Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Roma Kyo Kae Saniro

Lelang Singgang Ayam: Eksistensi Diri Masyarakat Minangkabau

Kuliner | 2025-08-21 00:21:58
Ilustrasi Singgang Ayam (Ayam Bakar). (Sumber foto: (Sumber foto: https://www.freepik.com/free-photo/baked-turkey-with-lettuce-pan_3157709.htm#fromView=search&page=1&position=18&uuid=17280833-7d62-43d8-b415-d6fab6bcb4c6&query=ayam+bakar)

Tradisi dalam masyarakat Minangkabau merupakan salah satu kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Tradisi ini bukan sekadar jejak masa lalu, melainkan warisan hidup yang terus dijaga dan dipraktikkan dalam keseharian masyarakat. Keberadaannya membuktikan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan oleh nenek moyang masih relevan hingga sekarang, bahkan mampu menjadi pedoman dalam menghadapi perubahan zaman.

Bagi masyarakat Minangkabau, tradisi tidak hanya dipandang sebagai sesuatu yang kuno atau sekadar ritual turun-temurun, tetapi sebagai identitas dan jati diri yang melekat dalam kehidupan sosial. Melalui tradisi, mereka membangun pola hidup, cara berpikir, serta hubungan antarsesama. Identitas tersebut tampak jelas dalam pepatah adat Minangkabau yang berbunyi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah—adat bersendi pada agama, dan agama bersendi pada Al-Qur’an. Pepatah ini menunjukkan betapa erat kaitan tradisi dengan nilai religiusitas dan keimanan.

Selain itu, tradisi juga menjadi sarana pembelajaran nilai-nilai kebersamaan. Masyarakat Minangkabau mengenal konsep gotong royong atau barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang (berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) yang tercermin dalam berbagai kegiatan adat maupun kehidupan sehari-hari. Melalui tradisi, masyarakat tidak hanya menjalankan ritual, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial yang menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat.

Di sisi lain, tradisi juga mengajarkan penghormatan terhadap adat dan norma yang diwariskan secara turun-temurun. Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa menghormati adat sama dengan menghormati leluhur dan menjaga keseimbangan hidup. Dengan kata lain, tradisi menjadi perekat yang menjaga keharmonisan antara individu, kelompok, dan alam semesta.

Minangkabau memiliki beragam tradisi, seperti batagak penghulu terkait dengan pengangkatan pimpinan kaum dengan menyembelih kerbau selama pesta berhari-hari bahkan seminggu. Selain itu, adanya balimau (membersihkan diri dengan mandi) di sungai dengan tujuan agar seseorang dapat menyucikan batinnya sebelum bulan Ramadhan tiba. Selain itu, adanya turun mandi yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran seseorang anak di dunia yang dilakukan di Sungai (batang aia). Lalu, adanya makan bajamba (makan bersama) yang menjadi sebuah akultuarasi budaya Minangkabau dengan budaya Islam untuk kebersamaan. Lalu, adanya tabuik yang dilakukan di Padang Pariaman. Kegiatan ini sebenarnya terinspirasi dari upacara atau perayaan kematian cucu Nabi Muhammad saw., yaitu Husein bin Ali yang meninggal saat perang di Karbala. Lebih jauh, upacara ini diadaptasi dan menajdi sebuah pertunjukan budaya yang menjadi ciri khas dari Pariaman setelah masuknya unsur-unsur budaya Minangkabau.

Dalam setiap perayaan adat maupun keagamaan, masyarakat Minangkabau tidak dapat dilepaskan dari kehadiran makanan yang selalu memiliki simbol dan makna tersendiri. Makanan bukan hanya sekadar santapan, melainkan bagian penting dari ekspresi budaya yang mencerminkan nilai kebersamaan, rasa syukur, serta penghormatan terhadap tradisi. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, tradisi Minangkabau tidak berhenti pada sekadar hidangan. Ada sebuah praktik unik yang hingga kini masih terus dilestarikan, yaitu tradisi lelang singgang ayam atau ayam bakar.

Tradisi ini masih berlangsung di berbagai wilayah Sumatera Barat, khususnya di daerah Solok Selatan dan Pesisir Selatan. Biasanya, lelang singgang ayam diadakan menjelang Lebaran di kampung-kampung, menjadi salah satu rangkaian kegiatan yang ditunggu-tunggu masyarakat. Suasananya selalu meriah, penuh kehangatan, dan sarat makna.

Sebenarnya, singgang ayam atau ayam bakar tersebut dapat dikatakan sama dengan ayam bakar lainnya. Singgang ayam yang sudah dimasak dengan bumbu khas Minangkabau kemudian dilelang seperti pada pelelangan biasa. Masyarakat, khususnya para perantau yang pulang kampung, akan ikut serta dalam acara ini. Tidak jarang, ayam tersebut dilelang dengan harga tinggi, bahkan jauh melampaui harga biasanya. Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah terkait dengan nilai dan representasi budaya masyarakat Minangkabau yang sangat menghargai sebuah kebersamaan dan gotong royong untuk membangun nagari atau wilayahnya. Selain itu, hal ini dilakukan bukan untuk sekadar membeli makanan, melainkan sebagai simbol eksistensi dan kesuksesan para perantau di tanah rantau.

Lebih dari itu, tradisi ini juga menjadi ajang untuk menunjukkan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap kampung halaman. Uang hasil lelang tidak dinikmati secara pribadi, melainkan digunakan untuk kepentingan bersama, seperti pembangunan nagari (desa), perbaikan fasilitas umum, atau kegiatan sosial lain yang bermanfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, lelang singgang ayam bukan hanya soal makanan, tetapi juga soal solidaritas, kebersamaan, dan kepedulian sosial.

Tradisi ini merefleksikan betapa kuatnya ikatan antara masyarakat Minangkabau dengan kampung halaman, meskipun banyak dari mereka merantau ke berbagai daerah bahkan ke luar negeri. Lelang singgang ayam menjadi ruang simbolik untuk mempertemukan kerinduan perantau dengan nagari asal, memperkukuh ikatan emosional, sekaligus mempertegas nilai adat yang berlandaskan gotong royong.

Dengan segala nilai yang terkandung di dalamnya, tradisi lelang singgang ayam tidak hanya sekadar warisan budaya, tetapi juga strategi kultural masyarakat Minangkabau dalam menjaga keharmonisan sosial, memperkuat solidaritas, serta meneguhkan identitas di tengah arus globalisasi yang semakin kuat.

Tradisi ini merupakan sebuah kearifan lokal yang masih dan diharapkan tumbuh subur di masyarakat. Selain untuk perayaan Lebaran, kegiatan ini juga dilaksanakan untuk memeriahkan hari lahir Indonesia atau 17 Agustusan. Beberapa waktu lalu, tradisi ini dilakukan di Nagari Bukit Buai, Tapan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kegiatan ini dilaksanakan sebagai sebuah rangkaian kegiatan 17-an yang dapat melestarikan tradisi Indonesia. Selain itu, uang yang didapatkan digunakan untuk kepentingan nagari dengan sebelumnya adanya mufakat dari para ketua dan masyarakat.

Tradisi lelang singgang ayam menjadi bukti nyata bagaimana masyarakat Minangkabau mampu menjaga warisan nenek moyang sekaligus menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Tidak hanya sebagai ajang perayaan dan hiburan, tradisi ini juga mengandung nilai kebersamaan, kepedulian sosial, serta semangat gotong royong yang menjadi inti kehidupan masyarakat. Dengan menjadikan hasil lelang sebagai sumber dana untuk kepentingan nagari, tradisi ini sekaligus menunjukkan bagaimana budaya lokal dapat berperan penting dalam pembangunan. Lebih jauh, pelaksanaannya pada berbagai momen, seperti Lebaran maupun perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, memperlihatkan bahwa tradisi ini bukan sekadar milik Minangkabau, tetapi juga bagian dari kekayaan budaya bangsa. Oleh karena itu, pelestarian lelang singgang ayam tidak hanya penting bagi masyarakat Sumatera Barat, melainkan juga bagi generasi muda Indonesia sebagai teladan bagaimana kearifan lokal dapat terus hidup, beradaptasi, dan memberi manfaat bagi kehidupan bersama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image