Paras Perempuan Di Kursi Parlemen
Politik | 2022-03-08 13:38:02Oleh : Nadia PutriMahasiswa Administrasi Publik FISIP UMJKader IMM FISIP UMJ
Menjadi pemimpin merupakan suatu bagian dari hak asasi setiap manusia, baik pada perempuan maupun laki-laki. Hak asasi merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Sebagai hak asasi, akses menjadi pemimpin tidak bisa diabaikan karena alasan jenis kelamin atau alasan-alasan lainnya, seperti ras, suku, agama, atau kondisi fisik. Hak menjadi pemimpin dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, terutama dalam pasal 43 yang menegaskan bahwa setiap warga negara, termasuk perempuan berhak dipilih dalam pemilihan umum. Secara khusus, hak perempuan menjadi pemimpin juga diatur dalam pasal 49 ayat 1, yang secara eksplisit menyatakan bahwa perempuan berhak dipilih dan diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan dalam perundang-undangan.
Namun, relita yang ada hingga hari ini justru memperlihatkan bahwa posisi Perempuan Indonesia mengalami ketimpangan dalam hal sosial dan budaya. Di berbagai penjuru Nusantara, banyak perempuan yang buta atau bahkan justru dibutakan secara struktural akan potensi diri yang dimilikinya, sehingga hanya menjalankan peran sekunder dalam lingkungan masyarakatnya saja. Hal ini patut disayangkan karena secara demografi jumlah perempuan di Indonesia lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Padahal, jika perempuan mendapat kesempatan peran yang seimbang dengan laki-laki, maka potensi sumber daya manusia di Indonesia akan menjadi jauh lebih besar, dan hal tersebut justru akan memberikan keuntungan dan manfaat bagi pembangunan bangsa.
Dari sudut pandang lain, urgensi perempuan menjadi sosok pemimpin berpijak pada pentingnya suara perempuan yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam proses-proses pembangunan. Jumlah perempuan yang mencapai separuh dari penduduk Indonesia membutuhkan kehadiran perempuan sebagai representasi suara perempuan dalam setiap pengambilan keputusan. Persoalan ketidakadilan gender telah menempatkan perempuan sebagai kelompok yang rentan dengan risiko tinggi menjadi korban. Kehadiran perempuan sebagai pemimpin akan menguatkan keberpihakan kebijakan dan program pembangunan pada kelompok rentan dan upaya perlindungan dengan menggunakan perspektif perempuan.
Pada masa Orde Baru, perempuan sangat dibatasi perannya dalam ranah politik. Perempuan memiliki hak pilih dan dipilih yang digelar dalam setiap lima tahun sekali, tetapi mereka hanya didorong untuk menggunakan hak untuk memilih. Artinya, pada masa ini sistem pemilu hanya menggunakan suara perempuan untuk memperbesar perolehan suara saja, sedangkan dalam hal partisipasi politik perempuan untuk ikut serta mencalonkan diri sangat dibatasi.
Seiring berkembangnya zaman, memasuki abad ke-21 peran perempuan terus meningkat. Saat ini, kita dapat melihat kiprah kepemimpinan perempuan dalam berbagai peran dan posisi strategis dalam kehidupan masyarakat. Kiprah kepemimpinan perempuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia memang merupakan sumber daya yang potensial, apabila kualitasnya ditingkatkan dan diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam berbagai aspek kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Saat ini kita ketahui Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi azaz demokrasi. Bahkan memasuki abad ke-21, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam ranah politik adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi. Akses dan partisipasi politik perempuan di setiap tingkatan pada lembaga pembuat atau pengambil kebijakan merupakan hak asasi bagi setiap perempuan yang paling mendasar. Berdasarkan hak asasi tersebutlah, sesungguhnya sangat banyak alasan mengapa begitu pentingnya melibatkan perempuan dalam dunia politik. Baik itu perempuan berperan sebagi aktor yang terjun langsung dan menduduki posisi atau jabatan di partai politik, parlemen dan birokrasi atau hanya sebatas melibatkan kepentingan perempuan dalam landasan ideologi Undang-Undang Dasar 1945 dijamin hak setiap warga negara dalam politik tanpa kecuali.
Keterlibatan perempuan dalam berkiprah di dunia politik dari waktu ke waktu terus mengalami presentasi yang meningkat. Salah satu indikatornya adalah representasi peningkatan keterwakilan perempuan di kursi Parlemen, terutama sejak pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999 hingga Pemilu terakhir pada tahun 2019. Pada tahun 2019 jumlah Anggota DPR RI Perempuan menghasilkan peningkatan dari periode sebelumnya, walaupun peningkatan-peningkatan ini belum mencaai minimal keterwakilan 30% Perempuan. Presentasi keterwakilan Anggota Perempuan pada tahun 2019 mencapai 20,87%, meningkat dibandingkan tahun 2004, 2009, dan 2014.
Keterwakilan perempuan di kursi perlemen sangat dibutuhkan, peran dan kontribusinya untuk membantu memajukan peradaban bangsa. Dalam hal ini, pemerintah telah memberikan kebiakan afiimative kuota 30% kepada perempuan untuk menduduki kursi perlemen baik dalam wilayah daerah maupun pusat daerah. Undang-undang dan kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah merupakan bentuk dari bias gender, yang berarti harus adanya kesadaran dari masyarakat khususnya dari pemerintah. Dengan begitu, pentingnya peran perempuan dalam sektor politik untuk menduduki kursi Parlemen dikarenakan perempuan-perempuan masa kini telah membuktikan kompetensi dan profesionalitasnya dalam berbagai aspek multisektor.
Perempuan hadir di dalam parlemen untuk membawa perubahan pada institusi yang sampai hari ini di dominan dengan laki-laki. Perempuan akan melakukan perubahan dalam empat bidang, meliputi institusional / prosedural, representasi, pengaruh terhadap output dan diskursus. Kuota 30 persen yang dimiliki oleh perempuan harus turut diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber saya manusianya hingga dapat bersaing dengan laki- laki. Jadi tidak ada gunanya jika kemampuan SDM dalam memahami politik rendah dengan adanya pemberian kuota tersebut.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.