Mengapa Indonesia Kalah di Final U-23?
Olahraga | 2025-07-29 23:57:33Rakyat Indonesia patut bersedih dengan kekalahan Timnas U-23 dari Vietnam malam ini (29/7/2025). Seharusnya kemenangan ini menjadi kado spesial menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025.
Bermain di kandang selayaknya memberikan motivasi yang kuat dan peluang yang besar bagi Indonesia untuk memenangkan pertandingan final ini. Sayangnya, peluang ini gagal dimanfaatkan oleh Indonesia.
Ekspektasi yang tinggi berujung pada kekalahan. Evaluasi dan kritik harus dilakukan secara tegas. Setiap evaluasi dan kritik pasti memiliki sisi positif terhadap profesionalisme penanganan Timnas di masa mendatang. Upaya untuk sekadar menerima kekalahan dan menormalisasi kelemahan permainan hanya akan berujung kepada pertahanan diri Burung Unta (Ostrich self-defence mechanism) yang semu dan malah merugikan Indonesia di masa mendatang.
Reformasi harus dilakukan untuk meningkartkan profesionalisme Tim Kepelatihan dan level permainan Timnas U-23. Kekalahan Timnas U-23 di Indonesia tidak akan terjadi andai persiapan yang matang secara mental, materi pemain dan skema strategis permainan dilakukan dengan baik. Ketiga faktor ini harus diperhatikan oleh Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, agar me-remind Tim Kepelatihan Timnas Indonesia baik di level junior maupun senior nantinya.
Pertama, mental pemain. Pelatih dan tim pelatih selayaknya memiliki doktrin yang kuat dalam membangun watak dan karakter pemain. Jiwa muda seharusnya dibentuk dan diarahkan oleh Tim Kepelatihan. Pemain harus memiliki dedikasi yang sangat tinggi dalam bermain. Ibaratnya, bermain bola adalah soal mati dan harga diri bangsa. Fokus pemain harus diarahkan kepada mental sportif dan kreatifitas permainan tim secara individual maupun kolektif.
Dalam 90 menit lebih bermain, pemain Timnas U-23 tidak memperlihatkan sportifitas dan kreatifitas yang tinggi. Mereka kurang ngotot dalam bermain dan cenderung terbawa emosional level Tarkam. Yang lebih ironis, beberapa pemain Timnas malah mengurusi pemain Vietnam, dan bahkan mengajari wasit dan penjaga garis lapangan.
Kedua, materi pemain. Pemain Timnas U-23 banyak melakukan kesalahan assist, dribble bola yang kurang akurat, tidak lincah, dan shooting tak terarah. Hal mendasar seperti ini seharusnya tidak terjadi untuk pemain di level Timnas. Ingat Timnas bukan Tim Tarkam. Harapan publik sangat tinggi karena paparan sistem training sepak bola sudah canggih dan merujuk kepada gaya permainan Eropa.
Adalah tugas Ketua Pelatih Utama dan Tim Pelatih yang telah dibayar mahal ini untuk memastikan skill dasar sepak bola para pemain Timnas seperti dribble, assist dan shooting telah sempurna. Tak boleh ada kesalahan teknis berkali-kali misalnya dribble yang tak berujung assist atau shooting, assist yang mengarah ke lawan atau shooting yang menuju ke langit angkasa.
Tekanan Pelatih Utama dan Tim Pelatih harus kuat kepada para pemain. Mereka datang untuk berjuang dan menang. Bukan memperlihatkan kelemahan dan kenaifan. Keseriusan pressure ini sedikit terlihat ada dalam kepemimpinan Shi Tae-Yong dan tim pelatihnya saat melatih Timnas senior.
Jejak digital permaianan Timnas di bawah asuhan Shin Tae-Yong masih terlihat sampai hari ini di media sosial.Shi Tae-Yong tentu belajar dari sistem pelatihan skill dasar permainan bola di Eropa misalnya Barcelona atau Timnas Jepang di Asia. Fisik Tim Barcelona atau Timnas Jepang tak terlalu besar, tapi skill dribble, assist dan shooting mereka nyaris sempurna.
Ketiga, skema strategis permainan. Patut disayangkan, skema strategis tidak terlihat dalam 90 menit lebih permainan. Model permainan sangat konservatif menunggu takdir kemenangan. Permainan kolektif gagal memanfaatkan naluri tajam Jens Raven dalam mencetak gol. Raven tidak pernah mendapatkan peluang yang besar dari skema permainan yang berujung pada assist yang bagus.
Permainan kolektif seharusnya solid menciptakan peluang kepada siapa pun, tetapi selayaknya setiap permainan kolekti berujung kepada upaya menfasilitasi tim di lini depan melakukan serangan secara akurat, efektif dan minimal terciptanya shooting berbahaya ke arah gawang.
Alhasil, seharusnya Liga Champion memberikan pelajaran yang penting bagi Timnas Indonesia beserta Tim Kepelatihannya bahwa PSG dari Liga Petani tak mungkin memenangkan tropi di final jika tidak memiliki mental ngotot, skill dasar pemain yang nyaris sempurna dan skema serangan kolektif yang akurat dan efektif.
Semoga kritik ini dapat dibaca oleh Erick Thohir, bisa memajukan Timnas Indonesia dan mengevaluasi mindset Tim Kepelatihan yang masih konservatif dan di bawah target. Hasta La Victoria Siempre !
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
