Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfin Nur Ridwan

Pendidikan yang Terabaikan, Masa Depan yang Dipertaruhkan

Kebijakan | 2025-08-21 20:31:48
Sumber: news.detik.com

Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali ramai dibicarakan karena kenaikan tunjangan fantastis hingga lebih dari Rp100 juta per bulan, publik seakan diingatkan lagi betapa timpangnya prioritas negeri ini. Di satu sisi, rakyat dipaksa menerima kenyataan bahwa anggaran pendidikan yang seharusnya menjadi kunci kemajuan bangsa justru dipangkas dan dialihkan sebagian ke program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Program ini memang terdengar mulia: memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang layak. Tetapi, bukankah ironis jika “makan” diprioritaskan dengan mengorbankan “pendidikan”? Bukan tunjangan anggota dewan.

Kita tentu sepakat bahwa anak yang lapar tidak bisa belajar dengan baik. Namun, anak yang hanya diberi makan tanpa kualitas pendidikan yang memadai juga tidak akan membawa negeri ini kemana-mana. Bayangkan sebuah negara yang generasi mudanya sehat jasmani, tetapi miskin wawasan, kritis, dan kreativitas. Itu bukan bonus demografi, melainkan bencana demografi.

Lelah dengan Paradoks

Pendidikan selama ini dianggap sektor wajib 20 persen dari APBN sesuai amanat Undang-Undang. Namun, realisasinya sering jauh dari harapan. Kementerian Keuangan menyebut rencana alokasi anggaran pendidikan 2026 mencapai Rp757,8 triliun, tetapi penggunaannya tidak serta-merta meningkatkan kualitas guru dan sekolah.

Lebih ironis lagi, sebagian dari anggaran itu kini dialihkan untuk program MBG, yang tentu saja menimbulkan tanda tanya besar: apakah pendidikan sudah begitu tak pentingnya hingga dikalahkan oleh program populis yang menjanjikan perut kenyang tetapi melupakan otak cerdas?

Pertanyaan ini menjadi relevan ketika melihat gaji guru masih stagnan, kesejahteraan tenaga pendidik honorer tetap jauh dari layak, dan sarana pendidikan di banyak daerah masih tertinggal. Di pelosok Indonesia, ada sekolah yang dindingnya masih dari bilik kayu dan atap bocor. Ada guru yang harus mengajar di tiga sekolah berbeda demi memenuhi kebutuhan hidup. Namun, ironi itu tidak cukup keras untuk menggugah prioritas negara.

Sejarah sudah banyak memberi contoh bahwa negara yang mengabaikan pendidikan akan menuai kemunduran. Lihatlah Venezuela, negara kaya minyak yang sempat menjadi salah satu ekonomi terkuat di Amerika Latin.

Tetapi karena pemerintah terlalu sibuk dengan politik populis dan subsidi instan tanpa diimbangi dengan investasi besar di bidang pendidikan, Venezuela jatuh ke jurang krisis multidimensi. Generasi mudanya mengalami brain drain besar-besaran, pergi ke luar negeri demi masa depan yang lebih cerah.

Bandingkan dengan Jepang atau Finlandia, yang menjadikan pendidikan sebagai fondasi pembangunan. Mereka tidak sekadar memberi makan anak-anaknya, tetapi memastikan kualitas guru, kurikulum, dan akses pendidikan terbaik. Hasilnya, kedua negara ini menjelma menjadi contoh global dalam kemajuan teknologi, kesejahteraan, dan kualitas hidup.

Politik Lebih Diutamakan

Kontras sekali dengan negeri ini. Sementara rakyat diminta memahami keterbatasan anggaran, DPR justru dimanjakan dengan tunjangan, fasilitas, dan kemewahan yang terus bertambah. Jika rakyat dikatakan harus bersyukur dengan program MBG, anggota dewan malah mendapat “MBG” versi berbeda: Mobil Bergengsi Gratis dari fasilitas negara.

Logika sederhana bisa kita gunakan di sini: apakah betul problem utama pendidikan di Indonesia hanya soal gizi anak? Jika jawabannya ya, maka alokasi anggaran ke MBG memang bisa dimaklumi. Namun, bukankah akar masalah pendidikan di negeri ini jauh lebih dalam? Mulai dari minimnya kualitas guru, kurikulum yang sering gonta-ganti sesuai selera politik, hingga minimnya fasilitas dasar di sekolah-sekolah pelosok.

Menyediakan makan siang gratis tanpa pembenahan menyeluruh ibarat menambal genteng bocor dengan kertas koran: mungkin bisa bertahan sebentar, tapi tetap akan runtuh ketika hujan datang.

Menatap ke Depan

Jika prioritas ini terus berjalan, masa depan bangsa jelas dalam bahaya. Kita akan memiliki generasi yang kenyang tetapi tidak siap menghadapi kompetisi global. Generasi yang tumbuh tanpa daya kritis, mudah dipengaruhi propaganda, dan tidak mampu melahirkan inovasi. Akhirnya, Indonesia akan hanya menjadi pasar bagi produk negara lain, bukan produsen gagasan atau teknologi.

Pendidikan seharusnya tidak dipandang sebagai beban, melainkan investasi jangka panjang. Setiap rupiah yang dihemat dari pendidikan hari ini akan dibayar mahal dengan stagnasi ekonomi, korupsi yang berulang, dan rendahnya kualitas demokrasi di masa depan.

Negeri ini perlu belajar dari sejarah, baik dari kegagalan maupun keberhasilan negara lain. Memberi makan anak bangsa memang penting, tetapi memberi mereka pendidikan berkualitas adalah syarat mutlak. Jika negara hanya sibuk memanjakan DPR dan menukar masa depan pendidikan dengan program populis jangka pendek, maka bukan tidak mungkin kita sedang menggali lubang kemunduran sendiri.

Sejarah akan mencatat, generasi kita adalah generasi yang membiarkan masa depan bangsa dirampas oleh politik yang terlalu sibuk memanjakan segelintir elit, dan lupa bahwa inti dari sebuah negara adalah rakyat yang cerdas, berdaya, dan berpendidikan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image