apakah rakyat lebih membutuhkan pemimpin yang membangun jembatan ekonomi, atau sekadar jembatan emosional lewat obrolan singkat di warung kopi? Ernesto Laclau menyebut populisme sebagai seni menciptakan “rakyat” dan “elit” sebagai simbol pertarungan. Antonio Gramsci menambahkan, hegemoni bukan sekadar dominasi, melainkan juga kemampuan membuat orang setuju tanpa merasa dipaksa. Itulah yang dimainkan pemimpin populis, menyulap bahasa sederhana menjadi ideologi, membuat rakyat percaya mereka tengah dilibatkan, padahal yang berubah hanya panggung, bukan struktur.

Dialektikanya kasar tetapi nyata. Pemimpin populis berbicara seakan membela kaum kecil, namun tetap beroperasi dalam sistem politik yang dikendalikan oligarki. Mereka menyebut diri “suara rakyat”, padahal partai, modal, dan kekuasaan tetap menjadi mesin yang menggerakkan. Rakyat diberi panggung kecil berupa selfie dan senyum hangat, sementara kursi kekuasaan tetap diperebutkan dengan cara lama.

Sejarah pun sudah mencatat polanya. Sukarno dengan Marhaenismenya mengobarkan retorika kerakyatan, tetapi akhirnya tumbang oleh krisis struktural. Juan Perón di Argentina membakar semangat buruh, lalu meninggalkan mereka dalam inflasi. Di era digital kini, populisme hanya berganti kostum, dulu lewat pidato di lapangan, kini lewat vlog YouTube dan siaran langsung TikTok. Kontennya sama, rakyat butuh hiburan, elit butuh legitimasi.

Analogi paling tepat? Populisme ibarat mie instan politik. Cepat disajikan, murah, rasanya gurih, dan membuat kenyang sebentar. Tetapi semua tahu, mie instan tidak akan menyembuhkan lapar berkepanjangan, apalagi memperbaiki gizi. Begitu rasa kenyang hilang, rakyat kembali menghadapi realitas pahit, harga beras yang melonjak, upah yang tak cukup, dan pendidikan anak yang makin mahal.

Populisme adalah panggung yang dibangun di atas fondasi rapuh. Ia memberi rasa hangat, tetapi hanya sementara. Pemimpin boleh tidur di rumah rakyat semalam, tapi rakyatlah yang harus bertahan hidup di rumah itu selamanya. Jika populisme tidak berani membongkar struktur ketidakadilan, ia hanya akan menjadi seni sandiwara, indah dilihat, tetapi kosong di dalam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image