Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Widodo Alyusro

Kemerdekaan yang Belum Tuntas #1: Merah Putih di Dada, Bukan di Saku Celana

Politik | 2025-08-13 11:29:17

Indonesia merdeka. Sebuah kalimat yang terucap lantang setiap 17 Agustus. Namun, apa makna kemerdekaan di mata rakyat biasa? Di mata mereka yang setiap pagi harus berjuang untuk sesuap nasi, yang keringatnya tumpah demi menafkahi keluarga, dan yang impiannya seringkali terbentur tembok realita?

Merah Putih di Dada, Bukan di Saku Celana.

Tak ada rakyat yang tak mencintai Indonesia. Darah yang mengalir di nadinya adalah darah para pejuang. Jiwa yang bersemayam adalah jiwa yang tak pernah lelah untuk berharap. Mereka tak pernah sudi melihat bendera merah putih robek atau lambang negara terinjak-injak.

Rakyat tak pernah sedikit pun melupakan jasa para pahlawan yang telah berkorban nyawa untuk memerdekakan negeri ini. Kisah-kisah perjuangan itu masih diceritakan dari mulut ke mulut, dari kakek ke cucu, sebagai pengingat bahwa kemerdekaan ini bukanlah hadiah, melainkan hasil tetesan darah dan air mata.

Cinta rakyat kepada Ibu Pertiwi adalah cinta yang tulus, tanpa pamrih. Cinta yang lahir dari rasa memiliki, bukan dari kekuasaan atau jabatan.

Cinta dan Benci: Sebuah Pengakuan Jujur.

Lalu, mengapa ada kegelisahan yang menggerogoti? Mengapa muncul nada-nada sumbang di antara sorak sorai kemerdekaan?

Kegelisahan itu bukanlah karena mereka membenci Indonesia. Kegelisahan itu muncul dari rasa kecewa. Mereka mencintai negara ini, tapi membenci korupsi yang merenggut hak mereka. Mereka mencintai negara ini, tapi membenci ketidakadilan yang hanya memihak segelintir orang berkuasa.

Di mata rakyat, kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajahan bangsa lain, melainkan juga terbebas dari penjajahan oleh bangsanya sendiri. Penjajahan yang terwujud dalam bentuk ketidakadilan ekonomi, di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin terimpit. Penjajahan yang terwujud dalam bentuk intimidasi, di mana suara-suara kritis dibungkam dan kebebasan berpendapat dikekang.

Mereka menyaksikan bagaimana para koruptor merampok uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau jalanan. Mereka merasakan sendiri bagaimana kesenjangan sosial menjadi jurang pemisah yang semakin lebar.

Maka, ketika rakyat berteriak, itu bukanlah teriakan benci pada Indonesia. Itu adalah jeritan cinta yang pilu, jeritan harapan agar Ibu Pertiwi kembali menjadi milik semua anak-anaknya, bukan hanya segelintir orang yang merasa berhak.

Masa Depan di Tangan Mereka

Meskipun demikian, harapan tak pernah padam. Dalam hati rakyat biasa, masih tersimpan keyakinan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang benar-benar adil dan merdeka.

Di tangan merekalah, di tangan para pekerja, petani, nelayan, guru, dan pedagang kecil, masa depan bangsa ini sebenarnya digenggam. Cinta mereka yang tulus adalah modal paling berharga untuk membangun Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang merdeka seutuhnya. Sebuah Indonesia yang tidak hanya merdeka di atas kertas, tetapi juga merdeka di dalam jiwa dan sanubari setiap warganya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image