Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dini Safitri

Berkaca dari Kasus UI: Peran Kampus dalam Menyikapi Narasi Global Masuk ke Ruang Akademik

Pendidikan dan Literasi | 2025-08-26 06:40:12

Universitas Indonesia (UI) menghadirkan Prof. Peter Berkowitz dalam kegiatan Pengenalan Sistem Akademik Universitas (PSAU) pada Sabtu, 23 Agustus 2025 memicu diskusi publik yang luas. Berkowitz dikenal sebagai akademisi yang memiliki rekam jejak keberpihakan terhadap Israel dalam konflik Palestina–Israel. Kehadirannya memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, akademisi, dan aktivis kemanusiaan. Rekam jejaknya dalam mendukung kebijakan zionis menimbulkan pertanyaan: bagaimana seharusnya institusi pendidikan tinggi menyikapi figur-figur kontroversial dalam konteks akademik?

UI telah menyampaikan permintaan maaf dan mengakui kurangnya ketelitian dalam proses seleksi pembicara. Namun, peristiwa ini membuka ruang refleksi yang lebih dalam di tengah arus globalisasi pengetahuan. Bagaimana kampus menjaga integritas nilai-nilai kemanusiaan dan konstitusional Indonesia?

Kampus yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai konstitusional Indonesia, terutama amanat UUD 1945 bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, secara ironis mengundang figur yang secara terbuka mendukung zionisme. Undangan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai di mana batas antara kebebasan akademik dan tanggung jawab moral institusi?

Dalam konteks UI, menghadirkan tokoh yang secara terbuka mendukung kebijakan yang menindas rakyat Palestina, bukanlah sekadar kekeliruan administratif, melainkan bagian dari konflik narasi yang lebih besar. Kampus sebagai ruang produksi pengetahuan tidak lepas dari tarik-menarik ideologi global. Dalam proses tersebut, penting bagi kampus untuk memiliki pedoman etika yang jelas.

Kebebasan akademik memang penting. Tapi kebebasan akademik tidak berdiri di ruang hampa. Ia harus berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberpihakan terhadap yang tertindas. Konflik Palestina–Israel bukan hanya soal geopolitik- perebutan wilayah, keamanan nasional, dan diplomasi internasional - tetapi juga soal narasi. Siapa yang berhak bicara, dari sudut pandang mana, dan untuk kepentingan siapa. Narasi bukan sekadar cerita; ia adalah alat kekuasaan.

Di ruang akademik, narasi sering dibungkus dengan istilah “objektivitas” atau “kebebasan akademik.” Tapi objektivitas yang tidak kritis bisa menjadi bentuk baru dari pengabaian. Ketika kampus memberi panggung pada narasi yang mendukung penjajahan atau penindasan, tanpa memberi ruang yang setara bagi suara yang tertindas, maka kampus telah ikut membentuk opini publik yang bias.

Narasi bukan hanya soal siapa yang berbicara, tetapi juga siapa yang dibungkam. Dalam konteks Palestina, banyak suara yang selama ini terpinggirkan: anak-anak yang kehilangan rumah, ibu-ibu yang hidup di kamp pengungsian, dan aktivis yang berjuang tanpa mikrofon internasional. Konflik Palestina bukan hanya soal wilayah, tapi soal wacana. Dalam wacana, kampus punya tanggung jawab moral, untuk tidak sekadar menjadi ruang diskusi, tetapi menjadi ruang keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam era keterbukaan informasi, seleksi pembicara internasional tidak cukup hanya berdasarkan reputasi akademik. Ia harus mempertimbangkan rekam jejak kemanusiaan, keberpihakan sosial, dan kesesuaian dengan nilai-nilai institusional. UI dan kampus-kampus lain di Indonesia perlu menyusun pedoman etika seleksi narasumber global, agar ruang akademik tetap menjadi tempat yang aman, adil, dan berpihak pada kemanusiaan. Ketika kampus membuka ruang bagi narasi tertentu, ia juga berisiko menutup ruang bagi narasi lainnya, terutama ruang untuk kelompok yang terpinggirkan.

Berkaca dari kasus UI, bisa menjadi awal dari percakapan penting tentang peran kampus sebagai komunitas akademik dalam menyikapi narasi global tanpa kehilangan jati diri dan komitmen terhadap keadilan. Kampus bukan tempat yang netral. Ia adalah ruang perjuangan nilai. Terlebih lagi, negara Indonesia secara historis dan konstitusional menolak segala bentuk penjajahan.

Untuk mencegah kejadian serupa dan memperkuat posisi etis kampus, berikut beberapa langkah strategis yang dapat diambil. Pertama, kampus perlu menyusun pedoman etika seleksi narasumber internasional. UI dan kampus lain perlu memiliki standar seleksi pembicara yang tidak hanya mempertimbangkan reputasi akademik, tetapi juga rekam jejak kemanusiaan dan keberpihakan sosial. Pedoman ini bisa melibatkan komite etik lintas fakultas.

Kedua, adanya transparansi dan partisipasi kahasiswa dalam kurasi acara. Melibatkan mahasiswa dan dosen dalam proses kurasi pembicara akan memperkaya perspektif dan mencegah bias institusional. Forum diskusi terbuka sebelum acara bisa menjadi mekanisme kontrol sosial yang sehat.

Ketiga, memperkuat pendidikan literasi narasi global. Kampus perlu memperkuat kurikulum yang membekali mahasiswa dengan kemampuan membaca narasi global secara kritis, termasuk memahami konflik, propaganda, dan diplomasi budaya.

Keempat, membangun kemitraan dengan Institusi kemanusiaan dan perdamaian. Kampus dapat mengundang tokoh-tokoh dari lembaga internasional yang berfokus pada perdamaian, hak asasi manusia, dan keadilan sosial agar bisa menjadi penyeimbang narasi dominan yang sering kali bias kekuasaan.

Kelima, membuat pernyataan sikap institusional yang tegas. UI dan kampus lain perlu memiliki mekanisme untuk menyampaikan sikap resmi terhadap isu-isu global yang menyangkut nilai kemanusiaan, agar tidak terjebak dalam posisi ambigu. Bila perlu dibuat pernyataan yang tegas seperti, “Tidak ada tempat bagi ideologi penjajahan di ruang akademik Indonesia!”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image