Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Roma Kyo Kae Saniro

Rendang Lokan, Sebuah Peninggalan Nenek Moyang Masyarakat Minangkabau

Kuliner | 2025-07-24 21:29:15

Roma Kyo Kae Saniro
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


Jika kita mendengar rendang, tentunya pikiran kita akan mengarah kepada masyarakat Minangkabau yang memiliki kearifan lokal yang luar biasa dalam mengolah bahan makanan, salah satunya rendang. Rendang sebagai makanan yang terkenal sebagai ciri khas masyarakat Minangkabau. Makanan ini disukai banyak orang selain karena kelezatannya, makanan ini memiliki umur simpan yang panjang hingga 6 bulan sehingga dapat dibawa ke mana-mana. Contohnya, pada masa lalu, rendang dibawa untuk persiapan makanan ketika umrah atau haji.

Ilustrasi Rendang Lokan (Sumber: https://www.kompas.com/food/read/2022/01/09/183700175/3-cara-masak-rendang-lokan-olahan-kerang-khas-pesisir-selatan)

Hal ini pun didukung oleh pendapat Asmanizar yang mengungkapkan bahwa rendang sebagai simbol kekayaan budaya Minangkabau dengan cita rasa dan Teknik memasak yang unik. Rendang digunakan dalam berbagai kegiatan budaya di Minangkabau, seperti upacara pernikahan, upacara adat, atau upacara lainnya. Dalam upacara pernikahan, misalnya, rendang disajikan sebagai hidangan kehormatan bagi tamu dan keluarga kedua mempelai. Kehadirannya bukan hanya untuk memanjakan lidah, tetapi juga sebagai simbol penyatuan dua keluarga besar dalam ikatan yang sakral dan penuh restu. Sementara dalam upacara adat, seperti pengangkatan penghulu (pemimpin adat) atau perayaan penting lain di nagari, rendang menjadi sajian utama sebagai lambang penghormatan, kekuatan, dan keberkahan. Bahkan dalam acara musyawarah adat atau saat menyambut tamu kehormatan dari luar daerah, rendang selalu hadir sebagai bentuk penghargaan tertinggi dari tuan rumah

Lebih jauh, rendang pun menjadi sebuah perdebatan dengan negara tetangga yang memiliki kedekatan secara geografis dengan Indonesia sehingga beberapa kasus terjadi terkait dengan perebutan kepemilikan rendang. Menilik situasi dan kondisi tersebut, rendang sebagai pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional sebaiknya menjadi sebuah subjek pembelajaran hak kekayaan intelektual (Tanzil, 2025). Dukungan terkait dengan legalitas rendang pun didukung oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mengajukan rendang sebagai warisan budaya dunia ke UNISCO. Tentunya, hal tersebut bukan hanya sebatas legalitas saja, tetapi pemerintah berharap bahwa rendang semakin mendunia dan memberikan dampak positif bagi ekonomi kreatif dan kuliner.

Sejauh ini, masyarakat hanya mengetahui bahwa bahan baku rendang adalah daging sapi. Namun, pada nyatanya, masyarakat Minangkabau memiliki variasi rendang lainnya, seperti rendang lokan. Lokan merupakan sejenis kerang yang hidup dalam perairan payau dan lumpur di pinggir laut. Hal ini mengingat bahwa daerah Minangkabau terbagi menjadi dua bagian, yaitu daerah darek dan rantau. Darek merupakan istilah untuk kawasan alam Minangkabau yang berada di pedalaman atau dataran tinggi, seperti Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota sekitarnya. Lalu, kawasan rantau merupakan daerah yang berada di wilayah pinggiran luar Kawasan inti alam Minangkabau. Kawasan ini disebut sebagai tempat permukiman orang-orang Minang, seperti Rantau Timur, Rantau Pesisir, Rantau Pasaman, dan Rantau Selatan.

Daerah rantau ini memiliki kekayaan alam laut yang luar biasa sehingga masyarakat Minangkabau memiliki pengetahuan untuk menjadikan sumber daya alamnya untuk rendang sehingga muncullah rendang lokan. Bahkan, pemerintah Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat telah mendapatkan sertifikat Rendang Lokan Pesisir Selatan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tanggal 25 Oktober 2023.

Hal menarik yang menjadi pembeda antara rendang sapi dengan rendang lokan adalah campuran sayur yang ada di dalamnya. Rendang lokan menggunakan sayur pakis (pakis) dan daun singkong yang tidak pernah digunakan untuk rendang dengan sapi. Tidak hanya itu, pemilihan sayur pakis karena tanaman ini merupakan tanaman liar yang tumbuh di sepanjang tepian sungai, kawasan bakau, sedangkan singkong tumbuh di sekitar rumah dan umbinya (singkong) digunakan sebagai pengganti beras.

Tidak hanya sebagai konsumsi pribadi, masyarakat Minangkabau yang tinggal di daerah Pesisir Selatan Sumatera Barat menjadikan rendang lokan sebagai penyesuaian untuk kondisi ekonomi mereka. Rendang lokan tidak hanya digunakan untuk keperluan upacara, tetapi juga untuk diperjualbelikan. Lebih jauh, makanan ini menjadi populer di pasaran dan mudah ditemukan di restoran dan toko makanan tradisional Minangkabau. Rendang lokan menjadi ikon pariwisata masyarakat Pesisir Selatan dan diminati oleh wisatawan lokal dan internasional.

Dengan demikian, rendang lokan merupakan sebuah peninggalan nenek moyang yang sangat berharga sebagai identitas budaya dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat setempat, tetapi juga menunjukkan kemampuan mereka beradaptasi dengan sumber daya alam setempat. Di balik rendang lokan, tersembunyi filosofi hubungan manusia dengan alam. Masyarakat Minangkabau hidup berdampingan dengan sungai, sawah, dan hutan. Mereka mengambil secukupnya dari alam tanpa serakah. Lokan ditangkap dengan tangan, tanpa alat berat, tanpa eksploitasi. Semua dilakukan dengan prinsip keberlanjutan yang diwariskan turun-temurun.

Dengan memilih lokan sebagai bahan utama, masyarakat Minang menunjukkan fleksibilitas dan penghormatan terhadap anugerah alam. Ini bukan sekadar masakan, tapi manifestasi kecintaan terhadap lingkungan. Rendang lokan bukan hanya masakan. Ia adalah cermin dari perjalanan panjang sebuah bangsa dalam menjaga tradisi, mencintai alam, dan menghormati leluhur. Rendang lokan bukan hanya masakan. Ia adalah cermin dari perjalanan panjang sebuah bangsa dalam menjaga tradisi, mencintai alam, dan menghormati leluhur. Harapannya, rendang lokan dapat eksis dan bertahan di antara variasi kuliner lainnya. Dengan begitu, jiwa Minangkabau dapat terus hidup.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image