Genap 71 Tahun Tragis Penghilangan Paksa Haji Sulong Al-Fatani
Sejarah | 2025-08-13 23:49:55
“Jika mengenang Munir sebagai Ikon pejuang HAM Indonesia, Maka di Patani tercatat Haji Sulong sebagai Satria yang tak pernah tunduk pada musuh demi Nasib rakyat Patani”
Bagi Masyarakat Indonesia, nama Munir Said Thalid menjadi simbol perjuangan hak asasi manusia. Aktivis yang tanpa Lelah membela korban pelanggaran HAM. Munir wafat secara tragis pada 7 september 2004 dalam penerbangan menuju Belanda, diracun arsenic dalam sebuah operasi yang hingga kini masih menyisakan misteri dan tanda tanya besar. Munir merupakan cermin moral bangsa, suara bagi yang dibungkam, peneguh bagi yang tertindas.
Di Patani (Selatan Thailand), masyarakat juga memiliki sosok simbolis dalam semangat perjunngan. Haji Sulong Abdul Kadir Al-Fatani. Beliau Adalah ulama besar, pemimpin kharismatik dan sang pembela Nasib Masyarakat Melayu Patani yang berjuang menuntut keadilan dan hak menentukan Nasib sendiri atas dasar perdamaian.
Pada pagi 13 Agustus 1954 Haji Sulong bersama anaknya dan beberapa rekannya dipanggil secara tertutup oleh pihak pemerintah Thailand. Sejak pertemuan itu, beliau hilang tanpa jejak tak pernah Kembali. Peristiwa tragis kelam ini menjadi warisan ingatan kolektif tentang kebenaran yang telah dibungkam oleh kekuasaan.
Meskipun tokoh berdua lahir dari konteks berbeda tetapi kedua-duanya dipersatukan oleh satu benang merah, keberanian untuk berdiri teguh di baris depan melawan ketidakadilan, dan cukup mengrefleksi bahwa penghilangan paksa bukanlah sekadar catatan kelam masa lalu, melainkan masalah kemanusian yang terus menjadi alat bagi penguasaan dalam menerapkan di luar batas hukum. Selama pelaku tidak diadili, selama kebenaran belum terungkap, selama keadilan belum ditegaskan luka itu terus akan terbuka.
Dalam beberapa dekade belakangan ini, nama Haji Sulong kerap muncul dalam diskusi lambaga hak asasi manusia (HAM) di Thailand. Banyak akadimisi dan peneliti tertarik mengkaji tentangnya terhadap pelanggaran HAM, khususnya penghilangan paksa. Dalam kampanye menentang praktik tersebut, kasus haji sulong hampir selalu menjadi representasi utama.
Namun, jika penghilangan paksa masih menjadi ancaman nyata dan terus menelan korban, masalah ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Selama praktis itu belum benar-benar akhir, baik kasus Munir dan Haji Sulong yang dihilangkan akan tetap menyala dalam ingatan masyarakat hingga melintasi generasi dan zaman.
Biografi Haji Sulong Al-Fatani (1895-1954)
Haji Sulong Al-Fatani atau Muhammad bin Haji Abdul Kadir bin Muhammad bin Tuan Minal adalah seorang ilmu, ulama dan pejuang menuntu keadilan di Patani. Beliau lahir pada tahun 1895 di kampung Anak Ru, Daerah kota provinsi Pattani. Haji Sulong merupakan anak pertama dari Tuan guru Haji Abdul Kadir dengan isterinya yang pertama, Ibunya meninggal dunia pada tahun 1907. Gelaran Haji Sulong karena beliau merupakan anak sulung dalam keluarganya./Tunas Media, 2018.
Di usia 8 tahun beliau menempuh Pendidikan agama di pondok pesantren Tuan Guru Haji Abdul Rasyid, dan ketika beliau beranjak ke usia 12 tahun, beliau melanjutkan studi di Mekah, Saudi Arabi. Di sana, beliau dapat mempelajari berbagai ilmu seperti Tafsir Al-Quran, Hadits, ilmu hukum dan tata Bahasa Arab. Namun, Haji Sulong juga mulai mendirikan rumah tangga menikah dengan Cik Sofiah binti Omar. Tetapi setahun kemudian, isterinya meninggal dunia sebelum sempat mendapat anak. Dua tahu setelah itu, Haji Sulong menikah lagi dengan Khadijah binti Haji Ibrahim, putri Mufri Negeri Kelantan(Malaysia).
Di sana, Haji Sulong juga terkenal sebagai seorang yang menguasai sastra arab sebagaimana diakui oleh ulama di kalangan masyarakat Arab sendiri. Setelah beliau tinggal di sana selama 20 tahun lalu beliau Kembali ke Patani. Alangkah awalnya beliau jejak di tanah air tercinta, beliau memutuskan mendirikan sekolah agama yang mengabungkan sistem akademik dalam satu kurikulum pembelejaran, pada masa itu sangatlah modelisasi bagi Masyarakat Patani dengan konsep pemikiran terhadap pendidikan saat itu.
Pada tahun 1947, Haji Sulong menyampaikan Memorandum 7 Pasal kepada pemerintah Thailand. Isi dokumen tersebut merupakan tuntutan masyarakat Patani untuk mendapatkan pengakuan hak dan keadilan. Bagi pemerintah pusat, tuntutan ini dianggap sebagai ancaman terhadap kebijakan asimilasi nasional. Namun bagi masyarakat Patani, ini adalah bentuk mempertahankan jati diri di tengah tekanan.
Bagi pemerintah pusat, tuntutan ini dianggap ancaman terhadap kebijakan asimilasi nasional, tetapi bagi Masyarakat Patani inilah upaya mempertahan jati diri mereka di tengah tekanan. Namun, tuntutan secara damai ini membuatnya menjadi target. Beliau beberapa kali ditangkap, dipenjara, dan dibatasi pergerakannya. Hingga akhirnya 13 Agustus 1954 menjadi hari terkhir beliau dan tak pernah kembali lagi.
Konsep Pemikiran Haji Sulong Terhadap Dunia Pendidikan
Keadaan struktural sosial saat itu, masyarakat Patani masih terjumus dalam kondisi kejahilan dan banyak yang berpengaruhi terhadap ilmu-ilmu karut, perbuatan pemujaan dan sebagainya sehingga merusakkan spiritual di kalangan masyarakat. Demikian itu, Haji Sulong tidak berdiri diam, beliau mulai bergerak dalam mengdakwah ilmu agama di setiap desa di Patani. Sebaliknya cara Haji Sulong berdakwah itu tidak terlalu digemari karena kebanyakan ulama waktu itu selalu mempertahankan pengajaran hanya berpusat di pondok pesantren saja.
Pada 20 Juni 1933, Haji Sulong berkesempatan kunjungi ke Bangkok menumui Perdana Menteri untuk membawa Hasrat aspek Pendidikan dan problem Masyarakat Islam Melayu Patani. Setelah itu dapat respon dengan baik. Akhirnya Perdana Mentri kunjungi ke Patani serta meresmikan sebuah madrasah yang diberi nama “Madrasah Al-Ma’arif Al-Wataniah”.
Madrasah ini dapat menyebutkan sekolah agama pertama di Patani yang berbeda dengan sistem Pendidikan pondok pesantren saat itu. Sistem tersebut sangat model dibanding saat itu, sistem yang menggunakan kelas dan rungan, mengintegrasi ilmu-ilmu akademik umum dan juga digunakan seragam untuk pelajar. Keadaan tersebut juga muncul perasaan curiga dan rasa iri oleh pihak pemerintah pusat Thailand.
Di tengah tekanan politik dan kebijakan asimilasi keras pemerintah Thailand, Haji Sulong berdiri sebagai salah satu tokoh yang menyadari bahwa Pendidikan bukan sekadar urusan sekolah, melainkan, jantung perlawanan kultural yang menentukan masa depan Masyarakat Patani. Kebijakan pemerintah Thailand cenderung kedapa penghapusan identitas, memaksakan penggunaan Bahasa Thai di semua sekolah dan mengikis kurikulum agama menjadi prihal bahaya yang tidak boleh diabaikan.
Dalam padangannya, Bahasa dan agama adalah dua tiang penyangga peradaban Patani, seandainya salah satunya runtuh, maka masyarakat akan terlepas dari akanya. Karena itu, Haji Sulong mengusung gagasan Pendidikan berbasis Islam dan identitas Melayu. Haji Sulong menolak penuh dalam memaksakan mengguna Bahasa Thai karena Bahasa Melayu Jawi sebagai serana terbaik untuk memahami ajaran Islam dan Sejarah lokal./Ahmad Fathy al-Fatani, 2002.
Bagi Haji Sulong, Pendidikan Adalah benteng perlawanan damai. Di sanalah, lahir kesedaran sejarah dan keinginan untuk mempertahankan identitas Melayu Patani. Gagasanya jelas jauh melampaui zamannya. Haji Sulong menama akar yang lebih dalam, membentuk generasi yang kuat secara iman, terampil secara intelektual dan sadar akan jati diri bangsanya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
