Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Admin Eviyanti

17 Agustus 2025: Duka Rakyat, Dirgahayu Pejabat

Politik | 2025-08-26 19:54:27

Oleh Aizarafaf

Penggiat Literasi

17 Agustus merdeka kata mereka yang memiliki kursi jabatan. Tapi yang kita lihat pejabat cuma berjoget ria, seakan rakyat baik-baik saja.

Mereka berpesta di istana mega, sedangkan rakyat masih antre kerja, masih bingung besok mau makan apa, dicekik pajak yang tak masuk logika, guru dan dosen jadi beban negara kata mereka, banyak anak kecil jatuh sakit gara-gara makan siang gratis abal-abal. Sementara uang rakyat habis hanya untuk parade dan kembang api.

Mereka sibuk pesta merdeka, kebenaran justru ikut terkubur.

Demo dibalas gas air mata, suara kritik dibungkam. Korupsi merejarela, hak asasi diinjak. Itukah yang dimaksud merdeka?

Merdeka bukan soal pesta, joget ria, selfi di atas panggung.

Merdeka adalah martabat.

Merdeka itu, ketika sandang dan pangan rakyat tercukupi, pendidikan terjamin, kesahatan terpenuhi.

Katanya mereka adalah wakil rakyat. Namun ketika rakyat masih berjuang untuk sekadar bisa makan, mereka justru larut menari di atas panggung pesta.

Di saat negeri ini masih penuh luka, mereka menepuk tangan seakan segalanya baik-baik saja.

Hakikat kemerdekaan adalah ketika para pemimpin berhenti menutup telinga, dan dengan sungguh-sungguh mendengar jeritan bangsanya.

Rasulullah saw. bersabda: "Akan ada setelahku para pemimpin, barangsiapa yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya,” (HR. Ahmad).

Hadis tersebut menjelaskan bahwa umat Islam jangan sampai mendukung pemimpin yang zalim. Barangsiapa yang membenarkan kebohongan dan membantu kezaliman mereka, maka dia bukan termasuk golongan Rasulullah saw.

Mungkin tidak semua umat Islam berani menegur dan menasehati pemimpin yang zalim secara langsung.

Namun bukan berarti kemudian umat Islam pasrah atau bahkan membenarkan kezaliman pemimpin tersebut. Rasulullah saw memberikan arahan, ketika melihat suatu kemunkaran terjadi, umat Islam hendaknya berusaha mengubahnya sesuai kemampuan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hati. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman. [HR. An-Nasa’i dan Muslim].

Alhasil berbeda kepimpinan Islam dengan kapitalisme-sekulerisme.

Di dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah dari Allah. Pemimpin wajib menegakkan syariat, menjaga agama, dan mengurus urusan rakyat sesuai hukum Allah.

Sedangkan di dalam kapitalisme-sekulerisme, kepemimpinan adalah kontrak sosial antara rakyat dan penguasa, yang dipisahkan dari nilai agama. Hukum dibuat berdasarkan akal manusia, kepentingan mayoritas, atau bahkan kepentingan elit dan pengusaha.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image