Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Luluk Amalia

Tak Ada yang Tertinggal? Tata Kelola Daerah dan Kesenjangan SDGs

Politik | 2025-07-15 09:32:51

Ketimpangan pembangunan di Indonesia terlihat dari banyaknya kesenjangan antara daerah-daerah maju dan daerah tertinggal. Salah satu contohnya adalah daerah perbatasan dan daerah di wilayah Timur Indonesia yang mengalami tantangan besar dalam mengakses layanan dasar seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Padahal SDGs bertujuan untuk memastikan tidak ada ketimpangan daerah baik di dalam maupun luar negeri. Namun, sampai hari ini masih banyak daerah yang belum mendapat pembangunan yang merata. Banyak pembangunan di Indonesia yang terkesan Jawasentris, yakni memprioritaskan pembangunan dan pengambilan keputusan di Pulau Jawa. Oleh karena itu, pembangunan daerah penting untuk mendapat perhatian serius dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat.

Ketimpangan pembangunan terlihat nyata di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua Selatan, dan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Asmat masuk kategori rendah yakni 56,85 dan kurang dari 1% jalan beraspal yang ada di sana menurut Laporan Akhir Penilaian Kinerja AKNOP 2020. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Sambas berada di level tinggi yakni 71,20 pada tahun 2024. Namun, meskipun IPM nya cukup tinggi, akses layanan dasarnya belum merata. Masih ada ketimpangan tersembunyi yang tidak terlihat dari IPM saja. Terdapat sekitar 12 dusun yang belum dialiri listrik secara permanen dan menyebabkan akses terhadap teknologi dan informasi menjadi terbatas. Selain itu, terdapat ketimpangan akses jalan di Kabupaten Sambas, di mana beberapa jalan rusak selama bertahun-tahun tapi tak kunjung mendapat respons dari pemerintah meskipun sudah dilaporkan.

Keadaan ini menunjukkan bahwa prinsip “Reduced Inequality” dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) belum benar-benar terpenuhi khususnya di daerah-daerah tertinggal. Pemerintah pusat telah membuat beberapa program strategis nasional untuk mendorong pembangunan daerah, namun hasilnya belum merata. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya kapasitas birokrasi daerah dalam mengelola program pembangunan, ditambah dengan kebijakan pusat tidak selalu sejalan dengan kebutuhan nyata di tingkat daerah.

Masalah ini menunjukkan bahwa yang menjadi tantangan bukan hanya pada sisi kebijakannya, tetapi juga pada cara kebijakan itu dikelola dan diterapkan. Dalam beberapa kasus, minimnya komunikasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah membuat berbagai program pembangunan tidak berjalan sesuai harapan. Padahal, pembangunan yang berhasil seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi wilayah, bukan disamaratakan dari pusat.

Permasalahan ketimpangan pembangunan ini tidak cukup diatasi dengan pendekatan biasa, karena pembangunan di daerah membutuhkan koordinasi antar sektor dan antar pemerintah pusat dan daerah. Jika hanya menggunakan pendekatan sektoral atau top down maka tidak ada koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah. SDGs bersifat kompleks dan meliputi berbagai bidang seperti pembangunan, pendidikan, dan sosial. Sehingga, dibutuhkan pendekatan seperti whole-of-government dan whole-of-society approach yaitu pendekatan yang melibatkan seluruh elemen pemerintahan dan seluruh elemen masyarakat.

Pendekatan ini melibatkan kolaborasi antarlembaga pemerintah, kolaborasi pusat dan daerah, dan kolaborasi masyarakat sipil dan swasta. Pendekatan ini dapat digunakan untuk menghadapi tantangan sdgs karena sifat sdgs memang menuntut kolaborasi dan integrasi multisektor. Hal ini sejalan dengan pernyataan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) 2019 bahwa pendekatan whole-of-government penting untuk memastikan koherensi kebijakan dan berhasil mengatasi tantangan kebijakan multidimensi yang menjadi ciri SDGs. Sementara The British Columbia Council for International Cooperation (BCCIC) 2019 menegaskan bahwa pendekatan whole-of-society approach memberikan peluang untuk membangun hubungan dan kepercayaan lintas sektor untuk pendekatan multi-pemangku kepentingan yang inklusif dalam implementasinya.

Pemerintah Indonesia, melalui Bappenas, telah mengintegrasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Pemerintah daerah juga diminta untuk mengintegrasikan SDGs ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis (Renstra) Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta melaporkan pelaksanaannya melalui Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD). Namun, pendekatan ini belum optimal karena masih banyak pemerintah daerah yang melihat SDGs seperti program tambahan, bukan bagian dari prioritas pembangunan, sehingga koordinasi antara pemerintah dan keterlibatan masyarakat belum efektif. Oleh karena itu diperlukan penguatan kelembagaan, peningkatan literasi data, dan integrasi indikator SDGs dalam sistem perencanaan serta penganggaran daerah.

Ketimpangan pembangunan masih menjadi tantangan serius dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia, terutama di daerah-daerah tertinggal. Masalah ini tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan sektoral atau top-down yang selama ini mendominasi. Pemerintah perlu mendorong pendekatan tata kelola yang kolaboratif dan adaptif, seperti whole-of-government dan whole-of-society approach, untuk memastikan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah benar-benar sesuai dengan kebutuhan lokal. Dengan komitmen yang lebih kuat terhadap integrasi SDGs dalam sistem perencanaan dan anggaran daerah, serta penguatan kapasitas birokrasi lokal, Indonesia dapat bergerak lebih inklusif menuju pembangunan yang merata. Hanya dengan tata kelola publik yang responsif dan partisipatif, tidak akan ada satu wilayah pun yang tertinggal dalam agenda pembangunan berkelanjutan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image