Negara Berbisnis, Rakyat Merugi
Bisnis | 2025-08-22 15:39:06SEJAK awal republik berdiri, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimandatkan sebagai lokomotif pembangunan. Namun kini, lokomotif itu lebih mirip kereta tua yang ditarik rakyat dengan APBN.
Jumlah BUMN terus membengkak, hingga Agustus 2025, tercatat lebih dari 1.050 perusahaan termasuk anak, cucu, hingga cicit. Dari ribuan entitas itu, hanya segelintir yang produktif. 97 persen dividen negara disumbang oleh delapan induk BUMN yaitu Pertamina, PLN, Telkom, Bank Mandiri, BRI, BNI, BTN, dan Inalum. Sementara ratusan lainnya lebih banyak menjadi beban ketimbang penyumbang.
Setiap tahun, setengah lebih BUMN mencatatkan rugi. Laporan menyebut 52 persen BUMN tekor, dengan akumulasi kerugian sekitar Rp50 triliun saban tahun. Angka ini setara membangun ribuan sekolah dasar baru atau menggaji puluhan ribu tenaga kesehatan. Ironis, karena uang itu hilang dalam neraca korporasi negara yang gagal dikelola efisien.
Yang lebih menyakitkan, kerugian itu tak pernah benar-benar ditanggung manajemen. Pemerintah saban tahun mengucurkan Penyertaan Modal Negara (PMN), sementara DPR menjadi arena lobi. APBN, yang bersumber dari keringat rakyat, digelontorkan untuk menopang bisnis negara yang tak kompetitif. Pertanyaan pun menggantung, untuk apa negara terus berbisnis jika saban tahun merugi?
*Direksi Kaya, Rakyat Bayar Tagihannya*
Ironi makin tajam jika menengok isi kantong para petinggi BUMN. Direktur Utama Pertamina menerima sekitar Rp4,6 miliar per bulan, direksi Bank Mandiri dan BRI lebih dari Rp5 miliar per bulan, sementara direksi Telkom menikmati Rp4,23 miliar per bulan. Bahkan, ketika Garuda Indonesia nyaris bangkrut, direksinya masih tercatat menerima gaji dan fasilitas bernilai puluhan miliar. Rasanya sungguh absurd, negara membayar orang dengan gaji selangit hanya untuk menghantarkan perusahaan ke jurang kerugian.
Masalah lain adalah korupsi yang berulang. Tahun ini publik dikejutkan oleh kasus dugaan korupsi impor minyak Pertamina Patra Niaga dengan potensi kerugian mencapai Rp193,7 triliun, salah satu terbesar dalam sejarah negeri ini. Belum lagi kasus di PT INTI dengan kerugian Rp100 miliar, atau di bank BUMN di Semarang dengan nilai Rp112 miliar. Kita juga masih mengingat skandal Jiwasraya dan Asabri yang menyedot ratusan triliun, serta sejumlah skandal lainnya yang begitu menyesakkan dada. Polanya serupa, keuntungan pribadi mengalir ke kantong segelintir elite, kerugian sosial ditanggung rakyat.
Apakah negara harus terus jadi pengusaha? Ada sektor strategis seperti energi, listrik, transportasi yang memang layak dijaga negara. Namun untuk apa negara mengurus bisnis hotel, semen, katering, hingga pariwisata? Faktanya, negara kerap kalah efisien dibanding swasta. Nasionalisme bukan berarti memelihara perusahaan merugi dengan uang rakyat. Nasionalisme sejati adalah ketika negara berani menutup yang sakit, membenahi yang rusak, dan memastikan hanya yang sehat yang berjalan.
Pada akhirnya, semua tagihan kembali ke rakyat. Pajak yang dipungut dari pedagang kecil, buruh, pegawai, hingga UMKM dipakai menutup kerugian BUMN. Rakyat membayar dua kali, baik itu lewat pajak maupun lewat harga barang serta jasa yang tak selalu murah, sementara itu transparansi sangat minim. Publik jarang tahu daftar lengkap BUMN merugi, detail gaji direksi, atau tindak lanjut kasus korupsi. Semua ditutupi jargon “restrukturisasi”.
Saatnya Menyudahi Ilusi
BUMN hanya akan menjadi mesin pelayanan publik bila direformasi serius. Ada beberapa langkah mendesak yaitu rampingkan jumlahnya dari ribuan entitas, cukup 200 yang sehat, batasi gaji direksi sesuai kinerja, wajibkan transparansi laporan keuangan, daftar rugi, hingga gaji petinggi, fokus hanya pada sektor strategis, dan perkuat penegakan hukum agar koruptor BUMN tak lagi berlindung di balik kata “strategis”.
Selama BUMN tetap menjadi sapi perahan politik, kereta tua yang diseret APBN, dan ladang korupsi, rakyat hanya akan terus membayar mahal untuk sebuah ilusi nasionalisme. Jika negara benar-benar berpihak pada rakyat, sudah waktunya berkata tegas, cukup sudah BUMN menjadi beban, cukup sudah rakyat menanggung rugi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
