Good Governance: Serba-serbi Tata Kelola Pemerintahan di Afrika
Eduaksi | 2024-01-07 11:34:26Bila kita berbicara mengenai "governance" atau "tata kelola pemerintahan", dapat kita temukan bahwa governance merupakan kumpulan berbagai pendekatan yang digunakan baik oleh individu maupun organisasi, baik swasta maupun publik, untuk mengelola kepentingan bersama. Governance adalah proses berkelanjutan yang memungkinkan perbedaan kepentingan dapat diakui, dilaksanakan dan dapat saling menguntungkan. Governance terdiri dari organisasi resmi dan rezim yang mempunyai wewenang untuk memaksakan peraturan, serta suatu objek yang diyakini oleh individu atau organisasi sebagai kepentingan mereka. Governance memiliki empat karakteristik: tata kelola sebagai sebuah prosedur dan bukan kumpulan aturan atau aktivitas; tata kelola tidak bergantung pada kontrol, namun pada kolaborasi; tata kelola mencakup sektor publik dan sektor swasta; dan tata kelola bukanlah lembaga formal, melainkan interaksi yang berkelanjutan.
Apa Itu Good Governance?
Good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik, bisa kita lihat melalui tiga poin utama; kehadiran good governance itu sendiri; governance reform; dan anti-corruption. Good governance terdiri dari tiga indikator, yaitu capacity (kemampuan pemerintahan untuk merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan urusan pemerintahan), autonomy (kehadiran hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sesuatu) dan political architecture (kelengkapan sarana dan prasarana politik). Ketiga indikator inilah yang menjadi dasar penilaian apakah suatu pemerintahan dapat dikatakan good atau tidak. Selanjutnya, governance reform, berbicara mengenai bagaimana pemerintahan dalam jangka panjang dapat dikatakan good, yang dapat dilihat melalui tiga indikator. Pertama, eksekutif yang efektif, robust parliament (adanya keseimbangan antara koalisi pemerintah dan koalisi oposisi), dan independence yudicative (menegakkan hukum dan menjaga keadilan secara independen dan terpisah dari cabang kekuasaan lainnya). Sementara itu, anti-corruption adalah bagaimana suatu pemerintahan melakukan upaya pencegahan tindak korupsi.
Good Governance di Afrika
Setelah membahas mengenai apa itu good governance, maka sekarang mari kita lihat seperti apa good governance di Afrika. Pada kenyataannya, meskipun terdapat pertumbuhan demokrasi multipartai, banyak negara di Afrika masih terus berjuang untuk memberantas korupsi dan memperkuat legitimasi negara mereka. Bahkan bantuan pembangunan internasional pun telah dikerahkan untuk mendorong rencana reformasi yang aspiratif dan model pemerintahan ideal agar dapat mewujudkan good governance. Namun ternyata bantuan tersebut masih belum cukup mendorong negara-negara Afrika menuju good governance, dikarenakan berbagai hal yang menjadi rintangan. Menurut artikel pada website giga-hamburg.de, rintangan tersebut didasari pada kekeliruan asumsi yang diterapkan pada pemerintahan di negara-negara Afrika. Asumsi tersebut yaitu: transparansi akan mengurangi korupsi; mendorong partisipasi masyarakat akan meningkatkan legitimasi lembaga-lembaga negara; dan sistem desentralisasi akan mendekatkan negara kepada rakyatnya.
Inisiatif Transparansi untuk Mengurangi Korupsi
Pertama, dalam upaya mengurangi korupsi, negara-negara di Afrika melaksanakan inisiatif transparansi. Pada inisiatif transparansi tersebut, teradapat dua tujuan berbeda, yaitu mencegah perilaku korup di luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan transnasional, serta memperkuat akuntabilitas dalam negeri bagi para pengambil keputusan. Namun, upaya untuk memperkuat akuntabilitas internal terhadap korupsi di negara-negara Afrika masih mengalami hambatan. Pada umumnya korupsi di Afrika tidak bersifat tersembunyi dari masyarakat. Hal ini tidak hanya mencakup korupsi besar, seperti penipuan kontrak pemerintah, namun juga korupsi kecil seperti pengumpulan suap oleh polisi. Bahkan korupsi kecil-kecilan seolah menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Para pejabat publik merasa tidak perlu takut terhadap hukuman dan bisa terbebas dari tuduhan korupsi asalkan mereka bisa membuat pendukungnya senang.
Partisipasi Masyarakat dalam Sektor Politik
Kedua, mengenai partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat sulit memberikan dampak pada sektor politik. Mayoritas sistem politik di Afrika pada akhirnya tidak menawarkan kooperatif dan efisiensi untuk melibatkan kelompok kepentingan dalam pengambilan keputusan. Bahkan partai politik sangat bergantung pada strategi klientelistik, dengan mengorbankan politik terprogram dan artikulasi kepentingan kolektif. Masalah klientelisme politik di Afrika diperparah dengan kurangnya budaya politik perbedaan pendapat masyarakat. Meskipun mayoritas demografis di Afrika adalah kaum muda, sistem politik di sana masih terorganisir berdasarkan nilai-nilai subordinasi kepada orang yang lebih tua dan pihak berwenang, yang telah ditanamkan selama beberapa dekade di bawah pemerintahan otoritarianisme. Permasalahan selanjutnya yang membatasi “pendekatan partisipatif” adalah ketidakmampuan pendekatan tersebut untuk menghasilkan keterwakilan politik yang sebenarnya. Bahkan keterlibatan organisasi nirlaba tidak memberi dampak yang signifikan dalam pengambilan keputusan politik.
Sistem Desentralisasi
Ketiga, mengenai sistem desentralisasi. Sejak tahun 90-an, desentralisasi telah menyebar di seluruh Afrika. Desentralisasi dipercaya dapat menjadi sistem yang menjamin keefektifan penyaluran donor oleh lembaga multilateral atau lainnya, tanpa melibatkan pemerintah pusat yang dianggap korup, tidak efisien dan tidak demokratis. Namun masih ada beberapa kelemahan. Pertama, di daerah yang kehadiran pemerintah pusatnya terbatas sebelum desentralisasi, hanya ada sedikit kewenangan yang bisa dialihkan ke lembaga-lembaga daerah. Kedua, pemerintah pusat dapat dengan mudah mencegah independensi kekuasaan politik pemerintah daerah bila dianggap tidak memberikan manfaat. Ketiga, klientelisme dan patronase masih terdapat dalam sistem desentralisasi. Politisi lokal yang terpilih sering kali tidak memiliki kualifikasi yang baik untuk mengawasi birokrasi lokal, dan lebih mudah bagi mereka untuk berkolusi dengan birokrat yang korup dibanding memilih untuk membela kepentingan konstituennya.
Kesimpulan
Dengan berbagai rintangan tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjadi solusi. Pertama, Menghindari kesalahan analisis terhadap kegagalan tata kelola. Hal ini tidak boleh terbatas pada institusi formal dan struktur akuntabilitas saja, namun juga harus memahami bagaimana pengambil keputusan publik memanfaatkan institusi formal untuk kepentingan pribadi mereka. Kedua, di banyak negara Afrika, para pengambil keputusan dapat membengkokkan peraturan formal tanpa mendapat hukuman. Oleh karena itu, kita tidak bisa mengabaikan kekuatan norma dan institusi informal yang dapat menjadi media penghambat bagi para pelaku korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.