Pajak Disamakan dengan Zakat? Jangan Keliru, Beda Jauh!
Politik | 2025-08-26 19:35:05
Oleh Adila Zuhra
Aktivis Muslimah
Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini menyebut kewajiban pajak sama dengan zakat dan wakaf. Pernyataan ini muncul di tengah seretnya penerimaan pajak, sementara pemerintah terus mencari sumber baru, mulai dari pajak warisan, karbon, hingga rumah ketiga. Bahkan, tarif pajak yang sudah ada, seperti PBB, ikut dinaikkan.
Masalahnya, pajak dalam kapitalisme memang dijadikan tumpuan utama APBN. Di saat yang sama, kekayaan alam negeri justru diserahkan pada swasta besar. Akibatnya, rakyat kecil makin terhimpit oleh beban pajak, sedangkan para kapitalis kian kaya karena mendapat banyak fasilitas dari negara. Tidak jarang, uang pajak juga dialirkan ke proyek-proyek yang lebih menguntungkan korporasi ketimbang rakyat.
Di sinilah kelirunya menyamakan pajak dengan zakat. Zakat adalah kewajiban ibadah bagi muslim yang mampu, dengan aturan jelas siapa yang wajib membayar dan siapa yang berhak menerima. Wakaf pun bukan kewajiban, melainkan amal sunnah. Sedangkan pajak dalam Islam hanya dipungut dari muslim kaya dalam kondisi darurat ketika baitulmal kosong, dan sifatnya sementara. Pajak juga tidak boleh membebani rakyat miskin.
Sistem ekonomi Islam memiliki sumber pemasukan lain yang jauh lebih adil, seperti pengelolaan zakat, fai’, ghanimah, hingga hasil pengelolaan sumber daya alam yang dikelola negara, bukan swasta. Dengan itu, kebutuhan rakyat bisa dipenuhi tanpa harus terus-menerus menambah dan menaikkan pajak.
Karena itu, menyamakan pajak dengan zakat jelas tidak tepat. Zakat adalah ibadah yang mengandung nilai spiritual dan sosial, sementara pajak dalam kapitalisme kerap jadi alat menekan rakyat. Solusi sejati ada pada penerapan sistem ekonomi Islam yang mengutamakan kesejahteraan seluruh rakyat, bukan hanya kepentingan segelintir kapitalis.
Wallahualam bissawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
