Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ari J. Palawi

Ketika Seni Menyapa Iman

Humaniora | 2025-08-25 01:58:22
Fine Art Photography oleh Andi Irawan (2014) — dipublikasikan dengan izin.

Seni dan Cermin Kehidupan

Ada saat-saat ketika saya berhenti sejenak di depan mural berwarna di pinggir kota, atau terpaku menonton sajian tradisi berkesenian masyarakat adat yang ditampilkan sebentar dalam sebuah acara resmi. Indah, memikat, tapi juga menyisakan tanya. Apakah kita sungguh menghayatinya, atau sekadar lewat begitu saja?

Islam sendiri mengajarkan, “Allah itu indah dan mencintai keindahan” (HR. Muslim). Maka seni, dalam wajah apapun, sejatinya adalah jalan iman. Namun di tengah derasnya arus digital, seni kerap menyusut menjadi hiburan cepat atau simbol gengsi. Kita bertepuk tangan, berfoto, membagikan potongan konten, lalu melupakannya. Sementara, di balik setiap karya ada proses panjang. Ada do'a di dalamnya, pengorbanan, latihan, kegelisahan, dan harapan. Saat kita hanya melihat hasil, kita kehilangan kesempatan untuk menyelami maknanya.

Masyarakat kita sering lupa bahwa seni adalah cermin kehidupan. Dalam syair tradisi Nusantara, misalnya, kita menemukan doa sekaligus kritik sosial. Dalam tari panen atau nyanyian nelayan, kita melihat syukur pada alam sekaligus pesan ekologis. Semua ini selaras dengan amanah manusia sebagai khalifah fil ardh (QS. Al-Baqarah:30), penjaga bumi.

Seni yang Menyembuhkan dan Menyadarkan

Seni memiliki kemampuan untuk berbicara ketika kata-kata tak lagi memadai. Dalam nyanyian duka, tarian kolektif, atau lukisan sederhana, ada energi yang merangkul hati yang tercerai-berai. Seni menyelamatkan bukan karena ia menyelesaikan masalah, melainkan karena ia mengikat kita kembali pada rasa kemanusiaan.

Seni adalah bahasa batin. Di banyak daerah, nyanyian kolektif digunakan untuk merawat luka pasca-bencana, tarian bersama untuk merajut kembali persaudaraan. Inilah bukti bahwa seni bukan sekadar hiburan, tetapi juga ruang syifa’ atau penyembuhan jiwa. Islam menekankan nilai ihsan dalam setiap pekerjaan. Kaligrafi yang digoreskan perlahan, musik yang dilatih berulang, atau lukisan yang disusun sabar adalah bentuk nyata ihsan itu, yakni: kerja yang indah karena lahir dari hati yang jernih.

Di sisi lain, seni yang hidup juga berfungsi sebagai pengingat. Syair, musik, dan tarian sering kali membawa pesan sosial, kritik halus, dan refleksi moral. Seni menegakkan keseimbangan. Ia mengangkat batin ke langit, sekaligus menegakkan kaki di bumi. Ia menyatukan do'a dengan tanggung jawab, rasa syukur dengan kesadaran etis. Inilah seni yang memanusiakan manusia.

Dari Penonton Tren ke Penjaga Makna

Pertanyaannya sekarang: bagaimana kita, sebagai masyarakat Muslim terbesar di dunia, lebih dewasa dalam meberikan apresiasi yang bernilai? Menurut saya, jawabannya terletak pada langkah-langkah kecil yang konsisten. Hadirilah pertunjukan komunitas, bukan hanya konser besar. Rasakan detail gerakan, suara, atau warna. Dukung karya lokal dengan membeli tiket, karya digital, atau sekadar menuliskan refleksi di media sosial. Tindakan sederhana ini membuat seni hidup lebih lama, sekaligus melatih kepekaan kita sendiri.

Apresiasi seni yang dewasa berarti menempatkannya sebagai amanah. Sebuah lagu tentang laut, misalnya, bukan sekadar hiburan, tapi pengingat menjaga ekosistem. Bukankah Al-Qur’an berulang kali menyeru manusia untuk merenungi alam semesta (QS. Ali ‘Imran:190-191)? Di situ seni bertemu iman. Mencakup do'a, syukur, dan tanggung jawab.

Jika kita belajar menonton dengan hati, bukan sekadar mata, maka seni akan menjadi rahmah bagi kita. Seperti pesan Al-Qur’an, bahwa Nabi diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin (QS. Al-Anbiya:107), demikian pula seni bisa menjadi rahmat—bagi diri, komunitas, dan semesta.

Akhirnya, pilihan ada pada kita. Apakah kita mau berhenti sebagai penonton tren digital, atau beranjak menjadi penjaga makna? Jika kita mau melihat seni sebagai do'a, cermin, dan amanah, maka masyarakat Muslim Indonesia akan tumbuh lebih matang. Tidak semata religius di ritual, tetapi juga berbudaya dalam kehidupan yang lebih indah, adil, dan penuh rahmat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image