Tokoh Agama Kurang Empati, Tokoh Marketing Kurang Logis
Agama | 2025-08-01 17:43:08
Mukadimah
Sambil makan gorengan dan minum es teh tangan mengscroll sosial media melihat sempat viral seorang tokoh agama atau bisa dibilang penceramah mencaci maki penjual es teh, menjadi banyak diperbincangkan karena tidak masuk dalam logika kebanyakan orang
bagaimana mungkin seorang tokoh agama melanggar norma-norma yang merupakan isi ceramahnya. pada sisi lain ia sering menyampaikan ada sekelompok orang yang mecoba menyebarkan faham radikalisme di indonesia.
Tapi dengan viralnya kasus tokoh ini kelompok tersebut memamerkan empati yang justru berkebalikan dari tokoh agama yang sebelumnya melabeling kelompok ini radikal
Sebenarnya kenapa ada satu kelompok bisa dianggap oleh masyarakat sebagai tokoh agama sedangkan kelompok lain dikategorikan tokoh pemecah.
tapi kelompok pemecah lebih halusnya saya bisa mengatakan sebagai tokoh marketing saja lah. Sedangkan tokoh agama mungkin saja bisa menyebutnya sebagai tokoh saja. mari coba kita pikirkan lagi sejenak sambil meminum segelas es teh
Pasal 1
masyarakat awam memberi label pada sekelompok tokoh
mengapa kita harus menunjuk beberapa orang tokoh sebagai pemecah bangsa. dalilnya bisa beragam mulai dari materi ceramah berbeda dari umumnya tokoh agama hingga kampanye mereka mengenai sistem pemerintahan yang lebih baik. pada dasarnya kemampuan mereka bisa dianggap marketing yang sangat bagus loh beh.
kenapa saya bilang bagus, ya tentu karena keberhasilannya menarik minat orang secara kuantitas. bukannya memang itu inti dari marketing. bagaimana menarik sebanyak mungkin minat orang
kalau bicara mengenai marketing seharusnya ada yang dijual. jadi apa yang mereka jual, ya salah satunya pandangan mereka soal baiknya negara. barang dagangan mereka inilah yang sering di sebut tokoh agama viral karena es teh sebagai faham radikalisme.
munkin tokoh agama mengejek tukang es teh ini cuma oknum dari kumpulan tokoh agama lainya yang bersikap baik. tapi menjadi perhatian kita kenapa kok tokoh agama tidak mengambil pesan moral dari agama yaitu peduli lingkungan atau dalam hal ini berempati pada orang lain
melihat adanya dilema lain yaitu antar tokoh agama naik mobil mewah sedang pendengarnya naik motor bahkan untuk menghadiri pengajian harus beli bensin eceran. apalagi kalau mau lihat ke belakang panggung pengajian. apa yang dimakan tokoh agama sangat berbeda dengan para pendengarnya
kesenjangan membuat kebingungan besar, sebenarnya kita membutuhkan tokoh agama dengan berbagai isi ceramahnya yang penuh canda tawa dan pesan moral tapi kurang empati masyarakat sekitarnya
ataukah memang kita memilih untuk membeli barang dari tokoh marketing yang membungkus barang dengan agama namun tokoh ini menampilkan empati yang besar pada lingkungan sekitar
Pasal 2
ekspektasi berlebih terhadap kemampuan tokoh
kita mendengar dan mengikuti ceramah dengan kebingungan. keadaan rumit karena ada satu sisi menyampaikan pesan moral tapi tampak tidak dilakukan. sedangkan disisi lain kita belum mengetahui ini barang apa bagus tapi marketingnya mampu menarik orang
saya juga mengakui jika terjadi kelangkaan kepakaran dalam hal agama. contoh begitu banyak tokoh agama yang lulus dari pendidikan agama formal tapi kurang mengamalkan pendidikan selama puluhan tahun mempelajarinya
saya juga melihat ada sebagian orang yang dulu marketing tulen berbalik arah menjadi tokoh agama tanpa pendidikan formal berbekal ilmu ala kadarnya. akan tetapi tokoh ini berhasil menarik minat banyak orang.
Kesimpulan
kita harus lebih bijak memilih mana akan kita dengarkan tokoh agama yang kompeten mengajarkan kebaikan agama dan praktinya langsung. dibanding memilih sales barang yang belum kita tahu manfaatnya. tapi kita sebenarnya hanya manusia biasa yang pasti mudah tertipu
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
