Kalahnya Gerakan Progresif
Politik | 2025-08-04 23:24:53
Gerakan progresif selama bertahun-tahun hadir sebagai nafas segar dalam arus sejarah sosial-politik Indonesia. Ia menawarkan alternatif di tengah stagnasi kekuasaan, menjadi suara bagi yang tak bersuara, dan mewakili semangat pembebasan dari belenggu ketimpangan serta ketidakadilan struktural. Namun hari ini, gerakan itu tampak pincang. Ia kalah bukan semata karena represi penguasa, melainkan karena krisis internal yang tak disadari: kehilangan arah, kehilangan ide, kehilangan akar.
Kekalahan gerakan progresif bukan berarti tidak adanya aktivitas atau gerakan. Demonstrasi masih terjadi, diskusi-diskusi masih berlangsung, bahkan narasi-narasi kritis masih berseliweran di media sosial. Tapi semua itu berlangsung tanpa koordinasi visi yang kuat dan arah yang konsisten. Semangat progresif yang dulunya utuh kini terpecah-pecah, tercerai oleh ego organisasi, ambisi pribadi, dan jebakan pragmatisme.
Gerakan mahasiswa sebagai salah satu pilar progresivitas, misalnya, seringkali terjebak dalam romantisme sejarah tanpa pembaruan strategi. Banyak organisasi mahasiswa kehilangan fungsi kaderisasi ideologis, beralih menjadi sekadar event organizer atau perpanjangan tangan elite kampus. Bendera-bendera besar yang dulu menjadi simbol perlawanan kini lebih sering dikibarkan untuk formalitas, bukan untuk membakar semangat perlawanan.
Begitu pula organisasi masyarakat sipil. Sebagian besar justru mengalami NGOisasi, di mana gerakan direduksi menjadi proyek dan laporan, bukan pengorganisasian massa yang sejati. Bantuan donor seringkali membelokkan arah gerakan dari yang semestinya: membangun kekuatan rakyat secara mandiri. Dalam sistem yang neoliberalistik, bahkan perjuangan bisa dikomersialkan dan dirasionalisasi dalam bahasa-bahasa yang tidak lagi menggigit.
Sementara itu, mereka yang membawa nama progresif dalam gelanggang politik formal seringkali lebih sibuk membangun citra ketimbang memperjuangkan substansi. Tak sedikit yang kemudian menjilat ludah sendiri, duduk manis dalam sistem yang dulu ditantangnya. Birokratisasi gerakan pun tak terhindarkan, Ketika perubahan dipertukarkan dengan posisi dan jabatan. Akhirnya, publik kehilangan kepercayaan, dan gerakan progresif kehilangan akar massanya.
Kekalahan ini juga diperparah oleh kondisi zaman. Dunia digital yang penuh informasi justru menciptakan disorientasi. Generasi muda lebih banyak terpaku pada simbol daripada substansi. Kita menjadi masyarakat yang lebih memilih narasi yang mudah dicerna, sensasional, dan instan, dibanding narasi perubahan yang panjang dan penuh pergulatan. Gagasan progresif kalah di medan algoritma, ketika ia tak mampu bersaing dengan konten-konten viral yang remeh.
Namun kekalahan ini bukan akhir dari segalanya. Sebaliknya, ini adalah wake-up call bagi semua yang masih percaya bahwa perubahan sejati hanya bisa datang dari keberpihakan pada rakyat. Gerakan progresif harus direvitalisasi bukan hanya dalam semangat, tetapi juga dalam bentuk, strategi, dan strukturnya. Kita butuh pembaruan ideologis, regenerasi kepemimpinan, dan keberanian untuk meninggalkan zona nyaman.
Revitalisasi gerakan progresif harus dimulai dari bawah. Dari ruang-ruang kampus yang progresif namun tidak eksklusif. Dari komunitas-komunitas akar rumput yang menyadari bahwa perubahan tidak bisa digantungkan pada elite. Dari anak-anak muda yang tidak puas hanya menjadi penonton sejarah, tetapi ingin menjadi pelaku utama di dalamnya.
Kita perlu membangun ulang ekosistem gerakan yang menjunjung nilai-nilai kerja kolektif, kemandirian ideologis, dan komitmen jangka panjang. Dalam dunia yang cepat berubah, hanya gerakan dengan pondasi nilai yang kokoh dan strategi yang fleksibel yang mampu bertahan. Progresivitas tidak boleh sekadar menjadi label atau jargon, tetapi harus menjadi cara hidup, cara berpikir, bersikap, dan bertindak.
Kekalahan gerakan progresif bukanlah kiamat. Justru di saat-saat inilah, nilai-nilai progresif diuji: apakah akan menyerah pada kenyataan, atau bangkit menyusun ulang barisan. Sejarah selalu memberi ruang bagi mereka yang berani menyalakan cahaya di tengah gelap. Maka selama masih ada yang berpikir, bersuara, dan bergerak. Gerakan progresif belum mati. Ia hanya sedang mencari bentuk barunya. Dan kita, generasi hari ini, punya tanggung jawab untuk menemukannya.
Oleh : Ketua BEM Universitas Saintek Muhammadiyah, Radityo Satrio
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
