Transformasi Pesantren dan Tantangannya
Guru Menulis | 2025-08-26 13:51:22Oleh: Azalia Afif, S.H, S.Pn, M.H*
Transformasi nilai dan sistem pendidikan pesantren dari waktu ke waktu meniscayakan paradigma baru masyarakat tentang identitas pendidikan pesantren sebagai lembaga yang secara khusus mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam menjadi semacam institusi pendidikan alternatif di tengah problem remaja yang kompleks.
Kekhawatiran orang tua terhadap derasnya arus kehidupan yang sulit dibendung telah menyeret stigma tentang pesantren yang jumud dan terbelakang menjadi lembaga pendidikan yang maju dan menjanjikan masa depan cemerlang. Hal ini terutama dialami oleh masyarakat muslim urban.
Sementara di satu sisi, lemabaga-lembaga pendidikan yang berbasis sistem pesantren sudah berbenah sedemikian rupa, menyesuaikan diri selain sesuai dengan perkembangan zaman, juga sesuai dengan kebutuhan orang tua. Maka lahirlah banyak pesantren yang secara khusus mengusung program-program tambahan seperti keterampilan lifeskill, entrepreneur, dan sebagainya.
Didukung oleh peran digital yang sangat bebas, bahkan tidak terbatas, entah untuk kebutuhan marketing yang memang dengan sengaja dibuat atau secara organik membentuk algoritma ‘masyarakat digital’ tertentu berkat ketokohan ulama-ulama sebagai figur pesantren. Maka akses terhadap keberagaman tawaran program pendidikan di pesantren semakin luas.
Hal ini dalam hemat saya memicu dua hal, yaitu tumbuh menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan berbasis pesantren yang hanya menawarkan fasilitas mewah, program terbaru, dan sebagainya dengan kecenderungan mencari ‘pasar jumlah siswa’ yang banyak. Spirit nilai pesantren tidak lagi berakar pada jejak historis yang panjang dalam mencetak kader-kader ulama yang faqih di dalam ilmu agama serta memiliki peranan penting di Masyarakat.
Dikutip dari satu kolom di laman resmi Kementerian Agama Republik Indonesia, secara statistik Kementerian Agama mencatat jumlah pesantren hingga tahun 2022 mencapai sekitar 36.600 dengan jumlah santri aktif sebanyak 3,4 juta dan jumlah pengajar (ustadz/kiai) sebanyak 370 orang.
Yang kedua Adalah hal ini pada akhirnya dapat memicu disorientasi peran dan nilai pendidikan pesantren yang sejak awal bukan hanya berperan sebagai lembaga pendidikan formal, namun juga menjadi lembaga dakwah Islam yang sangat strategis melalui pengkaderan ulama yang akan melanjutkan dakwah Islam kedepan.
Oleh karena itu, jika kita amati narasi tentang pesantren belakangan ini justru mengarah pada bagaimana masing-masing pesantren ‘membranding’ dirinya sebagai pesantren terbaik dan layak menjadi tujuan orang tua untuk memondokkan anaknya dengan beberapa jaminan, missal hafal Al Quran 30 juz, mampu berbahasa asing, memiliki keterampilan tertentu, dan sebagainya.
Sayangnya, semua itu diperburuk oleh banyak kasus yang muncul dari dalam pesantren sendiri, kasus-kasus kekerasan seksual, bullying, dan kasus-kasus kekerasan lainnya yang sampai merenggut nyawa membuat sorotan masyarakat terhadap pesantren secara umum mulai terganggu.
Akhirnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang ramah, aman, dan menanamkan nilai-nilai positif mulai dipertanyakan. Walaupun tidak semua pesantren tentu saja tidak demikian.
Pembina Yayasan IGBS Darul Marhamah Cileungsi, Kab. Bogor
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
