Plato Vs Shklovsky: Dua Pandangan tentang Sastra dan Kekuatan Persepsi
Sastra | 2025-08-06 12:09:38
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Dari masa ke masa, sastra telah mempesona, menguji batas, dan terkadang menimbulkan kekhawatiran dalam diri kita. Diskusi mengenai manfaat dan risiko yang mungkin ditimbulkannya bukanlah fenomena modern. Berabad-abad silam, pemikir ulung Plato telah merenungkan isu-isu ini, dan gagasannya, sekalipun memicu perdebatan, tetap relevan hingga kini. Akan tetapi, perspektif Plato yang agak skeptis bukanlah satu-satunya jalan untuk mengapresiasi sastra. Gagasan 'defamiliarisasi,' yang dicetuskan oleh teoris sastra Rusia Victor Shklovsky, menyajikan pandangan yang kontras, yang menekankan keistimewaan sastra dalam membentuk ulang persepsi kita tentang realitas.
Plato, seorang murid Socrates dan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat, tidak selalu memandang sastra sebagai kekuatan yang positif. Kekhawatiran utamanya berakar pada teori "mimesis," atau peniruan. Menurut Plato, seni, termasuk sastra, pada dasarnya hanyalah tiruan dari kenyataan. Akan tetapi, Plato berpendapat bahwa kenyataan itu sendiri hanyalah bayangan dari "Forma" ideal—konsep sempurna dan abadi yang melampaui dunia fisik kita.
Untuk memperjelas gagasannya, Plato menggunakan Alegori Gua yang terkenal. Bayangkan para tahanan yang terbelenggu dalam gua, yang satu-satunya realitas mereka adalah bayangan yang diproyeksikan di dinding. Plato berpendapat bahwa kita, seperti para tahanan ini, sering kali keliru menganggap "bayangan" ini—dalam hal ini, seni dan sastra—sebagai pengetahuan sejati. Dia khawatir bahwa sastra, sebagai tiruan dari tiruan, dapat menyesatkan orang dan menjauhkan mereka dari kebenaran.
Plato sangat prihatin tentang kekuatan emosional sastra. Dia percaya bahwa sastra dapat memanipulasi perasaan kita dan mengaburkan penilaian rasional kita. Dia juga khawatir bahwa sastra dapat mendorong perilaku amoral, menggambarkan tindakan buruk tanpa konsekuensi atau bahkan memuliakan kejahatan. Karena kekhawatiran ini, Plato menyarankan penyensoran, dengan keyakinan bahwa negara harus secara ketat mengontrol sastra yang tersedia untuk publik, memastikan bahwa sastra tersebut mempromosikan kebajikan dan kebenaran. Dalam negara idealnya, penyair dan pendongeng akan berada di bawah pengawasan ketat.
Meskipun demikian, Plato tidak sepenuhnya menolak potensi sastra. Dia mengakui bahwa sastra dapat digunakan untuk mendidik dan menginspirasi, serta memberikan wawasan berharga tentang sifat manusia. Terlepas dari keberatannya, ide-ide Plato tentang sastra telah memberikan dampak yang mendalam pada pemikiran Barat, memicu perdebatan tentang peran seni dalam masyarakat yang terus berlangsung hingga saat ini.
Sementara Plato memusatkan perhatian pada fungsi representatif sastra dan potensi bahayanya, Victor Shklovsky, seorang kritikus formalis Rusia pada abad ke-20, menawarkan sudut pandang yang berbeda. Shklovsky dan para Formalis Rusia menekankan signifikansi bentuk dalam sastra, berpendapat bahwa cara sebuah karya sastra disusun dan ditulis sangatlah krusial bagi maknanya. Konsep utama Shklovsky, 'defamiliarisasi' (juga dikenal sebagai 'ostranenie' atau pengasingan), menyoroti kapasitas sastra untuk memperkaya persepsi kita.
Defamiliarisasi adalah teknik sastra yang bertujuan untuk mengubah yang familier menjadi tampak aneh dan tidak lazim. Hal ini dicapai dengan mengganggu cara pandang kita yang sudah mengakar, memaksa kita untuk mengamati hal-hal yang biasanya kita abaikan. Bayangkan betapa seringnya kita menjalani rutinitas harian tanpa benar-benar menyadari lingkungan sekitar. Defamiliarisasi membangkitkan kesadaran kita dari keadaan 'tidur' perseptual ini.
Menurut Shklovsky, esensi seni terletak pada kemampuannya untuk mendefamiliarisasi dunia, mengajak kita untuk melihatnya dalam perspektif yang baru. Seni harus menantang asumsi dan ekspektasi kita, mendorong kita untuk berpikir kritis tentang segala sesuatu di sekeliling kita. Penulis menggunakan beragam teknik untuk mencapai tujuan ini, termasuk penggunaan bahasa dan citra yang tidak konvensional, perubahan sudut pandang dalam narasi, penempatan elemen-elemen yang kontras secara berdampingan, atau perlambatan tempo narasi untuk menyoroti detail-detail tertentu.
Contoh-contoh defamiliarisasi dapat ditemukan dalam karya-karya sastrawan terkemuka seperti Leo Tolstoy, James Joyce, Franz Kafka, dan Virginia Woolf. Para penulis ini, dengan gaya unik mereka masing-masing, berhasil menyajikan dunia dalam cahaya yang segar dan seringkali mengejutkan.
Dampak defamiliarisasi melampaui sekadar kebaruan. Dengan mengajak kita melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda, ia mampu menggoyahkan asumsi dan keyakinan yang telah lama tertanam dalam diri kita. Proses ini dapat memicu pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri dan dunia di sekitar kita. Selain itu, defamiliarisasi juga berpotensi untuk merangsang kreativitas. Ketika kita berhasil melepaskan diri dari pola pikir yang rutin dan terbiasa, kita membuka diri terhadap berbagai kemungkinan baru, membuka jalan bagi ekspresi artistik yang inovatif.
Sebagai kesimpulan, meskipun kekhawatiran Plato mengenai potensi sastra untuk menyesatkan memiliki dasar yang kuat dan perlu dipertimbangkan dengan serius, konsep defamiliarisasi yang diperkenalkan oleh Shklovsky mengungkap potensi besar sastra dalam memperkaya persepsi kita, memperdalam pemahaman kita, dan memicu kreativitas kita. Sastra, jika dimanfaatkan secara efektif, dapat menjadi instrumen pencerahan, bukan alat penipuan. Ia mendorong kita untuk melihat di balik permukaan dan mempertanyakan esensi dari realitas yang kita hadapi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
