Ibadah Bernama Pernikahan
Agama | 2025-12-09 00:05:24
Kehidupan yang terus bergulir sesuai masanya, telah menghadirkan bentuk tantangan yang berbeda di setiap zamannya. Dulu, pernikahan dipandang sebagai wujud pengokohan kedewasaan seseorang. Jika seorang masih membujang di usia 20 tahun, orang tua sudah gelisah dan merasa anaknya “tak laku”. Bahkan label “perawan tua” begitu menjadi momok, bagi perempuan yang sudah haid dan melewati usia tersebut.
Generasi saat itupun dengan patuh menerima pernikahan, sebagai sebuah konsekuensi kedewasaan. Tak ada protes, sekalipun pernikahannya hasil perjodohan yang disiapkan oleh orang tua mereka. Persoalan finansial tak menjadi hambatan sebuah pernikahan. Mereka mampu bertahan dalam sebuah rumah tangga dengan kehidupan yang sangat sederhana, bahkan nyaris apa adanya.
Jauh berbeda dengan generasi saat ini. Banyak anak muda yang mempunyai sudut pandang bahwa pengokohan kedewasaan, tak serta merta ditunjukkan dengan sebuah pernikahan. Mereka menilai kestabilan ekonomi lebih penting dari pada segera menikah. Tantangan hidup di era kapitalistik yang kian menggigit, dengan berbagai lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian, dan ketatnya persaingan kerja menjadi alasan utama.
Makin kesini, narasi “marriage is scary” semakin memperkuat ketakutan akan pernikahan di kalangan muda. Konsekuensi tanggung jawab yang kian berat saat ini, dibanding kehidupan dua puluh tahun yang lalu, membuat mereka mundur teratur dari penyegeraan proses pernikahan.
Lebih Baik Miskin daripada Perang Batin
Fenomena membujang pada generasi muda saat ini menjadikan sebuah pilihan populer. Ketakutan kehidupan yang miskin dari sistem Kapitalisme, yang membuat biaya hidup tinggi, pekerjaan sulit, dan upah rendah, telah memutus keinginan generasi muda untuk menikah.
Peran negara kapitalis yang hanya sebagai regulator, cenderung lepas tangan dalam menjamin kesejahteraan rakyat, semakin membuat harapan kemapanan dalam persiapan pernikahan kian terasa jauh. Beban hidup mulai kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan yang yang makin melonjak, juga kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan dan keamanan yang harus dipikul individu, membuatnya generasi takut menanggung konsekuensi nafkah yang layak, untuk sebuah keluarga.
Ditambah, gaya hidup materialis dan hedon yang tumbuh dari pendidikan sekuler dan pengaruh media liberal, semakin membuat standar kemapanan sebuah keluarga menjadi tinggi. Mereka merasa tak layak menikah, manakala belum mempunyai rumah atau apartemen, mobil, pekerjaan yang menjanjikan gaji besar dan sederet standar materalistik lainnya.
Hingga kemudian, pernikahan dipandang sebagai sebuah beban. Dia harus berbagi harta dan kenikmatan dengan keluarga, yang untuk dirinya saja terasa masih belum cukup. Semua konsekuensi sebuah pernikahan dipandang sebagai suatu hal yang memberatkan, bukan sebagai ladang kebaikan dan jalan untuk melanjutkan keturunan.
Islam Memandang Pernikahan Sebagai Ibadah Bukan Beban
Pernikahan dalam Islam dipandang sebagai sebuah ibadah suci, bahkan dipandang sebagai separuh dari agama. Sebagaimana sabda baginda Rasulullah saw, “Apabila seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi).
Betapa tinggi dan besarnya kadar kebaikan dalam pernikahan, hingga disetarakan dengan separuh agama. Hal tersebut karena pernikahan akan menjaga kehormatan dan kesucian, mendatangkan ketenangan dan kasih sayang, serta sebagai wasilah untuk melanjutkan keturunan yang dibenarkan syariat Islam. Setiap hal yang dilakukan dalam pernikahan oleh sepasang suami istri menjadi ibadah dan berbuah pahala, asal bukan aktivitas kemaksiatan.
Mulianya kedudukan sebuah pernikahan, menjadikan negara di dalam Islam akan mengatur semua sarana dan mekanisme yang dapat memudahkan terwujudnya pernikahan. Negara akan membantu dan memfasilitasi siapapun dari rakyatnya, yang kesulitan untuk menikah, dengan suport dari kas negara yaitu Baiul Maal. Sebagaimana kisah di masa Khilafah Umar bin Abdul Azis, yang memerintahkan untuk memudahkan semua pemuda untuk menikah dengan bantuan kas negara.
Di sisi lain, jaminan kebutuhan dasar rakyat dan pembukaan lapangan kerja yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam, akan dijalankan negara. Sehingga para lelaki yang telah baligh, akan mudah mendapatkan pekerjaan untuk menafkahi kehidupan keluarganya. Semua pembiayaan tersebut berasal dari pengelolaan harta milkiyyah ammah (kepemilikan umum).
Harta milik umum ini meliputi kekayaan tambang, hutan dan laut. Semua kepemilikan umum tersebut dikelola negara bukan swasta/asing, untuk kesejahteraan masyarakat, memenuhi kebutuhan dasarnya secara gratis, dan menyediakan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau. Pengelolaan harta milik umum secara amanah oleh negara inilah, yang akan mampu menekan biaya hidup dan melahirkan kemakmuran merata pada seluruh rakyat.
Selain itu, pendidikan berbasis akidah yang dihadirkan negara islam akan membentuk generasi berkarakter tangguh, tidak terjebak hedonisme dan materialisme. Mereka justru akan menjadi penyelamat umat, menjalani pernikahan dengan memahaminya sebagai bentuk penghambaan, dan mewujudkan tujuan penciptaan fitrah melestarikan keturunan.
Penguatan institusi keluarga, dengan mendorong pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan, hanya mampu dijalankan oleh sistem Islam. Sistem yang melahirkan setiap bentuk kebaikan dan kesejahteran pada rakyatnya, bukan sistem sekuler kapitalis yang selalu menghimpit dan memberikan tekanan hidup pada masyarakat.
Wallahu’alam bishowwab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
