Menengok Jejak Sang Maestro: Ahmad Amiruddin Pabittei
Teknologi | 2025-08-21 15:47:03
Gerimis lembut membasahi kota Makassar sore itu. Di sudut sebuah kafe yang hangat, aroma kopi dan buku-buku lama menyatu, menciptakan suasana yang sempurna untuk sebuah kisah. Kisah tentang seorang maestro, seorang visioner, seorang pemimpin yang tak hanya membangun fisik, tapi juga jiwa. Namanya, Ahmad Amiruddin Pabittei, atau lebih akrab disapa Pak Amir.
Nama itu mungkin sudah asing. Hanya saja, para akademisi dan intelektual di Sulawesi Selatan, ia adalah guru. Namun, siapa sebenarnya sosok di balik nama besar tersebut? Lebih dari sekadar guru besar, rektor dan gubernur. Pak Amir adalah seorang pendongeng kehidupan, seorang pemahat masa depan. Kisahnya adalah sebuah epik tentang ketekunan, dedikasi, dan cinta yang tulus pada ilmu dan tanah kelahirannya.
Lahir di Gilireng, Pak Amir kecil tumbuh di tengah kearifan lokal yang kental. Matahari terbit dan tenggelam di daratan Wajo tak hanya menuntunnya mengarungi lautan pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan rasa cinta yang mendalam pada nilai-nilai kemanusiaan. Pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) hingga akhirnya menjejakkan kaki di perguruan tinggi.
Di sinilah, bibit-bibit kepemimpinan mulai bersemi. Ia tak hanya menjadi mahasiswa yang cemerlang, tapi juga aktif dalam berbagai organisasi, mengasah kepekaan sosial dan kemampuan berinteraksi dengan sesama.
Cerita Pak Amir tak hanya tentang angka-angka dan teori ekonomi. Ia adalah sosok yang melihat potensi di balik keterbatasan. Saat ditugaskan menjadi rektor UNHAS setelah selesai dipinjamkan ke Universiti Kebangsaan Malaysia, ia tak hanya mewarisi sebuah institusi pendidikan, tetapi juga sebuah tantangan besar.
Saat itu, UNHAS masih berjuang untuk menjadi pusat keunggulan. Namun, dengan kepemimpinan yang visioner dan tangan dinginnya, Pak Amir mampu mengubahnya.
Ia bagaikan seorang arsitek yang merancang masa depan. Gedung-gedung perkuliahan, laboratorium, dan perpustakaan dibangun, tak hanya sebagai struktur fisik, tetapi juga sebagai wadah lahirnya generasi-generasi unggul. Namun, yang lebih penting dari semua itu, Pak Amir membangun sebuah budaya. Budaya riset, budaya diskusi, dan budaya kolaborasi. Ia selalu menekankan bahwa universitas harus menjadi tempat di mana ide-ide besar lahir dan dibicarakan.
Di balik ketegasannya sebagai seorang pemimpin, Pak Amir adalah sosok yang sangat humoris dan dekat dengan mahasiswanya. Sering kali, ia menyempatkan diri untuk berinteraksi langsung dengan para mahasiswa, mendengarkan keluh kesah mereka, dan memberikan nasihat. Ia percaya bahwa pendidikan sejati tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga dalam interaksi antar manusia. Ia adalah sosok yang mampu menjembatani jurang antara hirarki dan kebersamaan, menciptakan lingkungan belajar yang inspiratif dan humanis.
Kepemimpinan Pak Amir di UNHAS adalah sebuah babak yang menjadi pintu meneruskan dari masa lalu ke masa kini. Ukiran sejarah pendidikan di Sulawesi Selatan. Ia tak hanya fokus pada pembangunan internal, tetapi juga membawa UNHAS ke panggung nasional dan internasional.
Jalinan kerja sama dengan berbagai universitas di luar negeri diperluas, membuka jalan bagi dosen dan mahasiswa untuk menimba ilmu dan pengalaman di mancanegara. Ia percaya bahwa sebuah universitas harus membuka diri terhadap dunia, agar ilmunya tidak stagnan.
Namun, kisah Pak Amir tak berhenti di situ. Setelah masa jabatannya sebagai rektor berakhir, ia tetap aktif berkontribusi. Ia menjadi guru besar, seorang pendidik yang tak pernah lelah berbagi ilmu. Kuliah-kuliahnya selalu dinanti-nanti. Ia tak hanya mengajarkan teori, tetapi juga memberikan perspektif, wawasan, dan inspirasi. Ia selalu menekankan bahwa ilmu harus bermanfaat bagi masyarakat.
Jejak langkah Pak Amir juga beririsan kuat dengan pembangunan regional. Ia dipercaya mengemban amanah sebagai Gubernur Sulawesi Selatan untuk dua periode berturut-turut hingga tahun 2003. Dalam kepemimpinannya, ia mengadopsi dan mengimplementasikan Trilogi Pembangunan, sebuah konsep yang dicanangkan oleh pemerintah pusat.
Trilogi ini berfokus pada perubahan pola pikir, pengwilayahan komoditas, dan petik-olah-jual. Pak Amir melihat bahwa Trilogi Pembangunan bukan hanya slogan, melainkan peta jalan yang strategis untuk memajukan Sulawesi Selatan secara holistik. Ia menggandeng para pakar dan akademisi untuk merancang program-program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, dari sektor pertanian, perikanan, hingga industri kecil dan menengah.
Bahkan turun ke lapangan. Bertemu dengan petani. Meyakinkan mereka bahwa apa yang diputuskannya sebuah rencana pembangunan yang tepat.
Di bawah kepemimpinan Pak Amir, Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Ia berhasil menarik investasi, memajukan sektor agribisnis, dan perluasan lahan yang menjadi tanaman produktif. Ia tak hanya fokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan sumber daya manusia. Program-program pendidikan dan kesehatan digalakkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Ia percaya bahwa stabilitas politik dan sosial adalah kunci utama untuk mencapai kemajuan ekonomi. Dengan pendekatannya yang humanis dan merangkul semua pihak, ia berhasil menciptakan iklim yang kondusif untuk pembangunan. Berbagai pencapaian ini membuktikan bahwa visi dan dedikasi Pak Amir tak hanya terbatas pada dunia akademis, meluas ke ranah pemerintahan, meninggalkan warisan berharga bagi rakyat Sulawesi Selatan.
Salah satu warisan terbesarnya adalah visinya tentang "Universitas Berwawasan Maritim". Sebuah konsep yang kini menjadi kenyataan. Ia melihat potensi besar yang dimiliki Sulawesi Selatan sebagai wilayah kepulauan. Ia menyadari bahwa pendidikan harus relevan dengan konteks lokal. Maka, ia mendorong penelitian dan pengembangan di bidang kelautan, perikanan, dan sumber daya alam maritim. Ia tak hanya melihat laut sebagai batas, tetapi sebagai sebuah potensi yang tak terbatas.
Kini, Pak Amir telah tiada. Ia telah berpulang, meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Gedung-gedung megah, program-program studi yang unggul, dan ribuan alumni yang tersebar di seluruh penjuru negeri, semua itu adalah bukti nyata dari dedikasinya. Namun, yang terpenting, ia meninggalkan sebuah semangat. Semangat untuk terus belajar, semangat untuk berkontribusi, dan semangat untuk mencintai ilmu dan tanah air.
Kisah Ahmad Amiruddin Pabittei bukan hanya sekadar catatan sejarah. Ia adalah sebuah narasi inspiratif tentang bagaimana seorang individu mampu mengubah sebuah institusi, dan pada akhirnya, mengubah masa depan bangsanya. Ia adalah sang maestro, sang pemahat peradaban, yang kisahnya akan terus diceritakan, dari generasi ke generasi.
Meneruskan semangat itu, maka dibentuklah sebuah program Ahmad Amiruddin Fellowship. Sebuah kesempatan untuk meneruskan apa yang telah diletakkan allahuyarham Ahmad Amiruddin Pabittei dalam konteks pembangunan Sulawesi Selatan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
