Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Munawar Khalil N

Masjid Ramah Anak: Tumbuhkan Iman, Bukan Trauma

Agama | 2025-08-25 15:00:32

Beberapa waktu lalu, saya dikejutkan oleh sebuah video yang viral di media sosial. Isinya begitu menyakitkan—seorang pria paruh baya menendang kepala dua anak laki-laki yang sedang bermain di dalam masjid. Aksi kekerasan ini terekam CCTV dan sontak memicu kemarahan publik. Apa pun kesalahan anak-anak itu, tindakan kasar semacam itu tak bisa dibenarkan, apalagi dilakukan di rumah ibadah.

Video itu bukan hanya mencederai akal sehat, tetapi juga membangkitkan kembali kenangan pahit saya sendiri di masa kecil. Saat itu, malam pertama Ramadan. Saya dan teman-teman kecil antusias pergi ke masjid, duduk rapi di shaf belakang menanti ceramah dan tarawih. Beberapa anak berlarian dan tertawa, dan seorang pemuda masjid pun menegur. Namun yang terjadi berikutnya sungguh mengejutkan—salah satu pembina remaja masjid menampar kami semua, tanpa memilah siapa yang sekadar berbicara, siapa yang berlarian, dan siapa yang hanya duduk tenang. Tamparan itu tidak hanya menyakiti pipi, tetapi juga menoreh luka di hati. Sejak saat itu, saya menjauh dari kegiatan masjid.

Sayangnya, pengalaman seperti ini bukan cerita langka. Banyak anak-anak yang kehilangan hubungan emosional dengan masjid sejak dini karena pendekatan yang keliru—menghukum sebelum membimbing, menertibkan tanpa mengedukasi, dan mengedepankan marah ketimbang kasih sayang. Masjid yang seharusnya menjadi ruang pertumbuhan spiritual justru menimbulkan trauma.

Sungguh kontras dengan video lain yang juga sempat viral: sebuah masjid di Turki yang memperbolehkan anak-anak bebas bermain apa saja usai tarawih. Mereka berlarian ke sana kemari! Sang imam masjid bahkan turut bermain bersama mereka. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan kearifan, tetapi juga pemahaman mendalam bahwa anak-anak adalah bagian dari umat yang harus dirangkul, bukan dikucilkan.

Kita perlu kembali ke akar sejarah. Masjid dalam Islam bukan sekadar tempat ibadah. Di masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi adalah pusat segala aktivitas: tempat belajar, berdiskusi, bermusyawarah, hingga mengatur urusan sosial dan politik umat. Masjid adalah ruang publik yang inklusif, terbuka untuk semua golongan—anak-anak, perempuan, orang miskin, bahkan musafir. Fungsi ini semestinya terus kita hidupkan, bukan dipersempit.

Di Masjid Agung Sunda Kelapa, Jakarta, telah menyediakan Playground bagi anak-anak tanpa mengganggu aktifitas peribadatan. Bahkan menjadi pusat edukasi islam yang ramah terhadap generasi muda. Saya yakin semakin ke sini kesadaran akan pentingnya masiid yang ramah anak akan terus berkembang seiring semakin terbukanya informasi. Bahkan tidak hanya itu, masjid-masjid di berbagai daerah mulai menghidupkan fungsi sosial ekonomi. Masjid Jogokaryan mungkin menjadi salah satu contoh bagaimana pengelolaan masjid mampu menggerakkan masyarakat di sekitar untuk semangat beribadah baik dalam konteks mahdah seperti salat, puasa, zakat, maupun ghairu mahdhah seperti silaturrahim, sedekah, dan menuntut ilmu.

Masjid yang ramah anak bukan berarti membiarkan mereka berbuat semaunya. Sebaliknya, pendekatannya adalah dengan membimbing, bukan menghukum. Menegur dengan kasih sayang, bukan kekerasan. Rasulullah SAW memberi contoh terbaik dalam hal ini. Dalam sebuah hadis, disebutkan bahwa beliau membiarkan cucunya, Hasan dan Husain, menaiki punggungnya ketika sedang sujud.

Bahkan sahabatpun bertanya-tanya dalam hati mengapa sujud beliau begitu lama. Seusai salat, Rasulullah SAW menjelaskan, kira-kira seperti ini, “Cucuku sedang bermain di punggungku, dan aku tidak ingin mengganggu kesenangannya. Jadi kubiarkan sampai puas di atas punggungku.” Sungguh sebuah teladan penuh kelembutan dan empati.
Jika Rasulullah SAW saja sudah begitu jelas bagaimana memperlakukan anak-anak di masjid, lalu kita mencontoh siapa tatkala menertibkan anak-anak dengan kekerasan? Jika kita mengaku sebagai umat Nabi, mengapa kita begitu mudah melepaskan tangan untuk menghukum anak-anak yang sejatinya hanya ingin merasa diterima?

Masjid tidak boleh menjadi tempat di mana anak-anak merasa asing, apalagi takut. Sudah saatnya kita mengubah paradigma: dari "masjid harus sunyi dan tertib mutlak", menjadi "masjid harus hidup dan membina umat". Anak-anak bukan gangguan, mereka adalah amanah. Cara kita menyambut dan membimbing mereka di masjid hari ini akan menentukan apakah mereka akan mencintai atau meninggalkan rumah ibadah di masa depan.

Karena dari masjidlah seharusnya generasi terbaik kita tumbuh—bukan dengan trauma, tetapi dengan cinta.

Foto: republika.co.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image