Benarkah Menikah di Bulan Safar Tidak Disarankan?
Agama | 2025-07-25 09:42:34
Awal bulan Safar 1447 Hijriyah jatuh pada Sabtu, 26 Juli 2025 Masehi. Penetapan ini mengacu pada kalender hijriah resmi yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI, berdasarkan metode hisab dengan kriteria MABIMS. Artinya, pergantian dari bulan Muharam ke Safar dimulai sejak terbenamnya matahari pada hari Jumat, 25 Juli 2025. Tanggal ini menjadi acuan umat Islam di Indonesia untuk berbagai keperluan ibadah, termasuk penentuan waktu amalan-amalan sunnah atau acara penting seperti pernikahan.
Namun ketika bulan Safar tiba, sebagian masyarakat masih menyambutnya dengan perasaan waswas. Banyak yang percaya bahwa bulan ini membawa kesialan. Tak jarang orang tua atau tetua adat menyarankan agar tidak mengadakan pernikahan, tidak memulai usaha besar, bahkan menunda pindah rumah. Tradisi ini cukup kuat di beberapa daerah, termasuk wilayah Jawa, sebagian Sumatera, dan masyarakat yang masih kental dengan budaya warisan nenek moyang. Tapi benarkah dalam Islam menikah di bulan Safar tidak disarankan?
Sebelum menjawabnya, mari melihat bagaimana Islam memandang bulan ini. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah ﷺ secara tegas membantah anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan sial atau membawa celaka:
> لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ
Lā 'adwā wa lā ṭiyarah wa lā hāmah wa lā ṣafar
“Tidak ada penyakit menular ('adwā), tidak ada tiyarah (takhayul), tidak ada (pengaruh) burung hantu (hāmah), dan tidak ada kesialan bulan Safar.”(HR. Bukhari no. 5707, Muslim no. 2220)
Hadis ini dengan jelas membatalkan keyakinan yang berasal dari zaman jahiliyah. Saat itu, masyarakat Arab sering menimbulkan buruk buruk pada waktu tertentu, seperti menganggap bulan Safar membawa kesialan karena banyaknya musibah atau wabah yang kebetulan terjadi di musim itu. Mereka menyampaikan keyakinan bahwa tidak baik memulai sesuatu di bulan tersebut—termasuk pernikahan.
Namun Islam datang membawa cahaya ilmu dan tauhid. Rasulullah ﷺ menghapus semua bentuk takhayul semacam itu dan mengembalikan kepercayaan bahwa semua waktu adalah ciptaan Allah SWT. Tidak ada bulan yang sial atau membawa petaka secara mandiri. Apa yang terjadi pada manusia adalah bagian dari takdir Allah dan ujian, bukan karena “nasib buruk” bulan tertentu.
Oleh karena itu, keyakinan bahwa menikah di bulan Safar bisa membawa celaka adalah pandangan yang tidak sesuai ajaran Islam. Jika memang ada larangan atau anjuran tertentu, tentu Nabi ﷺ akan menyampaikannya secara eksplisit—sebagaimana beliau menyampaikan keutamaan bulan-bulan haram seperti Muharam, Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Rajab. Namun Safar tidak termasuk bulan haram. Artinya, tidak ada alasan syar'i untuk menghindari pernikahan di bulan ini.
Apalagi menurut sebagian sejarah sejarah, pernikahan putri Rasulullah ﷺ, Fatimah az-Zahra, dengan Ali bin Abi Thalib terjadi pada bulan Safar tahun ke-2 Hijriyah. Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Khadijah terjadi pada bulan Safar, meskipun terdapat perbedaan riwayat dengan Rabiul Awal. Jika Rasul dan keluarga beliau saja tidak menghindari bulan ini, mengapa kita harus takut?
Masih berkaitan dengan ini, muncul pertanyaan: mengapa masyarakat kita masih menyimpan keyakinan bahwa bulan Safar harus dihindari untuk acara penting seperti pernikahan? Jawabannya bisa ditelusuri dari pengaruh budaya pra-Islam dan kepercayaan lokal. Di Jawa, misalnya bulan Suro (yang merujuk pada Muharam) dan Safar dianggap membawa energi mistis atau kegelapan. Banyak mitos yang berkembang, seperti larangan menikah karena bisa berakhir pada perceraian, celaka, atau kematian mendadak. Padahal ini bukan lebih dari warisan budaya, bukan dalil agama.
Islam tidak menolak tradisi selama tidak bertentangan dengan syariat. Namun ketika sebuah tradisi melahirkan ketakutan yang tidak berdasar dan meningkatkan kepercayaan kepada Allah, maka itu harus ditinggalkan. Keyakinan seperti ini bisa menyuguhkan pada syirik kecil (syirk ashghar) karena menggantungkan takdir pada sesuatu selain Allah, dalam hal ini: waktu.
Jika kita renungkan lebih dalam, seharusnya bulan Safar justru bisa menjadi momen memperkuat keimanan. Banyak amalan yang direkomendasikan untuk memperkaya ruhani selama bulan ini. Beberapa ulama menyebut Safar sebagai waktu yang tepat untuk memperbanyak istighfar dan doa perlindungan, mengingat di masa lalu banyak peristiwa ujian dan musibah terjadi di bulan ini. Bukan karena bulannya buruk, tapi karena manusia sedang diuji.
Amalan seperti dzikir pagi dan petang, shalat sunnah, memperbanyak sedekah, serta puasa sunnah bisa dilakukan untuk menjaga hati tetap tenang. Termasuk juga membaca surat pelindung seperti Al-Fatihah, Ayat Kursi, Al-Falaq, dan An-Naas. Ada pula amalan yang berkembang dalam tradisi tarekat atau pesantren, seperti membaca doa khusus awal bulan Safar atau memperbanyak shalawat untuk memohon ketenangan jiwa dan perlindungan dari bala.
Semua itu bukan amalan khusus yang hanya boleh dilakukan di bulan Safar, tetapi dalam konteks sosial, menjadi sarana memperkuat keyakinan dan membangun perlawanan terhadap mitos yang beredar. Kita mengajarkan bahwa dzikir dan amal baik bisa menangkal ketakutan yang tak beralasan.
Bagaimana dengan menikah di bulan Safar dari sudut pandang sosial? Tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian keluarga besar masih memegang teguh tradisi menghindari bulan Safar. Dalam kondisi ini, dibutuhkan pendekatan yang bijaksana. Jika pasangan siap menikah dan tanggal yang tersedia jatuh di bulan Safar, maka tidak perlu takut untuk melanjutkan. Cukup yakinkan keluarga dengan dalil dan penjelasan yang lembut bahwa tidak ada larangan menikah di bulan Safar dalam Islam.
Jika tetap tidak memungkinkan karena pertimbangan keharmonisan keluarga atau logistik, boleh saja menyesuaikan waktu tanpa harus merasa bersalah. Tapi jangan sampai tertunda itu disebabkan oleh keyakinan bahwa Safar membawa kesialan. Itu perlu diluruskan. Islam selalu mengajarkan bahwa niat, kesiapan, dan keberkahan hidup datang dari Allah, bukan dari kalender atau hitungan hari.
Menikah adalah ibadah besar yang disyariatkan, dan tidak seharusnya dihambat oleh mitos. Selama kedua calon pasangan telah siap lahir dan batin, memiliki restu keluarga, dan ingin membangun rumah tangga karena Allah, maka pernikahan akan menjadi berkah kapanpun waktunya—termasuk di bulan Safar.
Ada baiknya juga, bagi pasangan yang menikah di bulan ini, memperbanyak doa-doa perlindungan. Bukan karena takut mitos, tapi sebagai bentuk tawakal dan ketenangan hati. Dengan bekal doa, amal saleh, dan ilmu yang benar, insya Allah pernikahan yang dilangsungkan di bulan Safar pun akan diberkahi sebagaimana bulan lainnya. Bahkan bisa menjadi simbol keberanian dan kesadaran iman di tengah masyarakat yang masih terikat mitos.
Pada akhirnya, menikah di bulan Safar tidak hanya boleh, tetapi juga bisa menjadi ladang pahala jika dilakukan dengan niat baik dan kesadaran penuh kepada Allah. Jangan biarkan mitos memutuskan langkah besar dalam hidupmu. Biarkan ilmu dan iman yang menentukan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
