Membumikan Semangat Kemerdekaan Lewat Pendidikan dan Budaya di Era Global
Eduaksi | 2025-08-17 13:30:31Oleh: Andi Sukri Syamsuri
Setiap kali bulan Agustus tiba, merah putih kembali berkibar di setiap penjuru negeri. Suasana penuh semangat dan syukur menyelimuti bangsa ini, mengenang detik-detik proklamasi yang menjadi tonggak sejarah Indonesia sebagai negara merdeka. Namun, kemerdekaan bukan hanya tentang seremoni dan nostalgia. Lebih dari itu, ia adalah ajakan untuk terus menyalakan semangat perjuangan dalam konteks kekinian—khususnya melalui pendidikan dan pelestarian budaya.
Kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus merupakan hasil dari pengorbanan luar biasa para pahlawan—bukan hadiah, tapi hasil dari tekad, darah, dan air mata. Maka, pendidikan di Indonesia memiliki tugas yang jauh lebih besar dari sekadar mentransfer pengetahuan; ia harus menjadi ruang penyadaran sejarah, penguat karakter, dan benteng identitas bangsa.
Di dalam kelas, pembelajaran sejarah mestinya tidak kering dan terpisah dari realitas. Sebaliknya, ia harus hidup dan menyentuh. Siswa perlu diajak tidak hanya menghafal tanggal dan nama, tetapi juga meresapi nilai-nilai seperti keberanian, ketekunan, dan persatuan yang melekat dalam kisah perjuangan bangsa. Pendidikan yang mampu mengaitkan masa lalu dengan tantangan masa kini akan melahirkan generasi yang tidak sekadar tahu sejarah, tetapi juga menghidupi semangatnya.
Menghadapi era globalisasi yang terus menggerus batas-batas budaya, pendidikan pun perlu menjadi benteng identitas. Di tengah arus budaya asing yang masif, pendidikan berbasis kearifan lokal adalah jawaban agar generasi muda tetap berpijak pada akar budayanya sendiri. Bahasa daerah, seni tradisi, cerita rakyat, hingga nilai-nilai luhur yang diwariskan leluhur harus dikenalkan sejak dini—tidak sebagai beban, tapi sebagai warisan yang membanggakan.
Langkah-langkah nyata sudah mulai terlihat di berbagai daerah. Di Sulawesi Selatan, misalnya, sekolah-sekolah diwajibkan mengajarkan bahasa daerah dan mendorong siswa berinteraksi dalam dialek lokal. Program-program kreatif seperti kunjungan edukatif ke balai bahasa, talkshow kebudayaan, dan pentas seni daerah menjadi bukti bahwa pelestarian budaya bisa dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan relevan.
Namun tantangan tidak kecil. Di era digital ini, budaya global dengan mudah masuk ke ruang-ruang pribadi lewat gawai. Anak-anak lebih mengenal ikon budaya luar ketimbang tokoh lokal. Maka, tugas guru dan sekolah adalah menjadikan pembelajaran budaya sebagai pengalaman yang menarik dan bermakna. Drama sejarah, rekaman dokumenter siswa, digitalisasi cerita rakyat, hingga media sosial yang mempromosikan kebudayaan lokal adalah contoh pendekatan baru yang bisa dijelajahi.
Peringatan 17 Agustus bisa menjadi momentum strategis untuk menyatukan semangat patriotisme dan pelestarian budaya. Perayaan hari kemerdekaan tak harus monoton dengan lomba fisik saja, tetapi bisa diisi dengan pameran budaya, pertunjukan seni tradisi, dan kuliner khas daerah. Kegiatan seperti ini tidak hanya memperkuat identitas budaya, tetapi juga membangun rasa kebersamaan dan cinta tanah air yang nyata.
Tentu, peran negara sangat penting dalam mendukung upaya ini. Kebijakan yang mendorong penguatan budaya di sekolah, pelatihan guru dalam pengajaran berbasis budaya, hingga insentif bagi kegiatan pelestarian tradisi harus menjadi agenda bersama. Kolaborasi antara pemerintah, sekolah, komunitas lokal, dan keluarga adalah kunci agar nilai-nilai budaya tidak sekadar diajarkan, tapi benar-benar hidup di tengah masyarakat.
Daftar Segera Diri Anda Di Unismuh Makassar. Klik Disini!
Di tengah derasnya globalisasi, bangsa ini tidak boleh kehilangan jati dirinya. Merdeka secara politik bukanlah akhir, tapi awal dari perjuangan untuk merdeka secara budaya dan identitas. Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk itu. Melalui pendidikan yang membumi dan bermakna, generasi muda Indonesia dapat tumbuh sebagai manusia global yang tetap teguh berdiri di atas akar lokal.
Mari jadikan 17 Agustus bukan hanya perayaan seremonial, tapi juga titik tolak bagi transformasi pendidikan dan kebudayaan. Karena sejatinya, mengisi kemerdekaan adalah tentang membangun bangsa dengan semangat perjuangan, prestasi nyata, dan kebanggaan akan siapa kita sebagai bangsa Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
