Pelajaran dari Perang Hunain (Bagian 1)
Agama | 2025-07-15 10:24:53
Oleh: Muhammad Syafi'ie el-Bantanie
(Founder dan CEO Insani Leadership)
Setelah Fathul Mekah pada 10 Ramadhan Tahun 8 Hijriah, sekira 15 hari berikutnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memperoleh kabar dari intelijen bahwa Bani Tsaqif dan Hawazin di Thaif (sekira 70 km dari Mekah) telah menghimpun kekuatan dan pasukan untuk menyerang Mekah. Maka itu, Rasulullah menyambutnya dengan menghimpun pasukan muslimin.
Terkumpulah pasukan muslimin sejumlah 12.000 prajurit. Jumlah terbesar yang pernah dimiliki umat Islam. Terdiri dari 10.000 prajurit Madinah untuk misi Fathul Mekah sebelumnya dan 2.000 prajurit Mekah yang baru masuk Islam saat Fathul Mekah.
Berangkatlah pasukan muslimin dipimpin langsung Rasulullah. Ini adalah perang terakhir umat Islam yang dipimpin langsung Rasulullah. Dan, perang Badar adalah perang pertama yang dipimpin langsung Rasulullah. Nanti kita akan analisis pelajaran penting dari kedua perang ini.
Para ulama ketika membahas perang Hunain mesti mengaitkannya dengan perang Badar. Dan, untuk perang Hunain sendiri, memang mesti kita saksamai dan renungkan. Pada ayat 25 surat At-Taubah, mulanya Al-Qur’an menggunakan redaksi umum (fi mawâthin: banyak peperangan), namun kemudian menyebutkan Hunain secara khusus (wa yauma hunain).
Para ulama Tafsir menerangkan, jika sesuatu yang khusus disebutkan kembali setelah sesuatu yang umum, padahal sesuatu yang khusus itu telah tercakup dalam sesuatu umum, itu berarti Allah menginginkan kita memberikan perhatian lebih dan mendalam pada sesuatu yang khusus itu. Maka itu, mari kita saksamai pelajaran apa yang ingin Allah sampaikan dari perang Hunain.
Pasukan muslimin bergerak menuju arah Thaif dan bertemu dengan pasukan Bani Tsaqif dan Hawazin pimpinan Malik bin Auf di lembah Hunain atau disebut juga lembah Atos. Di sinilah terdapat pelajaran penting bagi pasukan muslimin, yang sejatinya pelajaran juga bagi kita pada masa kini.
Kaum muslimin Mekah yang baru masuk Islam sekira 2.000 prajurit itu takjub dengan besarnya jumlah pasukan muslimin. Bergeserlah sandaran mereka yang semula hanya bersandar kepada Allah menjadi bersandar pada logika matematika, yaitu besarnya jumlah pasukan muslimin.
“Hari ini kita tidak mungkin kalah karena jumlah pasukan kita yang besar,” seru mereka membanggakan pasukan muslimin.
Rasulullah mendengar ungkapan ini, seketika bersedih. Dan, betul saja Allah berikan pelajaran kepada pasukan muslimin. Ketika sandaran telah berubah, dari bersandar kepada Allah menjadi kepada jumlah pasukan yang besar, maka Allah berlepas tangan dari pasukan muslimin.
Apa yang terjadi? Rupanya pasukan Tsaqif dan Hawazin telah siap menyambut pasukan muslimin dengan serangan panah. Pasukan muslimin dihujani panah-panah yang tiada putus. Sedang, pasukan Tsaqif dan Hawazin terkenal dengan pasukan pemanah jitu. Kontan pasukan muslimin lari kocar-kacir. Semula sebagian kecil, lalu bertambah, bertambah, dan akhirnya sebagian besar pasukan muslimin lari berbalik mundur. Tersisa Rasulullah dan sahabat-sahabat utama.
Al-Qur’an menggambarkan peristiwa itu, “Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.” (QS. At-Taubah [9]: 25).
Menyadari situasi genting, Rasulullah memerintahkan kepada pamannya, Abbas bin Abdul Muthalib yang bersuara keras, untuk menyeru pasukan muslimin yang lari dan mundur agar kembali. Abbas paham maksud Rasulullah. Muslimin lari dari peperangan karena bergeser niat dan sandarannya.
Karena itu, cara untuk mengembalikan mereka adalah dengan panggilan iman. Panggilan yang mengembalikan memori muslimin pada masa-masa perjuangan yang dilandasi iman. Maka, diserulah, “Ya ayyuhal Muhajirin, wa ya ayyuhal Anshar, ya ashabal Hudaibiyah, ya ashaba Suratil Baqarah.”
Maka, segera pasukan muslimin yang lari mundur teringatkan dengan komitmen iman itu. Panggilan dengan kata Muhajirin dan Anshar mengingatkan mereka pada sumpah setia mendukung perjuangan dakwah Rasulullah. Hingga pada peristiwa Hudaibiyah sekalipun, mereka taat kepada keputusan Rasulullah meski secara sepintas perjanjian itu merugikan muslimin.
Adapun surat Al-Baqarah, para sahabat teringat masa-masa indah belajar surat Al-Baqarah kepada Rasulullah. Inilah surat yang paling lama dipelajari oleh para sahabat. Dan, inilah karakter orang beriman. Mereka mungkin terkhilaf, namun mereka mudah sekali diingatkan dan dikembalikan kepada kebenaran.
Hingga ketika telah nyata kesadaran pasukan muslimin, maka Allah pun memberikan pertolongan-Nya dan memaafkan mereka, “Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Dia menurunkan bala tentara (para malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menimpakan azab kepada orang-orang kafir. Itulah balasan bagi orang-orang kafir. Setelah itu Allah menerima tobat orang yang Dia kehendaki. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taubah [9]: 26 - 27).
Pasukan muslimin, dengan pertolongan Allah, berhasil memukul mudur pasukan Tsaqif dan Hawazin. Pasukan muslimin juga berhasil menawan Malik bin Auf, pemimpin Bani Tsaqif dan Hawazin, dan memperoleh ghanimah yang banyak sekali jumlahnya.
Sebelum kita lanjutkan pembahasannya, sampai di sini mari kita kaji dulu pesan penting ayat-ayat tentang Hunain ini. Kita hubungkan dengan perang Badar untuk bisa lebih menginsyafi ayat tentang Hunain ini. Ketika terjadi perang Badar pada 17 Ramadhan Tahun 2 Hijriah, sedari awal, pada prosesnya, hingga akhir perang, niat dan sandaran pasukan muslimin dalam berperang murni Allah semata.
Pasukan muslimin berniat berperang karena Allah dan bersandar total hanya kepada-Nya. Maka itu, Allah pun menjanjikan pertolongan dan kemenangan. Dan, kemenangan itu pun diraih dengan gemilang meski jumlah pasukan muslimin sekira hanya 300 orang, sementara kafir Quraisy 1.000 orang.
Al-Qur’an merekam peristiwan ini, “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, ‘Sungguh, Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.’ Dan tidaklah Allah menjadikannya melainkan sebagai kabar gembira agar hatimu menjadi tentram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Anfal [8]: 9 – 10).
Hal berkebalikan terjadi pada perang Hunain. Niat dan sandaran pasukan muslimin yang semula bergantung kepada Allah semata bergeser menjadi bergantung pada jumlah pasukan yang besar. Maka itu, Allah memberikan pelajaran bagi pasukan muslimin dalam perang Hunain. Allah berlepas diri dari pasukan muslimin. Dampaknya, pasukan muslimin tercerai berai oleh serangan musuh. Pelajaran lainnya, meski yang bergeser sandarannya hanya sebagian pasukan muslimin, yaitu 2.000 orang yang baru masuk Islam, ternyata dampaknya bisa mengenai pasukan muslimin secara keseluruhan.
Maka, pada ayat lain, kita pun diingatkan, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS. Al-Anfal [8]: 25).
Pelajaran perang Hunain yang dikisahkan dalam Al-Qur’an semestinya juga menjadi pelajaran bagi kita dalam menjalani hidup ini. Karena, Al-Qur’an adalah panduan abadi umat Islam. Bahwa tauhid itu harus kokoh, murni, dan tak boleh terkotori setitik nila pun.
Barangkali secara tidak sadar dalam kehidupan ini, kita terkadang mengesampingkan Allah dan menomorsatukan logika matematika. Logika matematika itu penting, namun ingatlah ia hanya tools untuk menyusun strategi dan mengkalkulasi kekuatan dan kelemahan. Ketika logika matematika dijadikan sandaran atau tolak ukur kepastian keberhasilan atau ketidakberhasilan, di sinilah tauhid telah terkotori.
Bukankah jika logika matematika dijadikan acuan, seharusnya pasukan muslimin kalah dalam perang Badar? Dan, berjaya pada perang Hunain? Namun, faktanya tidak seperti itu. Sekali lagi perang Hunain memberikan pelajaran penting bagi kita agar proporsional dalam menempatkan logika. Agar iman (tauhid) tetap menjadi panglima dalam beramal dan berkarya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
