Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ummu Zidan

Pemberdayaan Perempuan atau Pemperdayaan?

Gaya Hidup | 2025-08-14 08:16:02

Perempuan selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Terlebih lagi di era kapitalisme saat ini, ketika segala isu dapat dijadikan komoditas pasar demi meraih keuntungan.

Lembaga-lembaga internasional pun berpikiran untuk mengangkat narasi seputar perempuan dan dunia kerja. Mereka sering membenturkan posisi perempuan dengan laki-laki, seolah keduanya adalah rival, padahal hakikatnya mereka adalah mitra yang saling menguatkan.

UN Women bekerja sama dengan Srikandi BUMN, Danantara, Kementerian BUMN, dan Forum Human Capital Indonesia, meluncurkan Women's Empowerment Principles Corporate Action Lab (WEPsCAL) guna mendukung kesetaraan gender di Indonesia.

Melalui keterangan pers UN Women di Jakarta, disebutkan bahwa WEPsCAL merupakan inisiatif pertama di Indonesia yang diluncurkan untuk menyatukan berbagai perusahaan yang berkomitmen membangun tempat kerja yang lebih inklusif gender melalui berbagai pengembangan kapasitas dan implementasi aksi hingga awal tahun 2026. WEPsCAL di Indonesia melanjutkan kerja sama antara UN Women dan Srikandi BUMN untuk mempercepat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di sektor bisnis. Kerja sama tersebut telah diresmikan pada Februari 2025. ( Antara News , 23-7-2025)

Dari perbudakan kaum perempuan seolah-olah “diratukan”, dimuliakan layaknya seorang ratu, dengan diberi ruang untuk berpartisipasi dan mengembangkan diri di dunia kerja, setara dengan sang raja. Kapitalisme menanamkan pola pikir bahwa perempuan yang abadi adalah mereka yang berdaya secara finansial. Akibatnya, kebahagiaan seorang wanita pun diukur dari sejauh mana pencapaian materi yang berhasil diraihnya.

Penggiringan ke arah Feminisme

Laporan AIPEG tahun 2018 yang menyebutkan bahwa 1,7 juta perempuan usia 20—24 tahun meninggalkan pekerjaan karena menikah atau memiliki anak membuat feminisme global terguncang. Mereka mengganggap bahwa hal ini termasuk potensi perempuan. Perempuan yang seharusnya bisa diberdayakan justru malah dirampas.

Kesetaraan gender yang dicanangkan bisa terancam jika perempuan ramai-ramai meninggalkan dunia kerja. Dari sini kemudian digalakkan kembali pemberdayaan ekonomi perempuan. Sebuah kalimat yang terkesan indah, membela kepentingan kaum perempuan. Namun penuh dengan ambisi feminisme yang sejalan dengan prinsip-prinsip kapitalisme. Semua diukur dengan standar keberhasilan materi.

Padahal seorang muslimah memiliki peran terbaik dalam keluarga, yaitu sebagai istri, mitra suami dan seorang ibu, pendidik anak-anak. Posisi penting ini wajib dijalankan oleh seorang perempuan. Karena dari tangannya akan lahir sosok-sosok calon pemimpin masa depan sejati. Dari kelembutan seorang perempuan, terciptalah suasana rumah tangga yang harmonis. Sehingga mampu membentuk keluarga ideal. Hal inilah yang tidak diinginkan oleh kapitalisme. Sehingga mereka ingin menghancurkan benteng terakhir yang dimiliki oleh umat Islam, yakni keluarga muslim yang berlandaskan keimanan.

Mereka sengaja menggiring kaum perempuan agar berbondong-bondong meninggalkan peran terbaiknya untuk keluar rumah mencari eksistensi diri yang semu. Pola pikir perempuan telah diracuni oleh konsep pemberdayaan ala kapitalisme yang menempatkan peran mulia sebagai istri dan ibu seolah-olah hanya peran kelas kedua. Menurut pandangan feminisme kapitalisme, perempuan tidak boleh kalah dengan laki-laki, harus memiliki kemandirian finansial, mandiri dan tidak bergantung pada laki-laki.

Kemuliaan Perempuan dalam Islam

Berbeda dengan kapitalisme yang memuat peran domestik, Islam memuliakan perempuan dengan menempatkannya pada posisi yang sesuai fitrah. Sosok perempuan yang prospeknya adalah ia yang mengoptimalkan keinginan sebagai istri yang mendampingi dan menguatkan suami, serta sebagai ibu yang menumbuhkan generasi. Di balik kesuksesan seorang suami yang memberi kontribusi bagi perbaikan masyarakat, selalu ada peran istri yang setia menopang. Begitu pula, di balik lahirnya generasi terbaik, pasti ada sentuhan lembut tangan seorang ibu yang membentuk keimanan dan syaksyiyahnya.

Generasi terbaik harus dipersiapkan oleh para ibu, agar kelak mereka mampu mengisi peradaban mulia yang akan menggantikan sistem kehidupan kapitalisme yang rusak hari ini. Dari rahim dan didikan merekalah akan lahir para pemimpin masa depan—pemimpin yang membawa cahaya kebenaran dan keadilan bagi dunia.

Demikianlah syariat Islam mengatur peran mulia seorang ibu, hingga Allah menjanjikan ganjaran besar berupa rida-Nya dan limpahan pahala bagi perempuan yang fokus menjalankan peran terbaiknya. Hal ini bukan berarti Islam melarang perempuan untuk bekerja. Islam membolehkan perempuan bekerja selama tidak mengabaikan kewajibannya sebagai istri dan ibu, memperoleh izin dari suami, serta pekerjaan tersebut tidak mengandung pelanggaran terhadap syariat.

Maka, ketika perempuan mengikuti Arah kapitalisme, perhatiannya akan beralih dari peran utamanya. Terlebih lagi, karier yang dikejarnya bisa menggeser peran mulia tersebut. Mereka akan semakin jauh mengikuti arus kapiltalisme.

Dari retakan tersebut mulai terjadi retakan dalam bangunan keluarga Muslim. Perselingkuhan, baik dari suami maupun istri, muncul ketika cinta dan perhatian mulai memudar. Anak-anak yang haus kasih sayang pun mencari pengungsi pada hal-hal yang merusak. Semua ini kerap berawal dari perhatian istri yang terkuras oleh pekerjaan, disertai minimnya komunikasi dengan suami dalam mendidik buah hati.

Anak-anak diserahkan sepenuhnya kepada sekolah, sementara dunia maya terbuka lebar tanpa batas. Perlahan, keluarga kehilangan napas ruhiyahnya, dan setiap anggota berjalan mengikuti selera masing-masing. Lahirlah generasi yang tumbuh tanpa sentuhan sejati dari orang tua. Mereka ada secara fisik, namun tak pernah benar-benar hadir dalam kehidupan anak-anaknya.

Walhasil, paradigma berpikir perempuan perlu diluruskan kembali. Seorang perempuan akan benar-benar berdaya ketika ia mampu menyempurnakan amanahnya sebagai istri dan ibu. Begitu agungnya tugas seorang ibu, hingga tak layak jika ia hanyut dalam arus gerakan keluar rumah atas nama pemberdayaan perempuan.

Negara memiliki tanggung jawab untuk memberikan edukasi yang tepat kepada para perempuan. Pendidikan boleh setinggi langit, namun ilmu yang diperoleh seharusnya memberi kontribusi nyata bagi keluarga dan umat. Ilmu itu tidak menggerus fitrah seorang ibu, melainkan menjadi bekal untuk melahirkan karya agung bagi peradaban, yakni terciptanya generasi yang siap menjadi pengisi peradaban dunia. Wallahu'alam bish-shawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image