Napas Baru Hadroh di Tangan Gen Z, Budaya Islam yang Terus Lestari di Tengah Zaman
Agama | 2025-07-16 17:36:37
Suara hadroh menggema syahdu di rumah salah satu warga RT 05 RW 001, Kelurahan Grogol, Limo, Depok, dalam sebuah acara tasyakuran pernikahan. Musik tradisional Islam ini tampaknya tak pernah kehilangan pesonanya. Bahkan di tengah kemajuan zaman yang bergerak begitu cepat dan kerap mengabaikan hal-hal yang dianggap usang, hadroh justru terus menjadi pilihan para remaja yang memiliki minat tinggi terhadap kesenian Islam. Salah satunya adalah grup hadroh asal Masjid Al-Mujahidin yang berdiri sejak tahun 2020 dan digagas oleh sekelompok pemuda kampung.
“Awalnya saya diajak latihan hadroh sama grup dari salah satu pengajian di RW sebelah,” cerita Fikri, salah satu anggota sekaligus generasi pertama grup tersebut saat saya wawancarai langsung di lokasi acara. “Setelah itu dikembangkan. Sampai akhirnya, ada salah satu donatur yang rela membelikan alat-alat hadroh dan menyerahkannya ke masjid untuk membantu dakwah anak-anak muda di lingkungan sini.”
Meski telah berdiri selama lima tahun, proses regenerasi dalam kelompok hadroh Al-Mujahidin masih terus berjalan. Beberapa anggotanya terpaksa mundur karena kesibukan, seperti kuliah, bekerja, atau pindah tempat tinggal. Namun, semangat untuk mempertahankan eksistensi hadroh tetap terjaga melalui upaya membina anggota-anggota baru.
Regenerasi grup hadroh ini menyasar para remaja yang tinggal di sekitar wilayah Grogol, dengan harapan mereka tidak hanya mampu mengembangkan keterampilan bermusik, tetapi juga tumbuh dengan ikatan yang lebih kuat terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Hadroh di wilayah ini juga dijadikan sebagai ruang yang efektif untuk belajar, berkembang, mengisi waktu luang, hingga menjalin hubungan sosial dengan sesama warga.
“Karena seseorang yang melakukan kejahatan itu, di satu sisi, bisa jadi karena dia terlalu santai, enggak punya kegiatan,” ujar Fikri. “Karena itu, hadroh adalah kegiatan positif yang ada di lingkungan ini, yang bisa kita jaga, kembangkan, dan terus cari regenerasinya agar hadroh ini enggak putus.”
Selain aktif tampil di berbagai acara, grup hadroh Al-Mujahidin juga memiliki prinsip mulia dalam hal pelayanan. Mereka tidak mematok harga bagi masyarakat yang ingin menggunakan jasa penampilan mereka. Hal ini dilandasi oleh prinsip yang dijaga sejak awal berdiri, yakni: “Jangan mencari duit di agama.”
Prinsip ini erat kaitannya dengan tujuan awal dibentuknya grup hadroh, yaitu untuk mensyiarkan ajaran Islam melalui kesenian. Kendati tidak memasang tarif tetap, grup ini tetap mendapat pemasukan dari para donatur di lingkungan sekitar yang mendukung kegiatan mereka. Terkadang, masyarakat juga memberikan bayaran secara sukarela sebagai bentuk apresiasi.
Dana yang terkumpul dikelola secara kolektif untuk berbagai kebutuhan, seperti pembelian seragam, perawatan alat, hingga pemberian penghargaan kepada para anggota. Tak jarang, dana tersebut juga digunakan untuk mengadakan acara keakraban guna mempererat solidaritas dalam grup atau dibagikan langsung sebagai uang saku tambahan bagi anggota aktif.
Dukungan warga terhadap grup hadroh Al-Mujahidin juga terlihat dari banyaknya rekomendasi yang diberikan. Warga kerap menyarankan grup ini kepada lingkungan lain, sehingga mereka sering menerima undangan tampil di luar wilayah asalnya. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi mereka semakin dikenal luas.
Meski belum pernah mengikuti perlombaan secara resmi, beberapa anggota grup ini pernah dipercaya bergabung sebagai personel tambahan dalam tim hadroh lain yang mengikuti lomba. Ini menjadi bukti bahwa kemampuan mereka telah diakui oleh komunitas hadroh di luar lingkungannya.
Antusiasme dari lingkungan lain juga tampak saat grup hadroh ini mengikuti kegiatan gabungan. “Untuk kegiatan gabungan itu sendiri, seperti acara majelis, peringatan Maulid, dan Rowahan Akbar, sudah pernah dilakukan beberapa kali. Alhamdulillah, acaranya lancar dan sukses. Ini menunjukkan bahwa antusiasme atau respons dari pemuda dari tempat lain cukup baik,” ungkap salah satu anggota.
Di sisi lain, grup hadroh Al-Mujahidin juga aktif mengembangkan eksistensinya di media sosial. Mereka memiliki akun khusus yang dikelola untuk mendokumentasikan kegiatan, membagikan penampilan, serta menyebarkan semangat dakwah melalui seni. Keaktifan mereka di media sosial menjadi langkah penting untuk memperluas jangkauan sekaligus menginspirasi generasi muda agar turut berperan dalam kegiatan positif di lingkungannya.
Meski terus berkembang, grup hadroh Al-Mujahidin juga menghadapi tantangan dalam proses regenerasi. Salah satu tantangan terbesar adalah menarik minat anak-anak muda yang kini cenderung lebih menyukai musik-musik modern. Untuk mengatasi hal ini, mereka memilih pendekatan yang ramah dan terbuka.
Alih-alih menghakimi selera musik para remaja, para anggota senior justru memberi ruang agar anggota baru merasa nyaman. Mereka membebaskan para pemula untuk mengeksplorasi alat musik yang diminati terlebih dahulu, sebelum diarahkan lebih lanjut dalam latihan. Nasihat pun diberikan dengan cara yang lembut, bukan memaksa, melainkan mengingatkan bahwa bershalawat dan mendekatkan diri kepada Allah juga bisa dilakukan melalui hadroh—tanpa harus meninggalkan musik modern.
“Saya bergabung hadroh karena hadroh ini punya irama yang menarik dan tampak asyik untuk dipelajari,” ujar Rizki, seorang anggota baru di grup hadroh Masjid Al-Mujahidin yang kini telah dipercaya memegang alat berbentuk segi delapan.
Di tengah gempuran budaya populer dan musik-musik modern, eksistensi hadroh di tangan generasi muda seperti Al-Mujahidin menjadi angin segar bagi pelestarian budaya Islam. Dengan pendekatan yang inklusif dan semangat kebersamaan, mereka tak hanya menjaga tradisi, tetapi juga membuktikan bahwa nilai-nilai dakwah bisa tetap hidup dalam bentuk yang membumi dan merangkul zaman.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
