Perbandingan Pajak, Zakat dan Wakaf : Antara Sistem Kapitalisme dan Islam
Politik | 2025-08-22 22:29:37
Isu perpajakan kembali ramai diperbincangkan setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyamakan kewajiban pajak dengan zakat dan wakaf. Pernyataan itu tentu menuai reaksi beragam. Di satu sisi, pemerintah sedang berusaha keras mendongkrak penerimaan negara yang kian seret. Di sisi lain, masyarakat mempertanyakan keadilan sistem pajak yang berlaku selama ini.
Di tengah polemik itu, menarik untuk membandingkan pajak dalam sistem kapitalisme dengan zakat dan wakaf dalam Islam. Meskipun sama-sama berbicara tentang distribusi kekayaan, keduanya berangkat dari landasan hukum, tujuan, dan filosofi yang sangat berbeda.
Pajak dalam Kapitalisme: Tulang Punggung Anggaran
Dalam sistem ekonomi kapitalisme, pajak adalah tulang punggung utama pemasukan negara. Hampir seluruh program pemerintah, mulai dari infrastruktur hingga subsidi, dibiayai dari pajak. Karena itu, ketika penerimaan pajak menurun, pemerintah akan mencari objek baru untuk dikenakan tarif.
Beberapa wacana yang belakangan muncul antara lain pajak karbon, pajak warisan, hingga pajak rumah ketiga. Bahkan tarif pajak lama, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dinaikkan berlipat. Strategi ini menunjukkan satu hal: negara kapitalis menggantungkan hampir seluruh keberlangsungan ekonominya pada pajak rakyat.
Masalahnya, struktur ekonomi kapitalisme juga membuka ruang besar bagi swasta untuk menguasai sumber daya alam. Akibatnya, negara kehilangan salah satu potensi pemasukan terbesar, dan rakyatlah yang harus menutup kekosongan itu melalui pajak.
Beban Rakyat, Fasilitas untuk Kapitalis
Pajak dalam kapitalisme sering dipandang tidak adil. Rakyat kecil yang penghasilannya pas-pasan tetap diwajibkan membayar pajak, sementara para konglomerat kerap mendapat keringanan. Kita sering mendengar istilah tax amnesty, insentif fiskal, atau keringanan pajak bagi investor besar.
Fenomena ini memperlihatkan kontras yang mencolok: rakyat kecil makin terbebani, sementara kapitalis justru dimanjakan. Proyek-proyek negara yang dibiayai dari pajak pun kerap dituding lebih banyak menguntungkan kelompok elit atau perusahaan besar, bukan masyarakat bawah.
Tak heran jika sebagian kalangan menilai pajak dalam sistem kapitalisme bersifat “zalim”: ia mengambil harta dari rakyat miskin, lalu menyalurkannya ke proyek yang tidak selalu kembali kepada mereka.
Zakat: Instrumen Ibadah dan Keadilan Sosial
Dalam Islam, zakat bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan ibadah yang langsung terhubung dengan aspek keimanan. Seorang Muslim yang hartanya mencapai nisab dan haul diwajibkan mengeluarkan zakat, bukan karena perintah negara, melainkan perintah Allah SWT.
Yang menarik, zakat memiliki sasaran yang jelas. Al-Qur’an menetapkan delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima zakat, mulai dari fakir miskin hingga amil zakat. Dengan aturan ini, distribusi zakat lebih terarah, langsung menyentuh kelompok yang benar-benar membutuhkan.
Zakat juga berfungsi sebagai instrumen moral. Ia mengingatkan orang kaya bahwa dalam harta mereka ada hak orang lain. Artinya, zakat tidak hanya menyelesaikan masalah ekonomi, tapi juga membangun kesadaran spiritual dan solidaritas sosial.
Wakaf: Amal yang Berkelanjutan
Berbeda dengan zakat, wakaf hukumnya tidak wajib. Ia bersifat sukarela, namun efeknya bisa luar biasa. Wakaf biasanya berupa tanah, bangunan, atau aset produktif yang hasilnya dipakai untuk kepentingan masyarakat.
Sejarah Islam mencatat, wakaf menjadi salah satu pilar peradaban. Banyak masjid, sekolah, rumah sakit, bahkan pusat riset ilmiah yang berdiri berkat wakaf. Hingga kini, wakaf masih menjadi instrumen penting yang manfaatnya terus mengalir meski pewakafnya telah meninggal dunia.
Inilah perbedaan besar dengan pajak. Wakaf lahir dari kerelaan hati, bukan paksaan hukum. Nilainya bukan sekadar angka, tetapi amal jariyah yang manfaatnya dirasakan lintas generasi.
Pajak dalam Islam: Bersifat Temporal
Islam tidak menafikan adanya pajak, tetapi kedudukannya berbeda dengan kapitalisme. Dalam literatur fikih, pajak dalam Islam disebut dharibah. Pungutannya bersifat sementara, hanya berlaku jika kas negara kosong dan negara menghadapi kebutuhan mendesak—misalnya untuk pembiayaan perang atau bencana besar.
Yang dikenai pun bukan semua rakyat, melainkan hanya laki-laki Muslim yang kaya. Dengan begitu, pajak dalam Islam tidak pernah menjerat orang miskin. Prinsip dasarnya adalah keadilan yakni beban negara dipikul bersama, sesuai kemampuan.
Lebih dari itu, negara Islam tidak bergantung pada pajak karena memiliki banyak sumber pemasukan lain. Salah satu yang terbesar adalah pengelolaan sumber daya alam. Hasil tambang, minyak, gas, hutan, dan air adalah milik umum yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Di sinilah letak bedanya, kapitalisme menyerahkan SDA ke swasta, sedangkan Islam menempatkannya di bawah kendali negara.
Dampak Sosial yang Berbeda
Dari sini tampak jelas perbedaan dampak sosial antara pajak dalam kapitalisme dengan zakat dan wakaf dalam Islam. Pajak seringkali membebani rakyat kecil, menambah ketimpangan, dan menimbulkan rasa ketidakadilan. Sementara zakat dan wakaf justru mempersempit jurang kaya–miskin, memperkuat solidaritas, dan membangun kesadaran bahwa kekayaan hanyalah titipan.
Islam menempatkan distribusi kekayaan sebagai bagian dari ibadah, bukan sekadar urusan fiskal. Oleh karena itu, zakat dan wakaf tidak hanya menyelesaikan masalah ekonomi, tapi juga menata akhlak dan mempererat hubungan sosial.
Refleksi untuk Indonesia
Pernyataan pejabat yang menyamakan pajak dengan zakat dan wakaf seharusnya dilihat secara kritis. Pajak memang bisa dipakai untuk membiayai program sosial, namun ia tetap berbeda secara prinsip. Zakat dan wakaf lahir dari landasan agama dan spiritualitas, sementara pajak adalah produk hukum negara yang berbasis kepentingan politik dan ekonomi.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim tentu memiliki peluang besar untuk mengembangkan instrumen zakat dan wakaf secara lebih serius. Jika dikelola profesional, zakat dan wakaf bisa menjadi sumber dana yang signifikan untuk mengurangi kemiskinan, tanpa harus terus-menerus menambah beban pajak rakyat.
Lebih jauh lagi, pengelolaan sumber daya alam yang lebih adil dan berpihak pada rakyat dapat mengurangi ketergantungan negara pada pajak. Di sinilah nilai-nilai Islam tentang kepemilikan umum dan pengelolaan baitulmal bisa dijadikan inspirasi.
Kesimpulan
Perbandingan antara pajak, zakat, dan wakaf menunjukkan perbedaan mendasar antara sistem kapitalisme dan Islam. Kapitalisme menjadikan pajak sebagai tulang punggung, meski seringkali membebani rakyat kecil dan menguntungkan kapitalis besar. Islam menempatkan zakat sebagai kewajiban ibadah, wakaf sebagai amal berkelanjutan, dan pajak hanya sebagai instrumen darurat ketika kas negara kosong.
Jika sistem ekonomi Islam diterapkan secara kaffah, kesejahteraan tidak hanya menjadi jargon, tetapi realitas. Negara tidak akan menggantungkan hidupnya pada pajak rakyat miskin, karena ada mekanisme yang lebih adil, spiritual, dan menyejahterakan semua lapisan masyarakat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
