Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Jaja Jamaludin

Derajat Ilmu, Demokrasi, dan Fenomena Wapres Muda

Agama | 2025-08-18 20:49:01

Alquran menegaskan:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]:11).

Ayat ini menyampaikan pesan abadi bahwa ilmu adalah pilar utama yang mengangkat derajat manusia, terlebih seorang pemimpin. Kepemimpinan dalam Islam bukan sekadar soal garis keturunan, popularitas, atau kekuasaan, melainkan soal kapasitas keilmuan dan integritas moral.

Namun, realitas politik Indonesia akhir-akhir ini menghadirkan paradoks. Kita menyaksikan lahirnya seorang wakil presiden termuda dalam sejarah bangsa, Gibran Rakabuming Raka. Fenomena ini memantik perdebatan: apakah kehadiran seorang wapres berusia muda tanpa rekam jejak panjang di dunia politik dan pemerintahan merupakan bukti segarnya demokrasi, atau justru cermin lemahnya penghargaan bangsa ini terhadap prinsip Qur’ani tentang pentingnya ilmu?

Antara Ayat dan Realitas Politik
Dalam tradisi Islam, kepemimpinan senantiasa dikaitkan dengan ilmu. Rasulullah ﷺ tidak menempatkan sahabat sembarangan. Mu’adz bin Jabal diutus ke Yaman karena keilmuan agamanya. Umar bin Khattab diberi peran strategis karena kecakapan administratifnya. Khalid bin Walid diamanahi sebagai panglima karena keahlian militernya.
Pertanyaannya: jika kepemimpinan dalam Islam bertumpu pada ilmu dan kapasitas, bagaimana kita memahami kenyataan ketika sistem demokrasi melahirkan seorang wakil presiden yang secara pengalaman dan pengetahuan politik relatif terbatas?

Demokrasi, Dinasti, dan Ilusi Meritokrasi
Fenomena Gibran tidak bisa dilepaskan dari tiga hal. Pertama, politik dinasti. Kenaikan Gibran dalam dunia politik dipercepat oleh statusnya sebagai putra presiden. Faktor ini memberi keunggulan besar dalam sistem elektoral kita yang masih sangat bergantung pada jaringan dan pengaruh elite.

Kedua, politik pencitraan dan populisme muda. Narasi “pemimpin muda” yang dekat dengan generasi Z berhasil membangun daya tarik, meski masih minim bukti capaian konkret di bidang pemerintahan nasional. Ketiga, kelemahan meritokrasi. Demokrasi Indonesia belum sepenuhnya menyeleksi pemimpin berdasarkan kapasitas intelektual atau rekam jejak, melainkan lebih pada elektabilitas dan daya jual politik.

Dari perspektif QS. Al-Mujādilah [58]:11, fenomena ini tentu problematis. Sebab, bangsa justru menaikkan figur ke posisi mulia bukan karena ilmu, melainkan karena faktor non-substantif.

Risiko bagi Bangsa
Menempatkan pemimpin yang belum matang dalam ilmu dan pengalaman membawa sejumlah risiko. Pertama, kebijakan publik rentan dangkal, tidak berbasis kajian mendalam. Kedua, politik transaksional makin subur, karena pemimpin yang minim kapasitas cenderung bergantung pada lingkaran elite di sekitarnya. Ketiga, hilangnya teladan meritokrasi: generasi muda bisa salah paham, seolah kepemimpinan hanya soal akses dan garis keturunan, bukan soal ilmu dan kerja keras.

Indonesia sebagai bangsa besar dengan problem kompleks—dari krisis iklim, ketahanan pangan, hingga geopolitik global—tentu membutuhkan pemimpin yang tidak hanya muda dan segar, tetapi juga matang secara keilmuan.

Tanggung Jawab Umat dan Rakyat
Demokrasi memberi rakyat kuasa memilih. Karena itu, fenomena Gibran tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada individu atau elite politik. Rakyat pun punya andil. Dengan memilih tanpa menimbang kapasitas keilmuan dan integritas, rakyat telah ikut mengabaikan pesan Qur’ani tentang meninggikan derajat orang berilmu.

Maka, solusinya adalah meningkatkan literasi politik umat. Rakyat perlu disadarkan bahwa memilih pemimpin adalah amanah, bukan sekadar ikut arus atau terpikat pencitraan. Seperti pesan Nabi ﷺ: “Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari).

Jalan ke Depan
Fenomena wapres muda hendaknya menjadi cermin sekaligus pelajaran. Kita perlu memastikan demokrasi Indonesia tidak terus-menerus melahirkan pemimpin karena garis keturunan, pencitraan, atau transaksional politik, melainkan karena kapasitas ilmu dan integritas. Ada tiga langkah kunci:

1. Reformasi partai politik agar rekrutmen kader berbasis kualitas, bukan sekadar modal finansial atau ikatan keluarga.

2. Peran akademisi dan masyarakat sipil dalam mendorong diskursus publik yang menekankan kapasitas keilmuan calon pemimpin.

3. Pendidikan politik bagi generasi muda agar demokrasi ke depan tidak hanya melahirkan pemimpin populer, tetapi juga pemimpin yang berilmu.

Penutup
QS. Al-Mujādilah [58]:11 adalah pengingat keras bahwa Allah meninggikan derajat orang berilmu. Dalam konteks demokrasi Indonesia, ayat ini menjadi kritik sekaligus renungan. Fenomena wapres muda seperti Gibran Rakabuming harus kita tempatkan bukan sekadar sebagai kebanggaan karena “anak muda bisa jadi pemimpin”, tetapi juga sebagai ujian: apakah bangsa ini benar-benar menghargai ilmu sebagai syarat kepemimpinan, atau kita justru terjebak pada ilusi demokrasi yang mengabaikan prinsip Qur’ani.

Jika kita ingin Indonesia benar-benar maju, maka prinsip Qur’ani harus ditegakkan: kepemimpinan harus di tangan mereka yang berilmu. Sebab, pemimpin tanpa ilmu hanya akan melahirkan kebijakan tanpa arah, sedangkan pemimpin berilmu akan melahirkan peradaban.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image