Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Afen Sena

Tombo Ati, Pendidikan Karakter, dan Kultur Keselamatan Penerbangan

Eduaksi | 2025-07-29 22:56:12
Safety Poster

Dalam dunia penerbangan, keselamatan (safety) adalah nilai mutlak yang tak dapat ditawar. Namun, keselamatan bukan semata-mata soal teknologi canggih, prosedur baku, atau regulasi ketat. Ia lebih dalam dari itu—menyangkut bagaimana nilai-nilai hidup, sikap mental, dan karakter profesional dijalankan dalam keseharian setiap insan aviasi. Karena itulah, pembangunan safety culture (budaya keselamatan) tidak cukup dilakukan dengan pelatihan teknis. Ia harus dimulai dari pendidikan karakter yang kuat dan kontekstual.

Indonesia, dengan kekayaan budayanya, sesungguhnya memiliki banyak warisan nilai yang dapat menjadi fondasi pendidikan karakter dalam dunia profesional, termasuk kedirgantaraan. Salah satu warisan budaya yang relevan dalam konteks ini adalah tembang Jawa klasik berjudul Tombo Ati—yang berarti "obat hati".

Asal-usul dan Popularisasi Tembang Tombo Ati

Secara historis, tembang Tombo Ati berasal dari ajaran Wali Songo, khususnya Sunan Bonang, seorang tokoh penyebar Islam di tanah Jawa pada abad ke-15. Sunan Bonang dikenal menggunakan pendekatan budaya dalam dakwahnya, terutama dengan memadukan musik gamelan, tembang, dan ajaran sufistik dalam bahasa lokal agar lebih mudah diterima masyarakat.

Tembang ini berisi lima nasihat utama, yang disebut sebagai “obat hati”—yakni cara untuk mengobati kegelisahan batin dan menata jiwa agar kembali tenang dan terarah. Tembang ini semula disampaikan secara lisan, dalam bentuk macapat atau syair berlagu Jawa.

Di era modern, Tombo Ati dipopulerkan kembali oleh budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) bersama kelompok musik spiritualnya, Kiai Kanjeng. Sejak 1990-an, tembang ini kembali hidup dalam ruang-ruang kebudayaan, pengajian, kampus, hingga media sosial, bahkan dibawakan pula oleh penyanyi religi seperti Opick.

Lebih dari sekadar lagu dakwah, Tombo Ati adalah peta jalan spiritual dan etika hidup. Ketika dibaca secara simbolik dan aplikatif, tembang ini dapat menjadi kerangka kerja pembentukan karakter profesional, terutama dalam profesi yang menuntut kedisiplinan tinggi, kewaspadaan, dan integritas—seperti dunia penerbangan.

Tafsir Nilai Tombo Ati untuk Karakter Profesional Aviasi

Tembang Tombo Ati memuat lima petuah utama:

 

  1. Maca Qur'an lan maknane (Membaca Al-Qur’an dan memahami maknanya)
  2. Sholat wengi lakonono (Melakukan sholat malam)
  3. Wong kang sholeh kumpulono (Berteman dengan orang saleh)
  4. Wetengiro ingkang luwe (Berpuasa menahan lapar)
  5. Dzikir wengi ingkang suwe (Berzikir dalam kesunyian malam)

Jika diterjemahkan dalam konteks profesional dan disandingkan dengan prinsip-prinsip safety culture, masing-masing bait itu memberikan makna yang sangat relevan.

1. Membaca dan Memahami: Literasi Keselamatan

“Maca Qur’an lan maknane” secara umum mengandung ajaran bahwa membaca harus disertai pemahaman. Dalam dunia aviasi, literasi keselamatan sangat penting. Banyak prosedur keselamatan dan regulasi ditulis dalam bahasa teknis, dan jika hanya dibaca tanpa dipahami, bisa berakibat fatal.

Pendidikan karakter profesional harus menekankan pembentukan reflective thinking, yaitu kemampuan untuk tidak hanya mengingat prosedur, tetapi juga memahami alasan di baliknya. Setiap taruna penerbangan, teknisi, ATC, atau awak kabin harus diajarkan untuk berpikir kritis terhadap makna dan risiko dari setiap langkah operasional.

Literasi keselamatan ini adalah fondasi dari informed compliance—kepatuhan karena pemahaman, bukan karena paksaan.

2. Disiplin dalam Kesendirian: Integritas dan Tanggung Jawab Pribadi

“Sholat wengi lakonono” mengajarkan pentingnya disiplin dalam keheningan, saat tidak ada yang melihat. Ini adalah simbol dari integritas—berbuat benar meskipun tidak diawasi.

Di ruang kerja aviasi, banyak situasi terjadi dalam tekanan waktu, kesendirian, dan tanpa pengawasan langsung. Karakter profesional yang dibutuhkan adalah mereka yang memiliki moral compass internal, dan tetap konsisten menjaga keselamatan bahkan saat “tak ada yang melihat”.

Latihan-latihan disiplin semacam ini dapat ditanamkan melalui simulasi tekanan, evaluasi pribadi, dan mentorship yang menekankan integritas sebagai nilai utama.

3. Berteman dengan Orang Saleh: Budaya Peer Safety

“Wong kang sholeh kumpulono” menggarisbawahi pentingnya lingkungan sosial. Dalam konteks penerbangan, peer culture sangat memengaruhi perilaku individu. Budaya saling membiarkan pelanggaran kecil (normalisasi deviasi) bisa menjalar cepat dan membahayakan ekosistem kerja.

Pendidikan karakter harus menciptakan kesadaran bahwa membangun lingkungan kerja yang etis adalah tanggung jawab bersama. Dalam pelatihan, hal ini dapat diterapkan melalui pembiasaan team briefings, debriefings, dan crew resource management yang tidak hanya teknis, tetapi juga membahas nilai-nilai kerja.

Peer support dan keberanian saling mengingatkan adalah bagian dari Just Culture—budaya keselamatan yang memberi ruang bagi koreksi tanpa saling menyalahkan.

4. Puasa: Pengendalian Diri dari Godaan Shortcut

“Wetengiro ingkang luwe” atau berpuasa bukan hanya soal lapar, tapi latihan delay gratification—kemampuan menahan diri dari godaan sesaat. Dalam dunia profesional, ini berarti mampu menolak jalan pintas yang tampaknya menghemat waktu, tapi berisiko terhadap keselamatan.

Banyak kecelakaan penerbangan terjadi karena cutting corners—tindakan yang menyimpang dari prosedur karena ingin cepat, hemat, atau merasa “sudah biasa”.

Pendidikan karakter harus mengajarkan pentingnya long-term thinking, dan membiasakan siswa untuk tetap taat prosedur meski tampak tidak efisien dalam jangka pendek. Latihan penahanan diri ini dapat dilakukan melalui pengkondisian kebiasaan, refleksi harian, dan simulasi etika dalam kondisi dilematis.

5. Zikir: Kesadaran Penuh dan Refleksi Berkelanjutan

“Dzikir wengi ingkang suwe” adalah simbol dari mindfulness—kesadaran penuh terhadap diri, lingkungan, dan tugas. Dalam penerbangan, situational awareness adalah kunci keselamatan.

Pendidikan karakter harus mengembangkan kemampuan awareness dalam setiap kondisi: mengenali tanda-tanda kelelahan, menyadari perubahan cuaca, memperhatikan komunikasi tim, dan menyikapi prosedur secara sadar, bukan otomatis.

Refleksi adalah alat utama. Setiap pelatihan harus ditutup dengan refleksi: apa yang bisa diperbaiki? apa yang kita lewatkan? bagaimana perasaan kita saat menghadapi tekanan? Ini membentuk manusia profesional yang bukan hanya cerdas, tetapi juga sadar dan peduli.

Dari Budaya Lokal ke Sistem Pendidikan Aviasi

Sayangnya, pendidikan aviasi Indonesia saat ini cenderung menekankan aspek teknikal dan administratif, sementara pembentukan karakter hanya menjadi pelengkap. Padahal, keselamatan sejati hanya dapat dicapai jika pengetahuan teknis dan nilai-nilai karakter saling menopang.

Mengintegrasikan tembang seperti Tombo Ati bukan sekadar romantisme budaya, melainkan pendekatan strategis untuk membumikan nilai keselamatan dalam konteks lokal yang bisa dipahami para siswa dan taruna.

Pendekatan seperti ini sejalan dengan agenda ICAO yang mendorong penguatan SDM penerbangan global melalui kerangka Next Generation of Aviation Professionals (NGAP), serta prioritas strategis dalam bidang Human Performance dan Organizational Culture sebagai pilar keselamatan.

Membangun Pendidikan Karakter Berbasis Kedirgantaraan

Agar tafsir-tembang ini berdampak nyata, dibutuhkan desain pendidikan karakter yang kontekstual, antara lain melalui:

 

  1. Pengintegrasian kurikulum: Nilai-nilai karakter tidak diajarkan terpisah, tapi melekat dalam pelatihan teknis, briefing harian, hingga evaluasi.
  2. Penguatan keteladanan instruktur: Instruktur dan senior harus menjadi cermin hidup dari nilai-nilai ini.
  3. Penggunaan simbol budaya lokal: Mengaitkan nilai dengan narasi lokal seperti Tombo Ati, Serat Kalatidha, atau filosofi Tri Hita Karana di Bali.
  4. Evaluasi karakter berbasis perilaku nyata, bukan hanya catatan akademik.

Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya mencetak lulusan yang cakap terbang atau merawat pesawat, tapi juga memiliki jati diri profesional yang kokoh—mampu membawa diri secara etis dalam situasi apa pun.

Penutup: Keselamatan Dimulai dari Hati

Keselamatan penerbangan dimulai bukan dari menara kontrol atau ruang kokpit, tapi dari hati dan kesadaran setiap manusia di dalamnya. Tombo Ati, sebagai tembang kebijaksanaan Jawa, menunjukkan bahwa “obat hati” juga adalah “obat sistem”—karena sistem penerbangan kita hanya akan seaman hati-hati manusianya.

Sudah saatnya pendidikan kedirgantaraan Indonesia melirik kembali nilai-nilai budaya yang mengakar dan menjadikannya sebagai fondasi pendidikan karakter. Sebab teknologi boleh berasal dari luar, tapi nilai—harus tumbuh dari dalam.

Keselamatan bukan sekadar soal prosedur. Ia adalah budaya. Dan budaya lahir dari pendidikan. Pendidikan yang menyentuh hati.

Daftar Pustaka

Dekker, S. (2014). The Field Guide to Understanding 'Human Error'. CRC Press.

ICAO. (2018). Safety Management Manual (Doc 9859), 4th Edition. Montreal: ICAO.

Nadjib, E. A. (1999). Markesot Bertutur Lagi. Bentang.

Reason, J. (1997). Managing the Risks of Organizational Accidents. Ashgate.

Wahid, A. (2015). Jalan Panjang Pendidikan Karakter Bangsa. Jakarta: Kompas.

Wibisono, I. (2012). Cak Nun dan Kiai Kanjeng: Simfoni Dakwah Budaya. Yogyakarta: LKIS.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image