Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Unu Nurahman

Mewaspadai Radikalisme di Sekolah

Pendidikan dan Literasi | 2025-07-28 21:46:22

Oleh:

UNU NURAHMAN

Pengawas SMA KCD Wilayah VIII

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat

Sebagai sektor yang sangat signifikan dalam pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia, pendidikan menjadi target radikalisme. Untuk mengantisipasinya perlu penguatan pendidikan karakter yang harus disinergikan dengan hal-hal lain seperti pembangunan yang adil dan merata, penyampaian pendidikan agama secara bijak serta adanya kolaborasi dari berbagai pihak yaitu sekolah, orang tua/masyarakat dan pemerintah.

Pendidikan merupakan sektor yang sangat signifikan dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia dan menjadi asta cita ke-4 Presiden Prabowo Subianto. Oleh karena itu, tidak mengherankan radikalisme sering menargetkan sekolah. Radikalisme memang sudah seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Empat tahun yang lalu sebagaimana dilansir dari Pikiran Rakyat (06/10/2021) puluhan pelajar di Kabupaten Garut – Jawa Barat terpapar paham Negara Islam Indonesia (NII) bahkan salah satunya sedang mengumpulkan uang untuk membeli senjata. Dua tahun sebelumnya, Wali Kota Bandung Oded M. Danial yang mengutip data dari kepolisian menyebutkan sekitar 600 pelajar di Kota Bandung terindikasi terpapar paham radikal (29/10/2019).

Hasil survei Setara Institute for Democracy and Peace yang dirilis pada 17 April 2023 menunjukkan beberapa temuan mengkhawatirkan, antara lain bahwa jumlah pelajar intoleran aktif di sekolah tingkat menengah atas (SMA) dan sederajat di lima kota Indonesia yang disurvei (Bandung, Bogor, Surabaya, Surakarta, dan Padang) meningkat.

Survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan batas kesalahan 3,3 persen. Hasinya lebih dari 56% dari 947 pelajar sebagai responden bahkan setuju penerapan syariat Islam. Temuan mengejutkan lainnya adalah 83,3 persen menilai Pancasila bukan ideologi negara yang bersifat permanen, dan dapat diganti serta sekitar 33 persen pelajar setuju untuk membela agama, termasuk harus mati dalam membela agama.

Data yang pernah mengejutkan terjadi di level manajerial sekolah. Mengutip pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika menghadiri acara Halaqah Kiai Santri tentang Pencegahan Terorisme di Hotel Grand Wahid Salatiga, Sabtu (14/9/2019) sebagaimana dilansir dari https://jatengprov.go.id/ mengatakan bahwa setidaknya ada 7 kepala SMA/SMK dan SLB di Jawa Tengah yang diduga terpapar radikalisme.

Media sosial sering digunakan oleh pelaku radikalisme sebagai media indoktrinasi dan perekrutan. Kepala BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Komjen Eddy Hartono, S.I.K.,M.H. menyatakan sepanjang tahun 2024, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berhasil memblokir sebanyak 180.954 konten bermuatan intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di ruang siber. Sebagian besar konten tersebut merupakan propaganda dari jaringan teroris seperti ISIS, HTI, dan JAD yang secara aktif menyebarkan ideologi kekerasan melalui platform digital.

Radikalisme dalam konteks ini mengacu kepada aktivitas politik kelompok tertentu yang bersifat ekstrem, dan sangat intoleran yang bukan saja tak segan menggunakan cara-cara kekerasan, memaksakan kehendak, tetapi juga tak jarang melakukan praktik terorisme. Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme secara jelas memberi 4 kriteria radikalisme yaitu anti Pancasila, anti Kebhinekaan, anti NKRI dan anti UUD 1945.

Mahfud MD menjelaskan tiga tingkatan radikalisme. Pertama, tingkatan jihadis yaitu tingkatan paling ekstrem yang tidak segan membunuh orang yang tidak sepaham atau menghalangi terwujudnya paham mereka. Kedua, tingkatan takfiri yang memandang paham lainnya sesat, kafir harus dijauhi bahkan dimusuhi meskipun dalam lingkup satu agama. Ketiga, paham radikalisme ideologis yang menganggap merekalah yang paling benar dan menyalahkan faham orang lain.

Pelaku radikalisme biasanya melakukan intimasi yang dilandasi oleh komitmen, pengorbanan dan kompromi sehingga target akan menaruh kepercayaan penuh kepada mentor atau orang yang menjadi idolanya. Mereka menggunakan beberapa narasi seperti mengungkapkan ketidakadilan dari kebijakan pemerintah dan pembangunan nasional, menghidupkan kembali konsep Negara Islam Indonesia (NII) mengungkapkan dendam dari peristiwa bersejarah, mengglorifikasi tokoh tokoh kekerasan sebagai pahlawan, menanamkan doktrin agama yang fanatik, intoleran dan ekslusif serta berhaluan garis keras atau menganggap kekerasan sebagai solusi permasalahan yang dihadapi.

Sejarah mencatat NII yang didirikan oleh SM Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1949 memberontak kepada pemerintah NKRI dan memang berhasil ditumpas pada tanggal 3 Juni 1962. Namun para pengikut pahamnya masih eksis dan membentuk komando jihad yang dipimpin Warman, Haji Ismail Pranoto dan Haji Danu Mohamad Hasan. Komando Jihad melakukan berbagai aksi terror pada tahuan 1980-an. Konsepsi NII kemudian dilanjutkan oleh Jamaah Islamiah (JI) dibawah pimpinan Abu Bakar Baasyir yang disinyalir memiliki keterkaian dengan Alqaeda dan Taliban serta terlibat dalam aksi terorisme sejak tahun 1993.

Radikalisme harus ditangani secara intensif sebelum berkembang menjadi terorisme. Erwin Kusuma dalam Jejak Sejarah Terorisme (2010:161) mengutip pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa terdapat tiga akar terorisme di Indonesia. Pertama, tumbuhnya ideologi radikal yang ekstrem. Kedua, penyimpangan terhadap ajaran agama. Ketiga, kondisi masyarakat yang susah, ekstrem dalam kemiskinan absolut atau keterbelakangan yang ekstrem. Terorisme ditandai dengan adanya serangan-serangan terkoordinasi secara tiba tiba dan target korban jiwa yang acak yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat.

Untuk menangkal radikalisme di satuan pendidikan, Pemerintah Indonesia memprogramkan penguatan pendidikan karakter (character education) dan nilai-nilai keagamaan atau moderasi beragama dalam menangkal radikalisme. Pendidikan karakter yang dimaksud adalah suatu usaha sadar yang terencana dan terarah melalui lingkungan pembelajaran untuk tumbuh kembangnya seluruh potensi pelajar yang memiliki watak berkepribadian baik, bermoral-berakhlak, dan berefek positif konstruktif pada alam dan masyarakat.

Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan menggolongkan intoleransi dan diskriminasi sebagai salah satu bentuk kekerasan di sekolah. Intoleransi dalam kategori berat meliputi radikalisme dan ekstrimisme kekerasan. Sebagai garda terdepan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, dibentuk Tim pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).

Pada tanggal 25 Maret 2024, Kemendikbudristek menetapkan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar dan Jenjang Pendidikan Menengah yang disebut Kurikulum Merdeka. Penguatan karakter di Kurikulum merdeka bertujuan untuk membentuk Profil Pelajar Pancasila yang terdiri dari 6 dimensi yaitu Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME) dan Berahlak Mulia, Berkebhinekaan Global, Bergotong Royong, Mandiri, Bernalar Kritis dan Kreatif .

Dalam Kurikulum Merdeka yang telah direvisi melalui Permendikdasmen Nomor 13 tahun 2025, penguatan pendidikan karakter dirumuskan untuk mewujudkan 8 Dimensi Profil Lulusan (DPL) sebagai standar kualitas pendidikan sebagaimana tercantum dalam pasal 4 Permendikdasmen Nomor 10 Tahun 2025 tentang Standar Kompentensi Lulusan. Adapun 8 dimensi tersebut meliputi Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kewargaan, Penalaran Kritis, Kreativitas, Kolaborasi, Kemandirian, Kesehatan dan Komunikasi.

Pembiasaan nilai nilai diatas dapat diterapkan dalam 3 ruang lingkup untuk membentuk suatu budaya ajar (learning cultures). Pertama, kegiatan rutin yang dilakukan di luar waktu belajar akademik seperti kegiatan ekstrakurikuler Pramuka dan kegiatan ektrakurikuler keagaamaan seperti Rohis atau IRMA. Kedua, terintegrasi dalam pembelajaran/Kurikulum (intrakurikuler) seperti melakukan refleksi setelah menyelesaikan sebuah topik pembelajaran dan membuat diskusi kasus atau kerja kelompok untuk memecahkan masalah. Ketiga, Protokol, budaya atau aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh warga sekolah seperti mendengarkan lagu Indonesia Raya dan teks Pancasila di setiap hari KBM.

Harus diakui radikalisme di sekolah merupakan masalah nasional yang sangat krusial. Oleh karena itu, pencegahannya dan penanganannya melalui penguatan pendidikan karakter juga harus disinergikan dengan hal-hal lain seperti penyampaian pendidikan agama secara bijak (moderasi beragama) serta kolaborasi dari berbagai pihak yaitu sekolah, orang tua/masyarakat, BNPT, TNI/POLRI dan aparat pemerintah terkait lainnya.****

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image