Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Thaufan Arifuddin

Paradigma Kajian Komunikasi Kritis Kontemporer

Kolom | 2025-08-16 18:55:17

Kajian komunikasi dan media sangat vital di era digital. Tetapi, tidak mudah memahami realitas komunikasi dan media karena setiap pesan dan peristiwa komunikasi serta institusi media merepresentasikan bukan hanya realitas sosiologi dan politik yang berlapis-lapis, tetapi juga menyimpan seribu satu ideologi yang kompleks.

Kajian komunikasi kontemporer tidak lagi hanya berbicara soal pesan, media, dan khalayak. Seiring dengan dinamika sosial, para pemikir kritis menyoroti bahwa komunikasi selalu terkait erat dengan struktur kuasa, kelas, dan ideologi. Peter Golding dan Graham Murdock, misalnya, menilai bahwa teori komunikasi arus utama terlalu idealis dan positivis karena cenderung melihat masalah sosial sekadar sebagai masalah komunikasi. Padahal, tanpa memahami relasi kuasa dan ketidaksetaraan struktural, teori sosial maupun komunikasi akan mandek (Fuch, 2020).

Aksi demonstrasi adalah wajah dari komunikasi kritis. Ilustrasi foto: Penulis

Dalam perspektif kritis, komunikasi bukan sekadar proses teknis penyampaian pesan, melainkan arena pergulatan sosial yang sarat dengan kepentingan ekonomi, politik, dan ideologi. Karena itu, teori komunikasi kritis tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus sekaligus menjadi teori kritis tentang masyarakat. Artinya, analisis komunikasi harus ditempatkan dalam konteks antagonisme kelas, dominasi, kapitalisme global, patriarki, rasisme, hingga perjuangan sosial yang mewarnai kehidupan sehari-hari.

Salah satu tradisi yang berpengaruh dalam teori komunikasi kritis adalah Humanist Marxism. Pendekatan ini menekankan bahwa manusia adalah pusat dari praksis sosial. Melalui aktivitas dan perjuangannya, manusia berpotensi membangun masyarakat yang lebih adil. Namun, kapitalisme menciptakan keterasingan (alienasi) yang menjauhkan manusia dari potensi kemanusiaannya. Humanist Marxism karenanya menolak bentuk-bentuk sosialisme dogmatis seperti Stalinisme yang cenderung reduksionis, dan justru menekankan sosialisme demokratis yang berbasis pada pengelolaan kolektif masyarakat.

Selain itu, ada pula tradisi Critical Theory dari Frankfurt School yang sejak 1920-an mengembangkan kritik terhadap kapitalisme modern. Tokoh-tokohnya seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, dan Walter Benjamin yang mengkritik akal instrumental, yaitu cara berpikir yang mereduksi manusia menjadi sekadar alat produksi dan konsumsi. Mereka meneliti bagaimana ideologi, budaya massa, dan teknologi menjadi sarana dominasi yang memperhalus eksploitasi kapitalisme. Dengan demikian, teori kritis berusaha mengangkat batu untuk menyingkap mekanisme tersembunyi yang mempertahankan sistem penindasan.

Kontribusi besar Frankfurt School juga terlihat dalam analisisnya terhadap fasisme, otoritarianisme, hingga budaya industri. Mereka menunjukkan bahwa kapitalisme tidak hanya menindas melalui ekonomi, tetapi juga melalui kesadaran palsu (false consciousness) yang ditanamkan lewat media, pendidikan, maupun budaya populer. Kritik ini relevan hingga kini, ketika algoritma media sosial membentuk cara berpikir masyarakat secara halus namun efektif.

Tradisi ketiga adalah Critical Political Economy of Communication, yang menyoroti hubungan erat antara media, kapitalisme, dan distribusi kekuasaan. Berangkat dari kritik Marx terhadap ekonomi politik klasik, pendekatan ini menelaah bagaimana produksi, distribusi, dan konsumsi media selalu dipengaruhi relasi kelas. Vincent Mosco, misalnya, mendefinisikan ekonomi politik komunikasi sebagai studi tentang relasi sosial khususnya relasi kuasa yang membentuk proses produksi dan konsumsi sumber daya komunikasi.

Pendekatan ekonomi politik komunikasi telah menjadi arus penting dalam kajian media global, dengan lahirnya asosiasi riset internasional hingga jurnal khusus seperti tripleC dan The Political Economy of Communication. Tradisi ini menekankan bahwa media bukanlah entitas netral, melainkan bagian dari struktur kapitalisme yang meneguhkan dominasi. Dari kepemilikan media yang terkonsentrasi pada segelintir konglomerat, hingga algoritma digital yang dikendalikan korporasi global, komunikasi selalu berkelindan dengan kapital (Fuch, 2020).

Alhasil, dari ketiga tradisi ini yaitu Humanist Marxism, Critical Theory Frankfurt School, dan Critical Political Economy of Communication, kita belajar bahwa komunikasi tidak bisa dipahami secara sempit. Ia bukan hanya soal pesan yang ditransmisikan, tetapi juga medan pertarungan sosial yang sarat kuasa. Dalam konteks dunia kontemporer yang ditandai krisis, ketimpangan, dan otoritarianisme baru, paradigma kritis menawarkan lensa untuk membongkar relasi kuasa yang tersembunyi. Bagi media, akademisi, maupun masyarakat, pemahaman ini membuka ruang untuk menjadikan komunikasi sebagai sarana emansipasi, bukan sekadar instrumen dominasi elit dan partai politik berkuasa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image