Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Radityo Satrio

Ketika Negara Gagal Mendengar, Rakyat Berbicara dengan Luka

Politik | 2025-08-06 14:32:27

Di negeri yang katanya demokratis, suara rakyat semestinya menjadi pusat dari setiap kebijakan. Namun, yang kita saksikan hari ini justru ironi yang menyakitkan: rakyat terus bersuara, tapi negara memilih tuli. Suara-suara itu bukan hanya teriakan di jalanan atau slogan dalam spanduk, melainkan jeritan hati dari perut-perut kosong, dari anak-anak yang tak bisa sekolah, dari petani yang digusur, dan dari buruh yang kehilangan pekerjaan. Semua suara itu menggema di ruang publik, namun tak kunjung sampai ke telinga mereka yang duduk di kursi kuasa.

Negara, sebagai entitas yang dibentuk untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat, justru terlihat lebih sibuk mengurusi pencitraan dan melayani kepentingan elite. Ketika rakyat meminta hak atas pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak, negara memberikan paket bantuan yang dibalut propaganda. Ketika mahasiswa menyuarakan kritik, aparat dikirim untuk mengawal, mengintimidasi, bahkan memukul. Ketika warga mempertahankan tanah leluhur mereka dari proyek-proyek besar, mereka dihadapkan pada alat berat dan pasal karet.

Luka-luka itu bukan hal baru. Mereka adalah luka lama yang tak pernah sembuh, yang terus menganga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dari konflik agraria di desa, hingga penggusuran di kota. Dari suara-suara korban kekerasan aparat yang tak mendapat keadilan, hingga kriminalisasi aktivis yang bersuara. Negara seakan lupa bahwa diamnya rakyat bukan berarti setuju, dan sabarnya rakyat bukan berarti lemah.

Rakyat sesungguhnya bukanlah objek pembangunan yang bisa dikorbankan demi investasi. Mereka adalah pemilik sah dari negeri ini. Maka ketika mereka tidak lagi diberi ruang untuk berbicara, mereka tetap akan bersuara bukan dengan kata-kata, tapi dengan luka yang mereka pikul dan wariskan. Luka itu menjadi saksi bisu atas ketidakadilan yang terus dibiarkan, bahkan dilanggengkan.

Sayangnya, negara kita kini lebih gemar mendengar suara-suara dari atas, dari ruang rapat tertutup, dari lobi-lobi politik, dari perintah pemilik modal. Sementara suara dari bawah, dari lorong-lorong pasar, dari sawah dan pabrik, dari ruang kelas dan kolong jembatan, dianggap gangguan. Ketika suara rakyat tidak dianggap penting, maka jangan heran jika mereka mulai berbicara lewat bentuk-bentuk perlawanan yang tak lagi konvensional. Bukan karena mereka ingin merusak, tapi karena negara tak pernah benar-benar hadir untuk mereka.

Di tengah semua ini, yang paling mengkhawatirkan adalah matinya daya dengar bangsa. Demokrasi tanpa ruang kritik bukanlah demokrasi, tapi ilusi. Pemerintah yang takut dikritik adalah pemerintah yang lupa siapa yang memilihnya. Kritik bukan ancaman; ia adalah alarm peringatan agar negara tetap berjalan di jalur yang benar.

Rakyat hanya ingin didengar. Mereka tidak meminta kemewahan, tidak menuntut lebih dari hak dasarnya sebagai manusia. Tapi jika permintaan itu saja tidak kunjung dipenuhi, jika suara mereka terus diabaikan, maka jangan salahkan jika luka itu berubah menjadi bara. Dan ketika bara itu menyala, ia tidak lagi bisa dikendalikan oleh narasi atau slogan.

Negara harus belajar kembali mendengar. Bukan hanya mendengar yang enak didengar, tapi juga yang pahit, yang menggugah, yang mengguncang. Karena hanya dengan mendengar, negara bisa memahami. Dan hanya dengan memahami, negara bisa benar-benar hadir untuk rakyat.

Ketika negara gagal mendengar, rakyat tetap akan bicara. Tapi sayangnya, yang mereka ucapkan bukan lagi harapan, melainkan luka. Luka yang diam-diam tumbuh, dan suatu hari bisa menjadi jeritan yang mengguncang segalanya.

Oleh: Ketua BEM Universitas Saintek Muhammadiyah, Radityo Satrio

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image