Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Hasannuddin daulay

Mendidik dengan Trauma: Saat Negara Menyerahkan Anak-anak pada Barak Militer

Pendidikan dan Literasi | 2025-07-15 11:22:59

Belakangan, dunia pendidikan Indonesia kembali gaduh oleh kebijakan kontroversial dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ratusan siswa SMA/SMK yang dianggap melakukan pelanggaran berat seperti tawuran, menjadi anggota geng motor, hingga terlibat penyimpangan sosial, dikirim ke barak militer. Tujuan kebijakan ini diklaim mulia: membentuk kedisiplinan, menanamkan semangat bela negara, dan menyelamatkan masa depan mereka. Namun, pertanyaannya: benarkah ini bentuk pendidikan? Atau justru penghukuman yang dibungkus dalam moralitas semu? Pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia. Ia bukan sekadar instrumen untuk menertibkan perilaku, tetapi jalan membentuk karakter dan kesadaran. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menekankan bahwa pendidikan bukan alat kekuasaan, melainkan jembatan menuju pembebasan membangkitkan kesadaran kritis, bukan menanamkan ketaatan buta. Maka, ketika negara mengalihfungsikan barak militer sebagai ruang pembinaan siswa, sesungguhnya negara tengah menggeser pendidikan ke arah represi, bukan refleksi.

Sejarah menunjukkan bahwa barak militer tidak dirancang untuk mendidik remaja. Tidak ada guru bimbingan konseling, tidak ada psikolog perkembangan, tidak ada ruang diskusi terbuka. Yang tersedia hanyalah struktur komando, tekanan fisik, dan disiplin hierarkis. Mungkin ketertiban dapat tercipta dalam jangka pendek, namun empati, kesadaran moral, dan tanggung jawab justru sulit tumbuh dalam suasana penuh tekanan dan rasa takut. Sebaliknya, pendekatan semacam ini berisiko meninggalkan luka psikologis yang dalam.

Remaja adalah individu yang sedang berada dalam fase kritis pencarian jati diri. Menstigma mereka sebagai “anak nakal” dan mengasingkan mereka dari keluarga serta lingkungan sekolah hanya akan menanamkan rasa malu, rendah diri, atau bahkan kemarahan yang terpendam. Bukan tidak mungkin mereka kembali ke masyarakat bukan sebagai pribadi yang pulih, tetapi sebagai individu yang hancur harapan dan relasinya. Alih-alih menjadi ruang penyembuhan, pendekatan ini justru berpotensi menjadi pembuangan sosial yang dibungkus dengan narasi ketertiban. Lebih jauh, kenakalan remaja bukanlah semata-mata kesalahan individu. Ia adalah produk dari banyak faktor: keluarga disfungsional, tekanan ekonomi, lingkungan sosial yang keras, hingga sekolah yang tidak ramah secara emosional. Ketika semua ini tidak ditangani secara sistemik, maka mengirim siswa ke barak militer hanyalah solusi jangka pendek yang menutup lubang dalam dengan tambalan dangkal. Mungkin terlihat tegas, tetapi rapuh dan tidak menyelesaikan persoalan dari akar.

Kita memiliki alternatif yang lebih manusiawi: pendekatan restoratif dalam pendidikan. Restorative justice menekankan pemulihan relasi sosial, bukan penghukuman. Siswa yang melakukan pelanggaran diajak untuk memahami dampak dari tindakannya, meminta maaf, serta memperbaiki hubungan dengan lingkungan sekitar. Pendekatan ini melibatkan guru, orang tua, dan siswa dalam ruang dialog yang terbuka dan empatik. Beberapa sekolah di Indonesia telah mulai menerapkannya membangun ruang mediasi, konseling aktif, serta kegiatan komunitas. Hasilnya, pelanggaran menurun, kepercayaan meningkat, dan siswa merasa dihargai sebagai individu yang sedang bertumbuh.

Sayangnya, pendekatan seperti ini masih belum menjadi arus utama dalam kebijakan pendidikan. Barangkali karena dianggap terlalu kompleks, terlalu “lembek,” atau kurang mencolok untuk dijadikan pencitraan. Padahal, jika kita sungguh ingin menyelamatkan generasi muda, kita harus berani memilih jalan yang mungkin lebih sulit dan panjang, namun lebih bermartabat secara kemanusiaan. Dalam konteks kebijakan pendidikan nasional, pemerintah seharusnya mulai menggeser paradigma pembinaan dari model koersif ke model yang transformatif dan berbasis pemulihan. Sekolah harus difungsikan kembali sebagai ruang aman, tempat remaja tumbuh dengan rasa hormat, kepercayaan, dan dukungan emosional yang konsisten.

Anak-anak memang harus belajar bertanggung jawab atas kesalahannya. Tetapi cara kita mendidik mereka sangat menentukan arah masa depan mereka. Kita boleh bersikap tegas, namun jangan sampai kehilangan empati. Kita boleh mengoreksi, tetapi jangan merendahkan. Mendidik adalah membimbing, bukan mengintimidasi. Karena itu, mari kita jaga nyala pendidikan yang sejati—yang menumbuhkan, bukan menekan. Anak-anak kita bukan tentara yang harus dijemur di lapangan, melainkan manusia muda yang sedang belajar mengenal dunia dan dirinya. Mereka mungkin tersesat, tetapi bukan tanpa harapan. Dan tugas orang tua, guru, serta negara adalah memulihkan arah mereka, bukan mengucilkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image