Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Desi Sommaliagustina

Mamak Manjua Harto Pusako, Panghulu Manutuik Mato

Kolom | 2025-08-22 10:48:28
Ilustrasi Rumah Adat Minangkabau (Sumber:wkipedia.org)

Di ranah Minangkabau, ada ungkapan pedih yang kerap terdengar dalam perbincangan masyarakat adat: “mamak manjua harta pusako, panghulu manutuik mato.” Sebuah sindiran yang menggambarkan kondisi ketika harta pusaka kaum dijual oleh mamak—paman yang memegang amanah—sementara panghulu yang seharusnya menjaga martabat adat justru memilih bungkam. Ungkapan ini sesungguhnya lebih dari sekadar pepatah adat; ia adalah cermin krisis moral, hukum, dan kepemimpinan di tengah masyarakat kita hari ini.

Bagi orang Minang, pusako tinggi bukan hanya sebidang tanah, sawah, atau kebun. Ia adalah simbol identitas kolektif kaum, sebuah penanda eksistensi sosial yang diwariskan secara turun-temurun melalui garis ibu. Karena itu, pusako memiliki nilai sakral: tidak boleh diperjualbelikan, apalagi dipindahkan kepemilikannya kepada pihak luar.

Mamak ditunjuk sebagai pengelola, bukan pemilik. Tugasnya menjaga, mengusahakan, dan memastikan harta pusaka tetap memberi manfaat bagi kemenakan. Sementara panghulu sebagai pemimpin adat adalah pengawas moral, pengendali agar tidak ada penyimpangan dalam pengelolaan harta pusaka. Namun dalam praktik hari ini, pusako justru semakin sering diperlakukan sebagai komoditas.

Sawah ulayat dijual untuk pembangunan jalan, kebun diwariskan sebagai hak milik pribadi, tanah adat digadaikan untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Akhirnya, generasi mendatang kehilangan pegangan. Identitas sosial yang seharusnya kokoh malah tergerus oleh kepentingan ekonomi jangka pendek.

Pengkhianatan dan Masalah Hukum

Fenomena mamak manjua pusako mencerminkan adanya pengkhianatan terhadap amanah kaum. Mamak bukanlah pemilik mutlak, melainkan hanya pemegang kuasa sementara. Tetapi dalam realitasnya, sebagian mamak menjadikan pusako sebagai milik pribadi yang bisa dipindahkan demi keuntungan ekonomi.

Panghulu pun tidak jarang ikut terseret dalam pusaran ini. Alih-alih melarang, panghulu memilih diam—manutuik mato. Diamnya panghulu seringkali beralasan menjaga kerukunan keluarga, menghindari konflik terbuka, atau bahkan karena ikut menerima bagian hasil penjualan. Padahal, ketika panghulu menutup mata, maka hancurlah sendi adat yang ia jaga.

Kondisi ini membuat pepatah adat “pusako tinggi indak buliah dipaindahkan, indak buliah dijual, indak buliah digadai” hanya tinggal slogan. Ia tidak lagi menjadi panduan hidup, tetapi sebatas warisan kata-kata yang kehilangan makna di tengah pragmatisme ekonomi.

Masalah semakin rumit ketika adat berhadapan dengan hukum negara. Secara konstitusional, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup. Hal ini diperkuat oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang mengakui keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat.

Namun dalam praktik, hukum positif justru sering dijadikan tameng untuk melegalkan penjualan pusako. Tanah ulayat yang sudah disertifikatkan dapat diperjualbelikan secara sah menurut hukum negara, meskipun adat jelas melarangnya. Mamak yang cerdik memanfaatkan celah ini. Ia bersembunyi di balik sertifikat hak milik untuk mengalihkan pusako ke tangan orang luar.

Di sinilah benturan terjadi: adat melarang, hukum negara membolehkan. Kaum yang kehilangan pusako sering tak berdaya, karena pengadilan lebih mengakui bukti sertifikat ketimbang keterangan adat. Akibatnya, pusako yang seharusnya menjadi milik bersama berubah menjadi aset pribadi yang sah secara hukum, meski cacat secara adat.

Etika dan Agama

Adat Minangkabau berakar pada falsafah “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Artinya, adat tidak boleh dilepaskan dari nilai agama. Menjual pusako tanpa musyawarah mufakat adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah, dan itu bertentangan dengan prinsip syarak.

Dalam Islam, pemimpin yang diberi amanah akan dimintai pertanggungjawaban. Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari-Muslim). Maka mamak yang menjual pusako bukan hanya menyalahi adat, tetapi juga melanggar syariat. Panghulu yang menutup mata pun ikut menanggung dosa diamnya.

Krisis moral ini lebih berbahaya daripada sekadar hilangnya aset. Sebab ia mengikis kesadaran kolektif masyarakat, melemahkan ikatan kekeluargaan, dan menimbulkan generasi yang tercerabut dari akar budayanya.

Fenomena mamak manjua pusako, panghulu manutuik mato tidak boleh dibiarkan berlarut. Jika terus berlangsung, maka pusako tinggi akan habis dijual, tanah ulayat semakin sempit, dan generasi mendatang kehilangan identitas adat. Beberapa langkah solusi dapat ditawarkan:

Pertama, penguatan Lembaga Adat Kerapatan Adat Nagari (KAN) perlu mengambil peran lebih tegas. Setiap transaksi atas pusako semestinya mendapat persetujuan KAN, bukan hanya mamak atau panghulu. Dengan begitu, ada mekanisme kontrol yang lebih kuat.

Kedua, sinergi dengan Pemerintah Pemerintah daerah bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus memperkuat regulasi agar tanah ulayat tidak mudah disertifikatkan sebagai hak milik individu. Sertifikat atas pusako hanya boleh dikeluarkan jika ada rekomendasi KAN. .

Ketiga, revitalisasi Pendidikan Adat Generasi muda perlu diberikan pemahaman kembali tentang makna pusako. Bahwa tanah pusaka bukan sekadar aset ekonomi, melainkan simbol harga diri kaum. Pendidikan adat di nagari harus dihidupkan kembali agar anak kemenakan tidak tercerabut dari akar budayanya.

Keempat, sanksi Adat dan Sosial Mamak atau panghulu yang terbukti menjual pusako tanpa musyawarah seharusnya diberi sanksi adat. Misalnya dicopot dari jabatan, diputus hubungan kekerabatan adat, atau dikenai denda sosial. Sanksi ini penting sebagai efek jera.

“Hilang pusako, runtuh martabat.” Ungkapan ini bukan sekadar pepatah kosong. Ia adalah peringatan keras bahwa jika pusako habis dijual, maka yang hilang bukan hanya tanah atau sawah, melainkan juga marwah kaum.

Fenomena mamak manjua pusako, panghulu manutuik mato adalah wajah nyata krisis hukum adat di ranah Minang. Di satu sisi, adat berusaha mempertahankan nilai kolektif. Di sisi lain, hukum negara justru membuka celah bagi individualisasi hak atas pusako. Dalam ruang ini, kepemimpinan adat yang lemah membuat pusako semakin mudah diperdagangkan.

Kini saatnya kita mengembalikan pusako pada makna sejatinya. Negara, ninik mamak, panghulu, dan generasi muda harus bersatu untuk menjaga pusako sebagai identitas kolektif. Sebab ketika pusako hilang, yang hilang bukan sekadar tanah, tetapi juga akar budaya, martabat, dan bahkan ruh masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image