Fintech Syariah: Jalan Baru Menuju Ekonomi yang Adil dan Berkah
Bisnis | 2025-07-24 21:56:14
Di era ketika teknologi menjangkau hingga pelosok desa, sistem keuangan pun mengalami transformasi besar. Dunia kini tidak lagi bertumpu pada dinding-dinding bank atau tumpukan formulir pinjaman. Keuangan menjadi cair, fleksibel, dan bisa diakses hanya lewat genggaman. Namun, di tengah derasnya arus digital itu, muncul satu pertanyaan besar yang menggelisahkan sebagian masyarakat Muslim: bagaimana agar semua kemudahan ini tidak mengorbankan prinsip syariah? Dari keresahan itulah, fintech syariah lahir dan berkembang.
Fintech syariah bukan sekedar variasi dari fintech konvensional. Ia adalah gerakan yang dibangun di atas fondasi akidah, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Setiap layanannya tunduk pada prinsip-prinsip muamalah dalam Islam. Tidak ada riba, tidak ada pelanggaran (gharar), dan tidak ada spekulasi (maysir). Justru yang ditawarkan adalah transparansi, kesepakatan bersama (akad), dan keberkahan dalam setiap transaksi.
Kini, pembiayaan syariah dapat dinikmati oleh pelaku usaha kecil yang tidak memiliki aset besar untuk dijaminkan. Seorang petani bisa memperoleh modal tanam dari investor melalui skema bagi hasil berbasis mudharabah, bukan bunga. Seorang penjual kue rumahan bisa mengembangkan usahanya melalui platform pembiayaan syariah tanpa tekanan cicilan tetap yang kaku. Fintech syariah membuka ruang akses yang sebelumnya dibatasi oleh batasan sistem konvensional.
Tak hanya soal pinjaman, fintech syariah juga mengubah cara umat berzakat, bersedekah, dan berwakaf. Melalui aplikasi digital, seseorang bisa menunaikan zakat dalam hitungan detik dan langsung melihat kemana zakat itu disalurkan. Informasi penerima, lokasi penyaluran, hingga bentuk bantuan yang diberikan dapat diakses dengan transparan. Ini bukan kemudahan yang mudah, tapi memutarnya amanah. Kepercayaan masyarakat tumbuh karena adanya kejelasan.
Menariknya, di tengah kemajuan teknologi, muncul inovasi baru yang sebelumnya terasa asing dalam diskusi ekonomi Islam: blockchain.
Mungkin sebagian masih ragu, blockchain dengan ekonometrik atau perdagangan mata uang kripto yang penuh layar. Tapi perlu digarisbawahi bahwa teknologi hanyalah alat. Yang menjadikannya halal atau haram adalah cara penggunaannya. Dalam konteks syariah, blockchain bisa menjadi pelengkap dalam menjaga integritas sistem keuangan. Ia dapat memastikan bahwa seluruh transaksi dicatat secara abadi, tidak dapat dimanipulasi, dan mudah diaudit.
Bayangkan sebuah platform wakaf digital yang menggunakan blockchain. Setiap dana yang masuk, setiap aset yang dibeli, dan setiap hasil pengelolaan wakaf dapat dicatat dengan akurat dan dilacak secara publik. Ini menghadirkan transparansi yang sempurna. Tidak ada ruang bagi penyelewengan. Dalam ekosistem zakat, blockchain dapat menjamin bahwa dana dari muzakki benar-benar sampai ke mustahik tanpa potongan atau biaya tersembunyi. Teknologi ini, jika digunakan dengan niat baik dan prinsip syariah yang kuat, justru memperkuat nilai-nilai Islam dalam bermuamalah.
Namun, penerimaan terhadap blockchain di kalangan pelaku ekonomi syariah memang tidak serta-merta mulus. Diperlukan edukasi menyeluruh agar masyarakat tidak terkecoh oleh istilah teknis atau istilah isu negatif seputar aset digital. Yang harus dipahami, blockchain bukan berarti investasi mata uang digital. Ia adalah sistem pencatatan terdesentralisasi yang justru mampu menjaga amanah, jika digunakan dalam koridor yang benar. Ketika digunakan untuk mencatat transaksi akad syariah, mencatat aset wakaf, atau mendistribusikan hasil usaha dalam skema musyarakah, maka mencetak selaras dengan maqashid syariah: menjaga harta dan keadilan sosial.
Keunggulan fintech syariah bukan hanya pada akad atau teknologinya, namun pada dampaknya. Ia memungkinkan perputaran ekonomi umat yang lebih merata. Dana tidak lagi mengendap di bank-bank besar atau hanya berputar di lingkaran elit, tetapi mengalir ke petani, pengrajin, pelaku UMKM, dan masyarakat kecil yang produktif. Investasi tidak lagi sekadar mengejar imbal hasil tinggi, tapi juga menimbang manfaat sosial dan nilai keberkahan. Inilah ruh utama ekonomi Islam—menghidupkan roda usaha tanpa mengorbankan moral dan keadilan.
Di sisi lain, fintech syariah juga membentuk pola konsumsi dan investasi baru, khususnya di kalangan generasi muda. Banyak anak muda Muslim kini lebih sadar bahwa tidak semua kemudahan finansial membawa kebaikan. Mereka mulai memilih produk investasi. Mereka mencari yang tidak hanya untung, tapi juga halal. Fintech syariah menjawab kebutuhan itu dengan menyediakan instrumen investasi yang jelas akadnya, transparan pengelolaannya, dan berdampak pada masyarakat.
Perlu diakui, jalan yang dilalui fintech syariah belum sepenuhnya mulus. Tantangan tetap ada—mulai dari pemahaman masyarakat yang belum merata, hingga tantangan regulasi yang terus berkembang. Tidak semua orang familiar dengan istilah akad, dan tidak sedikit yang belum yakin bahwa digitalisasi tetap bisa berjalan dalam kerangka halal. Tentang pentingnya peran edukasi. Pelaku fintech, ulama, dan regulator harus bersinergi. Menjelaskan dengan bahasa sederhana, memberikan contoh nyata, dan memastikan semua fitur aplikasi memang dirancang sesuai prinsip syariah.
Perlu juga kehati-hatian dalam pengembangan teknologi agar tidak terjebak dalam eksploitasi data atau manipulasi sistem. Semakin canggih sebuah platform, semakin besar pula tanggung jawab etikanya. Oleh karena itu, keterlibatan dewan pengawas syariah tidak cukup hanya sekedar formalitas. Mereka harus terlibat aktif dalam meninjau produk, menyatukan sistem, dan memastikan seluruh inovasi tetap dalam koridor syariah. Tanpa itu, keberkahan yang diharapkan bisa berubah menjadi bumerang.
Meski demikian, masa depan fintech syariah tetap menjanjikan. Ia bukan sekadar tren, tapi kebutuhan. Dalam dunia yang semakin digital, umat Islam memerlukan sarana keuangan yang tidak hanya cepat dan mudah, tetapi juga sesuai keyakinan. Fintech syariah menjawab kebutuhan itu dengan menghadirkan layanan keuangan yang tidak hanya efisien, tapi juga etis. Ia menggabungkan keunggulan teknologi dengan kedalaman nilai-nilai Islam. Setiap transaksi menjadi ibadah. Setiap investasi menjadi kontribusi. Dan setiap rupiah yang berputar menjadi bagian dari keberkahan yang lebih luas.
Maka tak berlebihan bila dikatakan bahwa fintech syariah adalah jalan baru menuju ekonomi yang lebih adil dan berkah. Ia tidak hanya menciptakan pertumbuhan, tapi juga pemerataan. Tidak hanya mendorong produktivitas, tetapi juga menjaga integritas. Di dunia yang sering kali mengabaikan nilai, fintech syariah datang mengingatkan: bahwa teknologi harus tunduk pada etika, dan ekonomi harus berpihak pada kemaslahatan. Kini, saatnya kita tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga pendukung dan penjaga jalan baru ini—jalan yang tidak hanya menghubungkan antar akun, tetapi juga antar hati.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
