Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Suriadi

Rojali dan Rohana: Cermin Daya Beli di Tengah Pertumbuhan Ekonomi dan Tantangan Pengangguran

Gaya Hidup | 2025-07-31 15:23:01
Ilustrasi pengunjung disebuah pusat perbelanjaan, Sumber;freepik.com.

Belakangan ini, pelaku bisnis ritel, khususnya yang berada di pusat perbelanjaan modern seperti mal, makin sering mengeluhkan fenomena yang dikenal dengan istilah Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Tanya). Istilah ini muncul sebagai gambaran perilaku konsumen yang ramai datang ke mal, bertanya-tanya soal barang, bahkan mencoba produk, tetapi akhirnya tidak membeli apa-apa atau hanya membeli dalam jumlah yang sangat sedikit.

Fenomena ini memang terasa ironis. Sebab jika dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia menunjukkan tren positif. Pada triwulan I-2025, perekonomian nasional tumbuh 5,11% (yoy), sedikit meningkat dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang tumbuh 5,03%. Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga juga masih tumbuh sekitar 4,8%, menunjukkan bahwa belanja masyarakat tetap menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi.

Namun di sisi lain, pertumbuhan yang tercatat positif di atas kertas ini ternyata belum sepenuhnya dirasakan merata oleh masyarakat, terutama oleh kelompok menengah bawah yang menjadi tulang punggung pengunjung mal. Hasilnya, pusat belanja tetap ramai, tetapi keramaian tersebut tak selalu berbanding lurus dengan omzet penjualan. Lalu, apa sebenarnya yang menyebabkan fenomena Rojali dan Rohana ini muncul? Dan bagaimana kaitannya dengan kondisi ekonomi serta tingkat pengangguran di Indonesia?

Pertumbuhan Ekonomi Belum Dinikmati Semua

Pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat lebih dari 5% memang cukup membanggakan, apalagi di tengah ketidakpastian global dan harga komoditas yang fluktuatif. Namun, pertumbuhan tersebut cenderung bertumpu pada sektor tertentu seperti pertambangan, industri pengolahan, konstruksi, dan komunikasi. Sementara sektor perdagangan, termasuk ritel, justru tumbuh lebih lambat. Jika melihat data BPS, sektor perdagangan tumbuh hanya sekitar 4,1% pada triwulan I-2025, lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan Nasional. Artinya, meskipun perekonomian secara agregat meningkat, masyarakat kelas menengah bawah yang sehari-hari menjadi konsumen utama mall tidak serta-merta mengalami peningkatan pendapatan yang signifikan.

Bagi kelompok ini, mal bukan sekadar tempat belanja, tetapi juga ruang publik untuk rekreasi, jalan-jalan, hingga berburu konten media sosial. Mereka tetap datang untuk “menikmati suasana”, meskipun akhirnya memutuskan untuk hanya melihat-lihat atau bertanya harga tanpa membeli.

Tingkat Pengangguran dan Job Insecurity

Selain pertumbuhan ekonomi yang belum merata, faktor pengangguran juga memberi andil penting. Pada Februari 2025, BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka Indonesia sebesar 4,8%, sedikit turun dari 5,32% di Februari 2024. Namun, angka ini belum menggambarkan seluruh realitas lapangan. Masih banyak pekerja yang masuk kategori setengah menganggur atau bekerja paruh waktu, serta pekerja informal dengan pendapatan tidak pasti. Kondisi ini menciptakan job insecurity atau ketidakpastian kerja yang berdampak langsung pada perilaku konsumsi: masyarakat jadi lebih berhati-hati membelanjakan uangnya, memilih untuk menunda pembelian barang yang dianggap tidak mendesak, dan lebih sering melakukan window shopping. Di satu sisi, mereka tetap ingin terlihat mengikuti tren. Di sisi lain, daya beli yang terbatas memaksa mereka untuk menunda keputusan membeli hingga benar-benar merasa mampu atau ada promo menarik.

Perubahan Gaya Hidup dan Media Sosial

Faktor lain yang turut memperkuat fenomena Rojali dan Rohana adalah pergeseran budaya konsumsi di era media sosial. Bagi banyak orang, kunjungan ke mal kini bukan semata untuk belanja, melainkan juga untuk membuat konten, memotret, atau sekadar berbagi pengalaman. Mal menjadi “panggung” untuk menunjukkan gaya hidup di platform digital. Tren ini membuat pusat perbelanjaan tetap penuh, tetapi konversi kunjungan menjadi transaksi nyata menjadi tantangan. Konsumen lebih menekankan pengalaman dan citra sosial daripada fungsi membeli.

Tekanan Harga dan Prioritas Belanja

Selain itu, meskipun inflasi Indonesia relatif terjaga di kisaran 2,8–3%, harga barang-barang fesyen, elektronik, dan produk gaya hidup lain yang dijual di mal tetap dirasa mahal oleh sebagian konsumen. Kenaikan biaya transportasi, sewa rumah, dan harga bahan pokok membuat konsumen menempatkan kebutuhan sekunder dan tersier di daftar prioritas yang lebih rendah.

Menurut Survei Konsumen Bank Indonesia, Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada Juni 2025 masih positif, tetapi Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) cenderung stagnan. Artinya, masyarakat optimis terhadap masa depan ekonomi, tetapi saat ini masih berhati-hati untuk belanja besar.

Apa yang Bisa dilakukan Pelaku Usaha?

Fenomena Rojali dan Rohana sebetulnya menjadi sinyal penting bagi pelaku usaha untuk beradaptasi. Strategi lama yang hanya mengandalkan keramaian pengunjung tidak cukup. Pemilik gerai perlu menghadirkan pengalaman belanja yang lebih personal dan memberi nilai tambah, misalnya dengan program loyalitas, promo berbasis data pelanggan, hingga layanan belanja daring yang terintegrasi. Selain itu, mengamati perilaku konsumen menjadi penting: kapan mereka hanya tanya, dan kapan mereka siap membeli. Penggunaan teknologi seperti data analytics, CRM, hingga kolaborasi dengan influencer lokal dapat membantu meningkatkan konversi penjualan.

Fenomena Rojali dan Rohana bukan sekadar soal konsumen yang “pelit belanja”. Fenomena ini adalah potret kompleksitas kondisi ekonomi: pertumbuhan yang belum sepenuhnya merata, tingkat pengangguran yang masih menyisakan job insecurity, dan perubahan gaya hidup di era digital. Bagi pelaku usaha, memahami konteks ini adalah langkah penting agar dapat menyesuaikan strategi dan tetap relevan. Sementara bagi pemerintah, ini adalah pengingat bahwa pertumbuhan ekonomi yang baik di atas kertas perlu diikuti dengan peningkatan daya beli riil masyarakat.

Akhirnya pusat belanja bukan hanya tempat jual beli, tetapi juga ruang sosial tempat tren, budaya, dan realitas ekonomi saling bertemu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image