Memiskinkan Koruptor, Mungkinkah?
Gaya Hidup | 2025-08-10 06:53:07
Kalau hari ini Anda dan kita mendengar kabar bahwa akan ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk darurat korupsi untuk kemudian "memiskinkan koruptor", maka kita bisa menangguk dua reaksi sekaligus: antara tersenyum penuh harapan, atau tersenyum getir karena pernah terlalu sering berharap.
Yang menulis ide itu adalah Pak Anies Baswedan. Paling tidak dalam catatan Litbang Lembaga Pendidikan Pers Sriwijay (LP2S) Palembang, ada pernyataan Anies tentang hal itu, dapat dilihat dalam jejak digital di bawah ini :
Anies Baswedan bukan presiden, bukan menteri, bahkan bukan anggota DPR. Hari ini beliau hanyalah warga negara yang sedang mencoba ikut dalam panggung demokrasi. Tapi kata-katanya menohok: bahwa kejahatan korupsi tidak cukup dihukum penjara, tapi harus juga dimiskinkan.
Wah, segar juga ya? Setelah sekian lama kita mendengar tentang remisi, fasilitas mewah di balik penjara, dan parade bebas bersyarat koruptor, kini ada wacana: mari kita buat mereka miskin!
Tapi, saya ingin kita duduk dulu, ngopi sebentar. Tidak usah buru-buru tepuk tangan atau buru-buru mencibir. Mari kita renungkan.
Korupsi dan Kemewahan yang Tak Pernah Miskin
Di negeri ini, koruptor sering kali seperti aktor. Mereka tampil di panggung pengadilan, lalu hilang ke belakang layar. Setelah beberapa tahun, mereka muncul lagi — lebih segar, lebih kaya, kadang lebih populer. Seolah penjara bukan hukuman, tapi semacam masa istirahat. Rehat dari urusan dunia, sambil menunggu opini publik lelah.
Maka ketika ada yang berkata, "koruptor harus dimiskinkan!" — itu seperti ingin menggoyang akar dari sistem impunitas. Ingin mengganti naskah drama. Tidak cukup hanya pasal pidana, tapi juga pencabutan hak ekonomi. Itu bukan cuma hukum, tapi etika.
Tapi, pertanyaannya: siapa yang bisa membuat Perpu?
Pak Anies Bukan Siapa-siapa (Untuk Saat Ini)
Mari kita realitis. Pak Anies bukan pejabat publik saat ini. Beliau belum jadi presiden. Belum pegang palu hukum. Maka ketika beliau berkata akan menerbitkan Perpu tentang pemiskinan koruptor, itu sejatinya adalah janji politik, bukan kebijakan.
Dan janji politik adalah semacam sajak: ia bisa indah, bisa menggetarkan, tapi belum tentu bisa dibangun jadi undang-undang.
Tapi jangan buru-buru menuduh beliau asal omong. Kadang, pernyataan simbolik lebih penting dari diam yang sistemik. Mungkin saja beliau sedang ingin memantik obor kesadaran publik, bahwa selama ini kita terlalu lembek pada maling uang negara.
Apakah Memiskinkan Koruptor Mungkin?
Secara hukum, bisa. Tapi tidak mudah. Memiskinkan koruptor berarti negara harus memiliki sistem pelacakan aset yang kuat. Harus ada keberanian menyita seluruh harta, baik yang atas nama sendiri maupun atas nama istri, anak, saudara, teman, dan tetangga yang dijadikan nominee.
Ini memerlukan reformasi besar di PPATK, KPK, Kejaksaan, dan lembaga keuangan. Harus ada aturan yang tegas, bahwa korupsi adalah kejahatan ekonomi yang disanksi ekonomi. Bahkan kalau perlu, ada semacam UU Perampasan Aset, seperti yang pernah diwacanakan, tapi hingga kini tak pernah benar-benar disahkan.
Tapi di sinilah masalahnya: kita hidup di negeri di mana koruptor dan politisi seringkali berbagi atap. Koruptor adalah konsekuensi dari biaya politik yang mahal. Dan partai politik adalah rumah besar yang biaya listriknya ditanggung para penyumbang yang berharap proyek. Maka ketika kita ingin memiskinkan koruptor, kita juga sedang menampar wajah sistem yang melahirkan mereka.
Berani?
Agama dan Kemiskinan yang Disengaja
Dalam tradisi Islam, kemiskinan itu bukan aib. Tapi memiskinkan orang sebagai bentuk hukuman — itu adalah bentuk penebusan. Dalam sejarahnya, ada istilah ta’zīr: hukuman yang bentuknya disesuaikan dengan maslahat.
Bagi pencuri yang mengambil harta publik, Rasulullah SAW tidak hanya memberi hukuman fisik, tapi juga mengasingkan dari komunitas, memutuskan akses sosial, bahkan menahan hak ekonomi hingga mereka benar-benar sadar.
Maka jika hari ini koruptor hanya dipenjara, tapi anak-anak mereka tetap sekolah di luar negeri, mobil-mobil mereka tetap terparkir di vila, istri mereka tetap menjadi sosialita — maka apakah itu namanya hukuman, atau hanya istirahat?
Mungkin, kita harus mengembalikan filosofi hukuman ke nilai moralnya: yaitu efek jera, bukan sekadar efek headline.
Satir: Kalau Koruptor Miskin, Siapa yang Beli Mobil Mewah?
Bayangkan kalau benar semua koruptor dimiskinkan. Bisa jadi showroom mobil mewah sepi. Properti mewah stagnan. Restoran elite gulung tikar. Mungkin ekonomi akan terguncang karena sebagian roda ekonomi kita ditopang oleh uang haram yang tak terasa.
Lucu, ya? Tapi juga tragis.
Kita hidup di negeri yang kadang lebih takut kehilangan konsumen kaya ketimbang kehilangan moral rakyat.
Maka memiskinkan koruptor bukan sekadar urusan hukum — tapi juga keberanian menyusun ulang cara hidup bangsa ini. Memisahkan yang halal dan haram. Menyaring uang bersih dan uang busuk. Dan itu tidak bisa dikerjakan satu orang saja, apalagi hanya oleh Anies Baswedan. Itu harus jadi kesadaran kolektif.
Kata-kata, Harapan, dan Gerakan
Apa yang ditulis Pak Anies bukan Perpu. Tapi itu bisa jadi Perpu jika didorong oleh rakyat yang sadar. Rakyat yang berani menuntut agar negara tidak hanya menghukum pencuri kecil, tapi juga membongkar istana pencuri besar.
Jika rakyat menganggap wacana itu penting, maka siapapun presidennya nanti akan terpaksa mendengarkan.
Jadi, apakah memiskinkan koruptor mungkin? Secara hukum, iya. Secara politik, berat. Tapi secara moral dan kultural: wajib.
Karena selama korupsi hanya dihukum dengan dinding penjara, bukan dengan pencabutan kekayaan — maka kita hanya mengganti kostum maling, bukan menghentikan pencuriannya.
Mari kita mulai. Dari cara kita berpikir. Dari berita yang kita viralkan. Dari pejabat yang kita pilih. Dari uang yang kita terima. Dan dari keberanian berkata, “cukup!”
Kalau bukan kita, siapa? Kalau bukan sekarang, kapan?
Wallahu a’lam bis shawab.
*)Penulis adalah Jurnalis di Palembang
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
