Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Eilinda Theresia

Ketika Korupsi Menggerus APBN: Dampak Struktural bagi Ekonomi dan Kepercayaan Publik

Politik | 2025-07-15 13:31:42

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah instrumen utama negara dalam menjalankan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Melalui APBN, pemerintah mendanai berbagai program strategis yang mencakup infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga pelayanan publik. Namun, efektivitas APBN kini menghadapi ancaman serius: praktik korupsi yang terus menggerogoti dana negara secara masif dan sistemik.

Apakah korupsi ini semata-mata disebabkan oleh kelemahan sistem pengawasan? Atau justru merupakan gejala dari tata kelola keuangan negara yang sudah lama tidak berpihak pada kepentingan publik?

Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat bahwa kerugian negara akibat korupsi sepanjang tahun 2024 mencapai sekitar Rp984 triliun—angka yang mencengangkan karena hampir sepertiga dari total APBN. Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi ladang subur praktik korupsi, dengan kerugian negara mencapai triliunan rupiah tiap tahunnya (Prasetio, 2024). Setiap tahunnya, lebih dari 45 persen dana APBN dialokasikan untuk pengadaan barang dan jasa dengan jumlah yang terus meningkat seiring dengan kemajuan dan perkembangan di berbagai sektor. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga memperkuat bukti adanya banyak penyimpangan dalam belanja negara terjadi akibat ketidaksesuaian anggaran dan ketidakpatuhan terhadap prosedur (Wiku, 2024).

Praktik korupsi dalam APBN bukan hanya soal moralitas pejabat publik, tetapi menjadi penghambat utama bagi pembangunan nasional (Pahlevi, 2022). Kebocoran anggaran melalui mark-up biaya proyek, proyek fiktif, manipulasi pengadaan, dan kolusi antara pihak-pihak berkepentingan menyebabkan dana publik tersedot ke kanhtong pribadi. Akibatnya, program-program pemerintah menjadi tidak tepat sasaran, kualitas layanan publik menurun, dan pembangunan berjalan stagnan.

Jika kebocoran anggaran terus dibiarkan, siapakah yang paling dirugikan? Apakah rakyat kecil yang kehilangan akses terhadap layanan publik? Atau generasi masa depan yang tak lagi mendapat warisan pembangunan yang layak?

Dampak lebih luas dari korupsi ini terasa pada sektor ekonomi. Dalam penelitian oleh Imron (2024) diungkapkan bahwa kebocoran anggaran akibat praktik korupsi memperbesar defisit APBN. Di samping itu, sistem perpajakan nasional juga belum optimal, dengan berbagai kendala teknis seperti sistem Coretax yang masih bermasalah. Pemerintah pun terpaksa melakukan pemangkasan anggaran demi efisiensi, tetapi langkah ini menimbulkan efek domino: melambatnya belanja negara, turunnya daya dorong terhadap sektor riil, dan berkurangnya penciptaan lapangan kerja.

Upaya pemberantasan korupsi terus dilakukan. Pemerintah, melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meluncurkan kebijakan efisiensi anggaran berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Selain itu, indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) 2025 dikembangkan untuk memperkuat tata kelola pemerintahan daerah yang akuntabel, khususnya di sektor rawan korupsi seperti pengadaan barang dan jasa. Penguatan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) juga menjadi bagian penting dalam sistem pengawasan internal.

Namun, tantangan besar muncul ketika KPK justru mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp201 miliar. Pemotongan ini dikhawatirkan akan menghambat kinerja lembaga dalam menindak korupsi secara optimal.

Apakah pemangkasan ini sekadar kebijakan efisiensi, atau sinyal melemahnya komitmen terhadap pemberantasan korupsi? Jika lembaga sekuat KPK saja dibatasi ruang geraknya, bagaimana mungkin pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan efektif dan independen?

Situasi ini tidak hanya mengancam efektivitas penegakan hukum, tetapi juga dapat memperburuk persepsi publik bahwa pemberantasan korupsi tidak lagi menjadi prioritas nasional. Dalam kondisi seperti ini, dukungan masyarakat dan keberanian politik dari para pemimpin menjadi sangat penting untuk menjaga independensi lembaga antikorupsi. Tanpa komitmen nyata untuk memperkuat institusi pengawas, agenda reformasi birokrasi dan pengelolaan anggaran yang bersih hanya akan menjadi retorika kosong belaka.

Sebagaimana dinyatakan oleh Subhan (2025), korupsi bukan hanya merusak ekonomi, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara. Ketika anggaran negara gagal dikelola dengan bersih, maka yang terancam bukan hanya proyek-proyek pembangunan, tetapi juga legitimasi dan stabilitas pemerintahan.

Oleh karena itu, pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas nasional. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga penegak hukum, institusi pengawas, dan masyarakat sipil mutlak diperlukan. Dengan tata kelola yang bersih, sistem pengawasan yang kuat, dan keterlibatan aktif publik, Indonesia dapat mengembalikan fungsi APBN sebagai tulang punggung pembangunan yang berdaya guna dan berkeadilan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image