Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Thaufan Arifuddin

Kapitalisme Stakeholder dan Pelajaran untuk Rezim Prabowo

Pendidikan dan Literasi | 2025-08-17 07:35:02

Skandal Wirecard menjadi salah satu peristiwa paling memalukan dalam sejarah ekonomi modern Jerman di bawah platform kapitalisme stakeholder. Indonesia di bawah rezim Prabowo harus belajar dari peristiwa dan skandal ini. Wirecard, sebuah perusahaan penyedia layanan pembayaran digital, awalnya dipandang sebagai ikon kesuksesan Jerman dalam ekonomi berbasis teknologi.

Kapitalisme stakeholder melibatkan kolaborasi beragam stakeholder ekonomi yaitu negara, bisnis, serikat pekerja, dan bahkan masyarakat. Ilustrasi foto: www. pexels.com

Namun, di balik citra itu tersembunyi praktik manipulasi akuntansi dan penipuan sistematis yang berlangsung bertahun-tahun. Skandal ini bukan hanya membuka kebobrokan manajemen Wirecard, tetapi juga menunjukkan kegagalan mendasar dalam tubuh kapitalisme stakeholder Jerman, sebuah sistem yang selama ini dibanggakan karena mengedepankan kolaborasi antara negara, bisnis, serikat pekerja, dan masyarakat (Zammit-Lucia, 2022).

Gejala awal kebobrokan Wirecard muncul sejak 2008, ketika seorang anggota asosiasi pemegang saham Jerman menuding adanya kejanggalan dalam laporan keuangan perusahaan. Pada 2015, Financial Times (FT) mulai mempublikasikan seri investigasi House of Wirecard yang mengungkap sejumlah kejanggalan serius. Laporan Zatarra pada 2016, yang disusun oleh investor Matt Earl dan Fraser Perring, semakin mempertegas adanya kelemahan pengawasan terhadap praktik pencucian uang.

Namun, alih-alih menindaklanjuti tuduhan tersebut, otoritas pengawas keuangan Jerman, BaFin (Federal Financial Supervisory Authority), justru menargetkan jurnalis dan penulis laporan dengan tuduhan manipulasi pasar.

Respons defensif ini menandai pergeseran fungsi regulator dari pengawal integritas pasar menjadi pelindung perusahaan nasional. Pada 2018, seorang whistleblower internal di Singapura melaporkan adanya praktik penipuan di kantor cabang Wirecard. Namun, penyelidikan internal segera dihentikan.

Saat Financial Times menerbitkan artikel investigasi berdasarkan temuan itu pada Januari 2019, Wirecard menyebutnya sebagai berita palsu, dan BaFin kembali membuka investigasi terhadap jurnalis FT, bukan terhadap perusahaan. Regulasi di Jerman tampak lebih fokus menjaga citra perusahaan ketimbang menegakkan akuntabilitas.

Puncak paradoks terjadi pada 2019. Otoritas Singapura menggerebek kantor pusat Wirecard, sementara BaFin justru memberlakukan larangan short selling saham Wirecard dengan alasan melindungi stabilitas ekonomi. Investigasi FT juga mengungkap bahwa beberapa mitra bisnis Wirecard di Filipina ternyata hanya alamat rumah penduduk biasa, bukan perusahaan internasional.

Auditor Ernst & Young (EY) tetap memberikan opini wajar atas laporan keuangan Wirecard. Bahkan, perusahaan ini menerima investasi sebesar €900 juta dari SoftBank dan menerbitkan obligasi senilai €500 juta yang mendapat rating layak investasi dari Moody’s. Semua ini menunjukkan bagaimana ilusi stabilitas dibangun melalui kolaborasi semu antara korporasi, auditor, regulator, dan investor.

Kebohongan tersebut akhirnya runtuh pada Juni 2020, ketika Wirecard mengakui bahwa €1,9 miliar dalam neracanya tidak pernah ada. Ernst & Young terbukti gagal menjalankan prosedur audit dasar, yakni memverifikasi catatan rekening bank asli. Ironisnya, bahkan saat bukti penipuan sudah jelas, Presiden BaFin, Felix Hufeld, masih menyuarakan kemungkinan bahwa skandal ini hanyalah rekayasa oleh para short sellers. Hal ini memperlihatkan resistensi psikologis dan ketidakmampuan institusi untuk mengakui kegagalan mereka sendiri.

Lebih dari sekadar penipuan korporasi, kasus Wirecard menunjukkan kegagalan institusional dalam sistem politik, hukum, dan regulasi Jerman. Meskipun sudah ada peringatan berulang dari investor, media internasional, dan otoritas asing, elite politik dan ekonomi Jerman memilih menutup mata.

Wirecard diperlakukan sebagai national champion, simbol keberhasilan Jerman dalam memasuki ekonomi digital. Kritik dari luar negeri dipandang bukan sebagai peringatan, tetapi sebagai serangan terhadap martabat nasional Jerman.

BaFin berdalih bahwa kewenangannya terbatas karena Wirecard diklasifikasikan sebagai perusahaan teknologi, bukan lembaga keuangan. Pembelaan birokratis ini mencerminkan lemahnya mekanisme akuntabilitas dalam birokrasi regulasi. Lebih jauh, hubungan dekat Wirecard dengan Bundeskriminalamt (BKA) yang diduga menggunakan kartu kredit Wirecard beridentitas palsu dalam operasi penyamaran menunjukkan konflik kepentingan yang memperburuk pengawasan. Keterhubungan semacam ini memperlihatkan bagaimana korporatisme dapat mengaburkan batas antara hukum dan kolusi.

Kasus Wirecard mengguncang reputasi Jerman yang selama ini mengandalkan stakeholder capitalism sebagai model pembangunan ekonomi. Alih-alih menjadi sistem yang menyeimbangkan kepentingan semua pihak, praktik tersebut tergelincir menjadi korporatisme, hubungan yang terlalu akrab antara bisnis, regulator, dan politikus sehingga fungsi pengawasan kritis lumpuh. Kritik dari media Anglo-Saxon seperti FT dicurigai sebagai spekulasi pasar ketimbang sebagai upaya jurnalistik yang sahih. Dengan demikian, nasionalisme ekonomi justru menjadi tirai yang membutakan institusi terhadap fakta-fakta obyektif.

Pelajaran utama dari skandal ini adalah betapa tipisnya garis antara kolaborasi sehat dan kolusi berbahaya. Stakeholder capitalism, yang idealnya menjamin keadilan sosial dan keberlanjutan, dapat berubah menjadi mekanisme perlindungan yang melanggengkan penipuan. Proses ini sering berkembang perlahan melalui jejaring konferensi, lobi, serta praktik revolving door antara sektor publik dan swasta. Akhirnya, pengunduran diri Felix Hufeld dan wakilnya, Elisabeth Roegele, pada Januari 2021 menjadi pengakuan terlambat atas kegagalan sistemik yang seharusnya dapat dicegah (Zammit-Lucia, 2022).

Allhasil, skandal Wirecard tidak hanya menodai reputasi Jerman, tetapi juga menjadi peringatan global mengenai rapuhnya batas antara kapitalisme partisipatif dan korporatisme yang disfungsional. Indonesia yang sedang menata ekonominya hari ini dengan berbagai paket terobosan ekonomi di bawah rezim Prabowo harus memahami dinamika dan belajar dari skandal ini sehingga tidak terjadi hal yang serupa. Semoga!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image