Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Salsha Nur Zahlia

Gig Economy Makin Ngetren, Tapi Bagaimana Nasib Para Pekerjanya?

Kebijakan | 2025-07-14 18:18:54
(Ilustrasi Gig Economy dari Freepik.com)

Semakin banyak teman, saudara, atau bahkan kita sendiri yang kerja “lepas” atau freelance. Ada yang jadi driver ojek online, desainer grafis di platform luar negeri, sampai penulis lepas yang kliennya lintas negara. Fenomena ini dikenal sebagai gig economy sebuah ekosistem kerja di mana orang mengambil pekerjaan berbasis proyek atau tugas, bukan kontrak jangka panjang seperti kerja kantoran pada umumnya.

Kenapa gig economy makin berkembang di era digital? Teknologi jawabannya. Platform digital seperti Gojek, Grab, Upwork, hingga Fiverr semua orang bisa dapat peluang proyek dari mana saja dan kapan saja. Fleksibilitas jadi daya tarik utama sebab kita bisa atur waktu kerja sendiri, sambil ngopi di rumah atau di kafe favorit. Bahkan perusahaan diuntungkan karena bisa menghemat biaya operasional, tanpa perlu bayar tunjangan tetap seperti asuransi atau dana pensiun.

Realita Pekerja Gig: Fleksibel, Tapi Banyak Risiko

Di balik fleksibilitas, ada cerita lain yang sering luput dari sorotan. Pekerja gig memang bebas atur waktu, tapi mereka juga harus siap menghadapi ketidakpastian yang kadang bikin khawatir. Pendapatan mereka naik-turun, tergantung seberapa banyak order yang masuk.

Lebih parahnya lagi, pekerja gig tidak mendapatkan jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan, asuransi kesehatan, atau tunjangan pensiun. Jika sakit atau kecelakaan, mereka harus tanggung sendiri semua risikonya. Status hukum mereka juga abu-abu bukan karyawan tetap, tapi juga bukan sepenuhnya pengusaha mandiri. Akibatnya, banyak hak dasar yang tidak mereka dapatkan, mulai dari perlindungan PHK, upah minimum, sampai hak cuti.

Bukan hanya itu, tekanan psikologis juga nyata. Pekerja gig merasa kurang memiliki koneksi sosial karena tidak punya lingkungan kerja tetap. Ditambah lagi, mereka harus terus bersaing dengan ribuan pekerja lain di platform digital, yang kadang bikin stres dan kelelahan mental.

Kenapa Regulasi Itu Penting?

Di tengah pesatnya perkembangan gig economy di Indonesia, perlindungan hukum bagi pekerja gig masih sangat minim dan belum spesifik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan bahwa terdapat sekitar 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya adalah pekerja gig atau tenaga lepas yang mayoritas berasal dari generasi milenial dan generasi Z.

Meskipun UU Ketenagakerjaan telah mengatur hak-hak dasar pekerja, sebagian besar pekerja gig tidak termasuk dalam kategori pekerja tetap sehingga banyak hak seperti upah minimum, jaminan sosial, dan cuti berbayar tidak mereka dapatkan. Platform digital memiliki kekuasaan besar dalam menentukan tarif, membagikan order, bahkan memutus akun pekerja tanpa proses yang transparan, sehingga posisi pekerja semakin rentan terhadap eksploitasi.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, sebanyak 57,95% atau sekitar 83,8 juta pekerja di Indonesia tergolong sebagai pekerja informal, termasuk pekerja gig. Angka ini menunjukkan besarnya proporsi pekerja yang tidak memiliki perlindungan kerja formal di Indonesia, dan jumlahnya terus meningkat seiring berkembangnya platform digital berbasis gig economy.

Survei Angkatan Kerja Nasional/BPS 2019 memperkirakan terdapat sekitar 2,3 juta pekerja gig economy di Indonesia pada 2019, setara dengan 1,7% dari total angkatan kerja. Rinciannya: 1,23 juta di sektor transportasi (ojek online, kurir, pengantar makanan) dan 1,1 juta di sektor jasa lain (pengajar online, software developer, penerjemah, dsb).

Langkah Strategis untuk Regulasi Indonesia yang Adil

Indonesia punya tantangan dan karakteristik sendiri. Tapi satu hal yang pasti: kita tidak bisa terus-menerus membiarkan jutaan pekerja gig terombang-ambing tanpa perlindungan. Regulasi harus segera disusun, bukan untuk mematikan fleksibilitas gig economy, tapi untuk memastikan ada jaring pengaman sosial bagi mereka yang memilih jalur ini.

Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan, misalnya:

1. Mengakui status pekerja gig dalam regulasi, sehingga mereka punya hak dasar seperti upah minimum, akses jaminan sosial, dan perlindungan PHK.

2. Mengembangkan skema jaminan sosial mandiri yang fleksibel, supaya pekerja gig bisa ikut BPJS atau asuransi lain dengan mekanisme yang mudah dan terjangkau.

3. Meningkatkan literasi hukum dan digital bagi pekerja gig, biar mereka tahu hak dan kewajibannya, serta bisa menuntut perlindungan yang layak.

4. Mendorong kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan serikat pekerja untuk merancang solusi yang win-win fleksibel, tapi tetap manusiawi.

Gig economy memang membuka banyak peluang, tapi juga menuntut keberanian untuk beradaptasi dan memperjuangkan perlindungan yang layak. Regulasi bukan untuk membatasi, tapi untuk memastikan semua orang bisa bekerja dengan aman, adil, dan bermartabat di era digital yang makin dinamis ini. Jangan sampai, demi fleksibilitas, kita mengorbankan rasa aman dan masa depan jutaan pekerja muda Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image