Demokrasi dari Kuasa Rakyat Menuju Ruang Publik Politis
Kolom | 2025-08-26 15:48:55Demokrasi secara sederhana berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi adalah representasi kuasa rakyat. Rakyat pemilik sah kekuasaan di suatu negara. Namun, sejarah pemikiran demokrasi penuh dengan perdebatan dan tafsir yang beragam. Akar katanya berasal dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan). Artinya, rakyatlah yang memegang kendali, bukan raja, aristokrat, atau tiran. Meski begitu, para filsuf dan ilmuwan politik sejak dahulu hingga kini berbeda pendapat tentang bagaimana prinsip ini diwujudkan dalam praktik.
Sebagian pemikir menekankan demokrasi sebagai cara untuk mengatur relasi kekuasaan agar meminimalisasi dominasi. Artinya, demokrasi hadir bukan sekadar untuk memilih pemimpin, melainkan sebagai mekanisme agar tidak ada pihak yang sewenang-wenang menguasai yang lain. Dengan demokrasi, distribusi kuasa diharapkan lebih merata sehingga tidak ada kelompok yang bisa memaksakan kehendak hanya karena memiliki akses lebih besar pada sumber daya atau kekuatan.
Pandangan lain, seperti yang dikemukakan Benjamin Barber, menekankan bahwa demokrasi bukanlah titik akhir dari kebebasan, melainkan titik awalnya. Kebebasan, keadilan, dan kesetaraan lahir dari partisipasi bersama dalam kehidupan publik. Tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan yang membentuk lingkungan sosial, manusia tidak akan menjadi individu seutuhnya. Demokrasi di sini dimaknai sebagai pemerintahan diri, masyarakat mengatur dirinya sendiri melalui dialog, musyawarah, dan tindakan kolektif.
Carole Pateman memperluas gagasan itu dengan menekankan pentingnya demokrasi partisipatoris. Bagi Pateman, demokrasi tidak cukup hanya hadir di level negara, melainkan juga harus masuk ke dalam ruang-ruang kehidupan sehari-hari, termasuk di tempat kerja. Di situlah orang menghabiskan sebagian besar waktunya, sehingga pengalaman partisipasi di ruang tersebut menjadi pendidikan politik paling nyata. Demokrasi, dengan demikian, adalah soal membuka ruang keterlibatan aktif di setiap aspek kehidupan sosial.
Macpherson menambahkan bahwa demokrasi modern harus dipahami sebagai klaim atas hak hidup manusia yang setara dan bermartabat. Demokrasi bukan sekadar “satu orang, satu suara,” tetapi juga “satu orang, satu hak yang sama untuk hidup sepenuhnya sebagai manusia.” Dengan kata lain, demokrasi adalah cara untuk memaksimalkan potensi setiap orang, agar mereka bisa mengembangkan kapasitas kemanusiaannya tanpa dibatasi struktur sosial yang menindas.
Karl Marx melihat demokrasi sebagai bentuk tertinggi dari konstitusi politik, karena dalam demokrasi hukum dan negara tidak berdiri di atas rakyat, melainkan lahir dari rakyat itu sendiri. Bagi Marx, demokrasi menegaskan bahwa bukan hukum yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan hukum. Inilah perbedaan mendasar demokrasi dibanding bentuk negara lain. Ia menempatkan rakyat sebagai sumber otoritas tertinggi, bukan sekadar objek yang diatur.
Jürgen Habermas kemudian memperkenalkan konsep demokrasi deliberatif, di mana percakapan rasional menjadi inti dari proses politik. Dalam model ini, keputusan politik dihasilkan melalui diskusi terbuka, inklusif, dan bebas dari paksaan. Semua orang yang terdampak oleh suatu kebijakan memiliki hak yang sama untuk didengar dan berargumentasi. Demokrasi, menurut Habermas, bukan hanya soal voting, melainkan ruang bersama untuk mencari kesepakatan rasional yang adil bagi semua (Fuch, 2023).
Alhasil, demokrasi adalah pemerintahan diri manusia, sebuah usaha untuk menata hidup bersama tanpa dominasi, kekerasan, atau ketidaksetaraan. Modelnya bisa berbeda-beda, dari demokrasi liberal, partisipatoris, hingga deliberatif, tetapi tujuannya sama yaitu memberi ruang seluas-luasnya bagi rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, menikmati kebebasan dan kesejahteraan yang hakiki. Di tengah tantangan otoritarianisme baru, politik identitas, dan dominasi korporasi digital, demokrasi mengingatkan kita bahwa suara rakyat bukan sekadar angka dalam kotak suara dan suara elit, melainkan denyut kehidupan bersama yang harus terus dijaga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
