Agile Movement Sebagai Jalan Baru Gerakan Mahasiswa
Pendidikan dan Literasi | 2025-07-17 01:16:16
Artikel ini ditulis oleh Radityo Satrio, Presiden BEM Universitas Saintek Muhammadiyah.
“Gerakan mahasiswa tidak stagnan karena kehilangan semangat, tapi karena tak mampu beradaptasi.”
Kalimat ini rasanya mewakili keresahan banyak mahasiswa hari ini. Kita masih aktif berkegiatan, masih lantang bersuara, tapi entah kenapa terasa kehilangan arah. Di satu sisi, publik menaruh harapan, namun di sisi lain kita seperti tertinggal dalam merespons isu-isu nyata yang terjadi setiap hari.
Kita harus jujur mengakui, banyak organisasi mahasiswa terjebak dalam gaya kerja yang lamban, penuh rapat, dan terlalu birokratis. Dunia luar bergerak cepat, tapi gerakan mahasiswa justru sering tersandera oleh mekanisme internal yang rumit. Maka di sinilah muncul ide besar: mengadaptasi prinsip Agile sebagai jalan baru gerakan mahasiswa.
1. Dari Lamban ke Lincah: Mahasiswa Butuh Pola Gerak yang Adaptif
Agile awalnya dikenal dalam dunia teknologi, tapi ia bukan sekadar metode manajemen proyek. Agile adalah filosofi kerja yang gesit, adaptif, dan kolaboratif. Jika perusahaan raksasa saja mengubah cara kerja mereka dengan prinsip Agile agar bisa lebih responsif, mengapa gerakan mahasiswa tidak?
Bayangkan jika setiap BEM, komunitas, atau forum mahasiswa bisa bekerja dengan prinsip sprint: fokus pada satu isu penting selama satu atau dua minggu, lalu evaluasi, dokumentasi, dan lanjut ke aksi berikutnya. Tidak perlu menunggu kongres atau rapat besar nasional untuk mulai bertindak. Gerakan mahasiswa akan jauh lebih produktif, relevan, dan terhubung langsung dengan kebutuhan masyarakat.
2. Agile Bukan Sekadar Metode, Tapi Kultur Kolektif yang Terbuka
Banyak gerakan mahasiswa stagnan karena terlalu bergantung pada satu atau dua tokoh sentral. Ketika mereka tidak aktif, organisasi pun ikut mati suri. Agile mengajarkan pentingnya self-organizing teams—tim yang bisa bergerak tanpa menunggu komando. Gerakan mahasiswa juga harus menjadi ekosistem kolektif, bukan kerajaan kecil di kampus.
Dalam kultur Agile, setiap individu punya ruang untuk berinisiatif. Setiap suara didengar. Setiap ide diuji. Ini adalah pendekatan yang demokratis dan horizontal, sangat sesuai dengan semangat gerakan mahasiswa yang sejatinya mengusung kesetaraan dan kolaborasi.
3. Langkah Kecil, Dampak Nyata: Mahasiswa Harus Bangun Gerakan yang Berkelanjutan
Seringkali aksi mahasiswa hanya muncul saat momentum besar: demo nasional, isu viral, atau pemilu kampus. Namun sesudah itu, sunyi. Tidak ada dokumentasi, tidak ada evaluasi, dan tidak ada kesinambungan.
Agile justru mendorong refleksi berkala. Gerakan bukan sekadar aksi, tapi proses belajar yang terus menerus. Kita butuh dokumentasi, publikasi, dan evaluasi yang jelas. Dengan begitu, gerakan tak hanya viral sesaat, tapi membangun pengetahuan dan jejak perjuangan jangka panjang.
Agile Movement bukan tentang ikut tren. Ini adalah kebutuhan zaman. Saat sistem di luar kampus berubah begitu cepat, mahasiswa tidak bisa terus memakai pola gerak era lampau. Kita harus lincah, berani berubah, dan terus belajar.
Gerakan mahasiswa akan kembali kuat jika ia mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan idealismenya. Agile adalah cara baru, tapi semangatnya tetap sama: bergerak demi keadilan, berpihak pada rakyat, dan menjaga akal sehat republik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
