Mudah Diucap, Sulit Dipegang: Krisis integritas dalam Hidup Sehari-hari
Info Terkini | 2025-07-19 21:06:05
Integritas, satu kata yang cukup mudah untuk sekedar di ucapkan cukup mudah untuk di ingat tapi dalam hal pelaksanaan ini sangat sulit untuk dilakukan, jujur, konsisten, bertanggung jawab, serta berani Mengatakan dan melakukan hal yang benar, sambil menolak segala bentuk kompromi terhadap tindakan yang tidak etis, merupakan tantangan besar bagi banyak orang di masa sekarang.
Kendati demikian, masih ada sejumlah kelompok yang dengan teguh berkomitmen untuk menjaga integritas.
Saat ini kita hidup di tengah-tengah Masyarakat yang semakin cerdas, namun dengan seiring banyak yang semakin cerdas belum tentu juga banyak yang semakin jujur. Banyak orang yang menginginkan keuntungan instan cenderung tidak sabar menjalani proses yang benar. Di kehidupan nyata seperti di ruang publik baik di kantor, ruang kelas, media sosial dan yang paling sering yaitu di panggung politik kita sering melihat intregritas di pertaruhkan, Keinginan untuk meraih hasil secara instan kerap membuat seseorang mengabaikan proses yang seharusnya ditempuh dengan integritas. sehingga mengesampingkan prinsip-prinsip moral yang ada.
Dalam situasi seperti ini, integritas menjadi sesuatu yang sangat diharapkan, namun jarang benar-benar diwujudkan.
Masalahnya, kejujuran sering kali tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan kita. Ketika pelanggaran dilakukan berulang kali tanpa teguran, masyarakat cenderung menganggapnya wajar. Di sisi lain, kejujuran justru kerap diabaikan dan tidak dihargai sebagaimana mestinya. Contoh sederhana dapat ditemukan di dunia perkuliahan: praktik “titip absen” menjadi hal yang dianggap biasa.
Mahasiswa yang menolak untuk ikut serta justru sering dianggap tidak bisa diajak “kompromi”, bahkan dijauhi. Dalam kondisi semacam ini, individu yang tetap berpegang pada integritas sering kali merasa tersisih atau berbeda sendiri di tengah lingkungan yang permisif.
Apabila kejujuran justru membawa dampak negatif secara sosial, maka hanya segelintir orang yang akan memilih untuk tetap menjunjungnya.
Fenomena ini terjadi di semua lapisan masyarakat. Padahal, semua orang menginginkan pemimpin dan rekan yang tulus dan dapat dipercaya. Namun ketika dihadapkan pada pilihan antara berpegang pada prinsip atau mengambil jalan yang lebih mudah, banyak yang memilih opsi kedua. Lantas, pantaskah kita menuntut integritas dari orang lain jika kita sendiri masih sering mengabaikannya?. Keteladanan dari para pemimpin atau tokoh publik pun sering kali tidak konsisten, bahkan bertolak belakang. Minimnya keteladanan dari para tokoh publik serta lemahnya apresiasi terhadap perilaku jujur turut memperburuk kondisi yang ada. Integritas seolah menjadi barang langka, bahkan tidak relevan. Namun, bukan berarti tidak ada harapan.
Kedudukan dan nilai-nilai budaya memang memberikan pengaruh besar terhadap perilaku seseorang, namun hal itu tidak menjamin setiap individu akan memiliki karakter yang serupa.
Pembentukan karakter dapat dimulai sejak dini melalui pendidikan karakter, yang berperan sebagai fondasi utama dalam membangun generasi yang tangguh secara moral.
Anak-anak perlu diajarkan untuk membedakan benar dan salah, berani menyuarakan kebenaran, dan menolak kompromi terhadap perilaku yang tidak etis. Langkah kecil yang berlandaskan pada prinsip benar bisa menjadi awal dari perubahan besar yang berarti.
Seseorang yang sejak dini dibimbing untuk menjunjung nilai kejujuran dan keberanian moral, cenderung akan lebih teguh saat menghadapi godaan untuk mengambil jalan pintas.
Untuk menanamkan nilai integritas secara nyata, diperlukan langkah konkret baik di tingkat individu maupun institusi. Dalam konteks pendidikan, institusi seperti sekolah dan perguruan tinggi seharusnya menerapkan aturan yang jelas dan tegas terhadap tindakan tidak jujur, seperti menitipkan absen atau menyalin karya orang lain.
Selain itu, nilai-nilai karakter juga perlu diintegrasikan sebagai bagian dari proses pembelajaran sehari-hari. Di tempat kerja, budaya integritas bisa dibangun lewat pelatihan etika dan sistem penghargaan bagi perilaku jujur. Di masyarakat, media sosial dapat menjadi ruang untuk menyuarakan nilai-nilai kebenaran, bukan sekadar menjadi ajang pencitraan semata.
Integritas adalah pilihan mulia, meski tidak selalu mudah. Tanpa adanya dukungan dari sistem yang kuat dan masyarakat yang menghargai, nilai integritas berisiko kehilangan maknanya dan tidak lagi menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Namun selama masih ada individu yang berani hidup jujur dan bertanggung jawab, harapan akan masyarakat yang lebih bermoral tetap menyala. Integritas memang tak selalu membawa tepuk tangan. Namun tanpa integritas, semua bentuk kemajuan hanyalah ilusi belaka.
Mika Sibuea mahasiswa FEB Prodi Manajemen Universitas Katolik Santo Thomas Medan, dengan dosen pembimbing Helena Sihotang, S.E.,M,M
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
