Membedakan Zakat dengan Pajak, Sebuah Tipuan Retorika
Politik | 2025-08-22 08:29:22
Oleh Ana Ummu Rayfa
Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi
Para pejabat di negara ini tak henti-hentinya mengeluarkan kebijakan maupun pernyataan yang mengundang kontroversi di masyarakat. Kali ini, pernyataan kontroversial dilontarkan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025 pada Rabu 13 Agustus 2025, Sri Mulyani mengatakan kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Pasalnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan. Sri Mulyani mengatakan, “pada dasarnya mereka yang mampu harus menggunakan kemampuannya karena di dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain. Caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, ada yang melalui wakaf, ada yang melalui pajak. Dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan. Kami sampaikan 10 juta keluarga tidak mampu diberikan program keluarga harapan. Bahkan diberikan tambahan sembako untuk 18 juta keluarga,” ujarnya. Sri Mulyani menambahkan, bahwa dalam konteks kebijakan fiskal, pajak yang dibayarkan oleh masyarakat kembali ke masyarakat dalam berbagai bentuk. Seperti program perlindungan sosial, hingga subsidi yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah. Bahkan disebutkan oleh Sri Mulyani, bahwa secara substansi, pajak bisa disebut sebagai bagian dari ekonomi syariah. (cnbcnews.com)
Pernyataan yang disampaikan Sri Mulyani ini sebagai upaya pemerintah menggenjot penerimaan pajak. Seperti diketahui bersama, bahwa saat ini penerimaan pajak negara tengah terhambat. Untuk itu, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak, karena di negeri ini, pajak menjadi tumpuan sumber pemasukan kas negara. Pemerintah saat ini telah membuat regulasi untuk menyesuaikan tarif pajak. Tak hanya itu, pemerintah juga mulai mencari objek pajak baru, seperti pajak warisan, karbon, rumah ketiga, dan lain-lain. Padahal, pajak yang sudah ada pun mengalami kenaikan berkali-kali lipat, seperti kenaikan PBB. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan di berbagai daerah pada masa ekonomi sulit ini menimbulkan kemarahan di masyarakat. Terbukti, gelombang perlawanan terjadi di Pati, dimana lebih dari 100.000 orang menuntut mundur Bupati Pati, setelah menaikkan PBB sebesar 250%.
Dalam sistem kapitalis, pajak menjadi sumber pendapatan tetap negara. Maka, tidak heran bila negara yang menerapkan sistem kapitalis, akan mendorong rakyatnya untuk membayar pajak, supaya pendapatan negara dari pajak menjadi optimal. Pajak juga dipandang sebagai dana segar yang dapat menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang negara yang membengkak. Padahal, negara memiliki sumber daya alam yang melimpah yang bila dikelola dengan baik, akan memberikan hasil yang sangat besar dan dapat digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan negara. Akan tetapi, negara justru memberikan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak swasta bahkan asing, sehingga hasil sumber daya alam dikeruk oleh asing, sedangkan rakyat dicekik oleh berbagai jenis pajak.
Inilah yang terjadi pada negara yang menerapkan sistem kapitalis. Rakyat miskin makin miskin dengan jeratan pajak, sedangkan para pemilik modal besar mendominasi kekayaan karena difasilitasi oleh negara dengan dibuat Undang-Undang yang mempermudahnya. Pajak diambil dari berbagai sektor, mulai dari makanan, minuman, penghasilan, kendaraan, tanah dan bangunan, dan sektor-sektor lainnya, yang tentunya lebih banyak menyasar masyarakat miskin yang saat ini sudah kesulitan. Dalam pendistribusiannya, uang hasil pajak lebih banyak digunakan untuk proyek-proyek yang menguntungkan kapitalis, sedangkan para kapitalis sendiri justru mendapat perlakuan istimewa dalam penarikan pajak, dengan adanya tax amnesty dan lain-lain.
Pernyataan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat sungguh sangat dipaksakan. Dari segi penarikan dan pendistribusiannya, pajak adalah pengambilan harta masyarakat dengan cara yang zalim, dan sangat tidak mungkin bila mekanisme zalim ini menjadi bagian dari ekonomi syariah, seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan tersebut.
Pajak sangat berbeda dengan zakat dan wakaf. Sebagai bagian dari syariat, mekanisme zakat dan wakaf diatur langsung oleh Allah SWT melalui Al Quran dan As Sunnah. Zakat adalah kewajiban atas harta kaum Muslim yang kaya, dan hartanya sudah memenuhi batas minimal (nisab) dan harta tersebut dimiliki selama satu tahun (haul). Dalam Islam, zakat merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara (Baitul Mal). Namun, dalam pendistribusiannya sudah ditentukan oleh syariat, yaitu hanya kepada 8 asnaf seperti dalam QS. At Taubah ayat 60, yaitu fakir, miskin, amil, riqab, gharimin, fii sabilillah, dan ibnu sabil.
Dalam Islam, sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) tidak menyandarkan pada zakat. Baitul Mal memiliki banyak sumber pendapatan, dan yang terbesar adalah sumber daya alam yang pengelolaannya tidak boleh diberikan kepada swasta, tetapi dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat. Kalaupun dalam Islam ada yang disebut dhaaribah (pajak), mekanismenya berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Dalam Islam, pajak adalah opsi terakhir yang diambil bila kas negara (Baitul Mal) dalam keadaan kosong dan adanya keperluan pembiayaan darurat yang harus segera diselesaikan. Itupun, dipungut hanya dari orang-orang kaya dan bersifat sementara hingga kondisi Baitul Mal stabil kembali.
Inilah yang dinamakan sistem ekonomi syariah, dimana mekanismenya berasal dari Allah SWT yang Maha Mengetahui kebutuhan hamba-Nya. Bila sistem ekonomi Islam ini diterapkan, maka kesejahteraan rakyat pasti akan terwujud. Terbukti dalam sejarah Daulah Islam, dibawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Azis pada tahun 717-720 M, tidak seorang pun rakyat yang berhak menerima zakat karena kondisi negara yang sangat sejahtera. Namun, sistem ekonomi Islam tidak dapat berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari sistem pemerintahan Islam yang menerapkan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Pernyataan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat adalah salah besar. Hal itu dilakukannya tidak lain untuk menarik kaum Muslim agar rela memberikan hartanya tanpa merasa terdzalimi. Kaum Muslim akan terus dicekik dengan pajak selama sistem kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Oleh karena itu, satu-satunya jalan untuk keluar dari jeratan pajak ini hanyalah bila sistem Islam diterapkan dalam sebuah institusi negara.
Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
