Bullying dan Kegagalan Sistemik
Sekolah | 2025-07-23 15:41:39
Indonesia kembali berduka. Di Blitar, seorang siswa baru SMP dikeroyok, dipaksa sujud, dan ditertawakan oleh teman-temannya. Di Riau, Khris, anak kelas 2 SD, meninggal dunia setelah dianiaya teman sebayanya. Di Sulawesi Selatan, seorang siswa berusia 15 tahun kehilangan nyawa dengan cara yang sama.
Kasus-kasus ini bukan insiden terpisah. Ini adalah pola yang berulang, tragedi yang terus berulang, meski berbagai regulasi telah ditetapkan.
Data terbaru Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengumumkan fakta yang menampar: 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan pada 2024, melonjak drastis dari 285 kasus pada 2023—peningkatan lebih dari 100% dalam satu tahun. Ini berarti setiap hari, lebih dari satu kasus kekerasan terjadi di sekolah-sekolah Indonesia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sekitar 3.800 kasus perundungan sepanjang 2023, hampir separuhnya terjadi di lembaga pendidikan. Yang lebih mengejutkan: guru menjadi pelaku dengan persentase tertinggi yaitu 43 persen atau 229 orang.
Pertanyaan mendasar: jika regulasi sudah berlimpah, mengapa angka kekerasan justru meningkat tajam?
Ilusi Solusi: Ketika Regulasi Berlimpah Tapi Masalah Membesar
Mari kita jujur mengakui realitas: sistem saat ini telah gagal menuntaskan permasalahan bullying. Buktinya ada di hadapan mata.
Pemerintah telah menerbitkan Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dibentuk di setiap satuan pendidikan. Program "Roots" telah dijalankan bersama UNICEF Indonesia sejak 2017. Pedoman pencegahan perundungan khusus tingkat dasar telah diluncurkan.
Hasilnya? Angka kekerasan malah meroket.
Koordinator Nasional JPPI mengakui: "mestinya menjadi perhatian kita bersama, kenapa trennya tidak mengalami penurunan, tetapi dari tahun ke tahun terus mengalami tren kenaikan".
Ini bukan soal kurangnya regulasi. Ini adalah bukti nyata bahwa pendekatan yang ditempuh selama ini tidak menyentuh akar masalah. Kita terus menambal lubang di atas fondasi yang retak, berharap perbaikan kosmetik dapat menyelesaikan kerusakan struktural.
Akar Masalah: Sistem Sekular-Kapitalis yang Memisahkan Agama dari Kehidupan
Mengapa semua regulasi itu gagal? Karena semuanya lahir dari sistem yang secara fundamental bermasalah: sistem sekular-kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan.
Dalam sistem ini, pendidikan direduksi menjadi sekadar proses transfer ilmu pengetahuan dan persiapan tenaga kerja. Moralitas dan spiritualitas dijadikan "pelengkap kurikulum" yang dapat diabaikan ketika berbenturan dengan target-target material.
Sistem kapitalis mengajarkan—secara implisit—bahwa hidup adalah kompetisi. Yang kuat menang, yang lemah tersingkir. Anak-anak menyerap logika ini dan menerapkannya dalam interaksi sosial: intimidasi adalah cara untuk menunjukkan dominasi, bullying adalah metode untuk mempertahankan posisi dalam hierarki sosial.
Ketika pencapaian individual diutamakan di atas nilai-nilai komunal, empati terhadap sesama memudar. Anak-anak belajar untuk mementingkan diri sendiri, bahkan jika itu berarti merugikan orang lain.
Dalam pandangan materialistik, manusia direduksi menjadi sekadar materi. Tidak ada konsep tentang kehormatan, martabat, atau pertanggungjawaban spiritual. Akibatnya, menyakiti orang lain tidak dianggap sebagai dosa, melainkan sekadar pelanggaran aturan yang konsekuensinya bisa dinegosiasi.
Pemisahan Agama: Bencana dalam Pendidikan
Sistem sekular tidak hanya gagal memberikan solusi—ia justru menjadi bagian dari masalah. Dengan memisahkan agama dari kehidupan, sistem ini mencabut fondasi moral yang seharusnya menjadi landasan perilaku manusia.
Ketika moral dipisahkan dari agama, ia menjadi relatif dan rapuh. Tidak ada standar absolut tentang baik dan buruk. Yang ada hanya kesepakatan sosial yang bisa berubah sesuai kepentingan dan kekuatan politik yang berkuasa.
Program-program pendidikan karakter dalam sistem sekular hanya menyentuh permukaan. Mereka mengajarkan sopan santun dan etika sosial, tapi tidak menyentuh hati nurani yang terdalam. Hasilnya, anak-anak belajar untuk "bermain aman" dalam pengawasan, tapi bisa berubah brutal ketika tidak ada yang mengawasi.
Tanpa dimensi spiritual, pendidikan menjadi kering dan hampa makna. Anak-anak tidak memiliki rujukan nilai yang kokoh, tidak ada kesadaran bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat.
Islam: Sistem yang Menyentuh Akar
Berbeda dengan sistem sekular, Islam menawarkan solusi yang menyentuh akar masalah karena ia tidak memisahkan agama dari kehidupan. Dalam pandangan Islam, setiap aspek kehidupan—termasuk pendidikan—harus berlandaskan pada nilai-nilai ilahiah.
Islam memiliki pandangan yang jelas tentang manusia: ia adalah makhluk yang mulia (karramna bani Adam), diberi amanah sebagai khalifah di bumi, dan akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya di hadapan Allah. Kesadaran ini menciptakan kontrol internal yang kuat terhadap perilaku.
Nilai-nilai Islam memberikan landasan yang kuat dalam membentuk lingkungan belajar yang aman, inklusif, dan beradab. Konsep rahmah (kasih sayang), ukhuwah (persaudaraan), dan 'adalah (keadilan) bukan sekadar slogan, tapi prinsip hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari.
Dalam Islam, tujuan pendidikan bukan hanya mencerdaskan otak, tapi membentuk manusia seutuhnya: berilmu, beriman, dan berakhlak mulia. Setiap mata pelajaran, setiap interaksi, setiap kebijakan pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan mulia ini.
Implementasi Sistem Islam: Dari Konsep ke Realitas
Dalam sistem pendidikan Islam, setiap mata pelajaran menjadi wahana penanaman nilai-nilai akhlak. Matematika mengajarkan kejujuran dalam perhitungan, sejarah memberikan pelajaran tentang keadilan dan kezaliman, bahasa mengajarkan adab berkomunikasi.
Sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu, tapi mini-society yang menerapkan nilai-nilai Islam. Sistem reward dan punishment didasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Hubungan guru-murid, senior-junior, dan antar-teman diatur oleh etika Islam.
Guru bukan sekadar pengajar, tapi murabbi—pendidik yang bertanggung jawab membentuk kepribadian siswa. Guru berperan tidak hanya mengajar tetapi mengembangkan minat dan bakat anak sehingga tumbuh kepercayaan diri, serta menanamkan nilai-nilai agama dan moral.
Sistem Pemerintahan yang Mendukung: Urgensi Khilafah
Untuk memastikan implementasi sistem pendidikan Islam secara optimal, diperlukan sistem pemerintahan yang secara struktural mendukungnya. Inilah yang disebut sistem Khilafah—bukan sekadar simbol politik, tapi sistem pemerintahan yang menjadikan Islam sebagai asas kehidupan.
Dalam sistem Khilafah, seluruh kebijakan—dari ekonomi, politik, sosial, hingga pendidikan—disinkronkan dengan nilai-nilai Islam. Tidak ada kontradiksi antara apa yang diajarkan di sekolah dengan apa yang dipraktikkan di masyarakat.
Sistem Khilafah memastikan bahwa media massa, hiburan, dan lingkungan sosial turut mendukung pembentukan karakter mulia. Tidak ada dikotomi antara "pendidikan formal" dan "pendidikan informal."
Sistem peradilan dalam Khilafah tidak hanya menghukum pelaku kejahatan, tapi juga berupaya merehabilitasi dan mencegah terulangnya perbuatan serupa. Hukum bukan sekadar deterrent, tapi juga sarana pendidikan masyarakat.
Bukti Historis: Ketika Islam Menjadi Sistem
Sejarah mencatat bahwa ketika Islam diterapkan sebagai sistem kehidupan yang komprehensif, masyarakat mengalami transformasi luar biasa. Masa keemasan peradaban Islam—dari Andalusia hingga Baghdad—menunjukkan bagaimana sistem Islam mampu menciptakan masyarakat yang adil, berperadaban, dan bebas dari kekerasan struktural.
Dalam sistem tersebut, pendidikan bukan hanya mencetak ilmuwan dan teknokrat, tapi juga ulama, qudha (hakim), dan pemimpin yang adil. Bullying bukanlah fenomena yang lazim karena setiap individu memahami posisinya sebagai hamba Allah yang akan dimintai pertanggungjawaban.
Realitas Hari Ini: Jalan yang Harus Ditempuh
Tentu saja, implementasi sistem Islam secara komprehensif memerlukan perubahan yang tidak mudah. Tapi bukan berarti kita berpangku tangan. Ada langkah-langkah yang dapat segera ditempuh.
Umat Islam perlu disadarkan bahwa masalah-masalah sosial seperti bullying bukan sekadar masalah teknis, tapi konsekuensi dari sistem yang salah. Kesadaran ini akan mendorong upaya-upaya perubahan yang lebih fundamental.
Sekolah-sekolah Islam, pesantren, dan institusi pendidikan berbasis Islam dapat menjadi pilot project implementasi sistem pendidikan Islami. Keberhasilan di level ini akan menjadi bukti nyata superioritas sistem Islam.
Muslim yang berada di posisi strategis dapat mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan nilai-nilai Islam, meski dalam kerangka sistem yang masih sekuler.
Sudah Saatnya Perubahan Fundamental
Data tidak berbohong: sistem saat ini telah gagal mengatasi bullying. Malah, di tengah gencarnya regulasi dan program pencegahan, angka kekerasan justru meningkat drastis. Ini adalah bukti empiris bahwa masalahnya bukan pada kurangnya aturan, tapi pada kesalahan sistem.
Sistem sekular-kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan telah terbukti tidak mampu menciptakan manusia yang berkarakter. Ia hanya menghasilkan individu-individu yang pandai secara intelektual tapi buta secara moral dan spiritual.
Saatnya kita jujur mengakui: yang kita butuhkan bukan sekadar reformasi, tapi transformasi. Bukan tambal sulam, tapi rekonstruksi total. Dan Islam, sebagai sistem kehidupan yang komprehensif, menawarkan solusi yang kita cari.
Kita tidak bisa terus berharap pada sistem yang salah untuk menghasilkan generasi yang benar. Kita tidak bisa terus memanen tragedi, lalu menyalahkan cuaca. Sudah saatnya kita berani melihat akar masalah dan lebih berani menawarkan solusi fundamental: Islam sebagai sistem, Khilafah sebagai institusi politik yang menjaganya.
Generasi masa depan berhak mendapatkan sistem yang tidak hanya melindungi mereka dari kekerasan fisik, tapi juga membekali mereka dengan karakter mulia yang akan membuat mereka menjadi rahmat bagi semesta alam.
Wallahu a'lam bishawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
